Keluarga Maslahat: Dari Nikah Anak sampai Tragedi Kekerasan (03)

mencemaskan nikah anak

KH Husein Muhammad, Pengasuh Pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon.

Di tengah idealisme relasi keluarga di atas, kita menghadapi realitas yang mencemaskan. Paling tidak ada dua problem besar yang tengah dan masih berlangsung di negeri ini:

Bacaan Lainnya

Pertama, tentang kekerasan terhadap perempuan. Catatan tahun 2017, Komnas Perempuan menemukan 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan di ranah personal masih menempati angka tertinggi. Pengadilan Agama menyebutkan 245.548 kasus kekerasan terhadap istri yang berujung dengan perceraian. Untuk kekerasan di ranah rumah tangga/relasi personal (KDRT/RP), kekerasan terhadap istri (KTI) menempati peringkat pertama 5.784 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran (KDP) 2.171 kasus, kekerasan terhadap anak perempuan 1.799 kasus.

Jenis kekerasan ranah personal pada persentase tertinggi adalah kekerasan fisik 42% (4.281 kasus), diikuti kekerasan seksual 34% (3.495 kasus), kekerasan psikis 14% (1.451 kasus) dan kekerasan ekonomi 10% (978 kasus).
Pelakunya pada umumnya laki-laki, dengan status sosial yang sangat beragam, orang biasa maupun terhormat.

Kedua, nikah dini atau nikah anak. Data BAPPENAS menunjukkan 34.6% anak Indonesia menikah dini dan dikuatkan data PLAN yang menunjukkan, 33,5% anak usia 13 18 tahun pernah menikah, data-rata mereka menikah di usia 15-16 tahun. Usia anak-anak adalah fase perkembangan baik dari sisi psikologis maupun biologis, serta masih mencari identitas diri menuju fase dewasa. Pernikahan dini berdampak pada tercerabutnya masa anak-anak dan anak dipaksa memasuki dunia dewasa secara instan. Ini akan berpengaruh negatif pada kehidupan pernikahan dan masa depannya.

Realitas di atas memperlihatkan kepada kita tentang masih kuatnya sistem sosial dan budaya patrarkhis. Atas keadaan ini saya berharap:

  1. Hendaklah dihindari pernikahan perempuan sebelum “balagha asyuddah” (kuat) dan “al-Rusyd” (cerdas). Kedua kriteria ini ditandai dengan keadaan sehat bereproduksi, kesiapan psikologis, kemampuan berpikir, dan kelayakan untuk beraktifitas dan bekerja. Indikator usia minimal 18 tahun.
  2. Perempuan hendaknya diberikan hak untuk memilih dan menentukan pasangan hidupnya.
  3. Perempuan/isteri harus dibebaskan dari tindak kekerasan dalam berbagai bentuknya : fisik, psikis dan seksual.
  4. Perempuan/isteri harus sehat dalam menjalankan fungsi reproduksinya
  5. Gender Mainstreaming dan Affirmatif Action harus dijalankan dengan sungguh-sungguh, konsekuen dan menyeluruh sampai berada pada sebuah situasi dan kondisi di mana perempuan memeroleh hak-haknya yang setara dan adil.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *