“Suatu ketika Mbah Mangli muda menghadap sowan ke rumah Mbah Idris Plumbon. Sowan mengadap Kiai sepuh memang membawa aura tersendiri, beda tipis dengan pisowanan agung kepada Sang Ratu penguasa kedaton. Melihat Mbah Mangli datang kerumah, sontak Mbah Idris menyambut kedatangan beliau.
“Monggo Kiaine Mangli, pinarak monggo mlebu mrene…!”, perintah Mbah Idris menerima pisowanan Mbah Mangli muda.
“Injih Mbah“, jawaban Mbah Mangli muda atas sambutan tuan rumah.
“Brengos dingu koyo majusi…!” kata Mbah Idris di depan Mbah Mangli muda.
“Wonten pemes Mbah?” jawab Mbah Mangli muda. Tanpa menunda waktu, Mbah Mangli muda langsung menggunduli kumisnya.
“Alhamdulillah bagos-bagos…” celetuk Mbah Idris melihat Mbah Mangli muda mencukur kumisnya”
Itulah sekelumit cerita tentang kharisma Mbah Idris yang masyhur di masyarakat Selopampang dan sekitarnya. Cerita di atas juga sebagai contoh ketakdhiman Mbah Mangli muda kepada Kyai yang lebih tua dari beliau. Sesuai falsafah kita, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda.
Terkisah dari sebuah desa kecil yang berdampingan dengan sungai progo, perbatasan Temanggung-Windusari Magelang, tepatnya Temanggung pojok selatan. Terdapat sebuah desa dengan nama Desa Plumbon. Desa tersebut merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Selopampang. Tepat berdampingan di ‘emperan’ selatan masjid Miftachul Huda Plumbon terdapat sebuah makam satu komplek dengan makam muslim desa Plumbon, di dalam makam tersebut terdapat jenazah Kyai Sepuh winasis satu kurun dengan Simbah Raden Alwi.
Orang memanggil beliau dengan sebutan Mbah Idris Plumbon. Masjid Miftachul Huda Plumbon tersebut tepat berada di Garis Lintang -7.3824002 dan Garis Bujur 110.2123826. Masjid tersebut didirikan tahun 1951 dan di rehabilitasi ulang tahun 1997. Dan merupakan tanah wakaf dari Mbah Idris berikut komplek pelataran dan makam di samping masjid.
Jalur Nasab Mbah Idris
Mbah Idris Plumbon bernama panjang KH.Muhammad Idris bin KH.Hasan Wira’i. Ibu beliau bernama Ibu Pairah. Simbah KH. Hasan Wira’i adalah sosok seorang Kyai yang berasal dari Ndungus Sukorejo dan nyanti di jawa timur kemudian di sana di angkat sebagai menantu seorang Demang. Karena suatu hal, KH. Hasan Wira’i berpindah tempat ke Plumbon. Ketika bermukim di Plumbon beliau menikah dengan Simbah Pairah dan dikaruniai 2 keturunan bernama Ahmad Joyo Puspito dan Muhammad Idris. Ketika itu Mbah Pairah merupakan seorang janda yang sudah memiliki putra dengan nama Bapak Muradi yang akhirnya melahirkan seorang Kyai dengan nama Kyai Abdul Rosyid pendiri Pondok Pesantren Salafiyah Plumbon saat ini.
Mbah Nyai Hj.Muntikanah (menantu) bercerita sambil peninggalan Mbah Idris berupa jubah, sarung, peci puluk dan serban yang pernah dipakai oleh Mbah Idris serta kitab kuning peninggalan Mbah Idris, bahwa :”Kitab – kitab niku tilaran saking Sultan Trenggono, keranten Mbah Idris niku tesih keturunan Sultan Trenggono”, tutur Mbah Nyai. Beliau juga menambahkan, pernah suatu ketika Mbah Idris ziaroh ke Makam Sultan Trenggono di Muneng Candiroto, kebetulan makam di kunci dan Mbah Idris berujar :”Nek aku pancen keturunan Mbah Sultan Trenggono mesthi wae kunci iki arep bukak dewe”.
Setelah itu peristiwa ajaib muncul, tiba-tiba kunci makam tersebut membuka dengan sendirinya, sampai-sampai sang juru kunci marah-marah, dan akhirnya juru kunci tersebut meminta maaf kepada Mbah Idris.
Menurut Bapak Abdurrohman—cucu Mbah Idris dari Bp.KH.Djufri—Mbah Idris lahir pada Tahun 1870 Masehi. Beliau semasa dengan simbah Raden Alwi Randucanan Bandongan Magelang. Istri beliau yang ke-9 Hj. Siti Aminah berasal dari Kuwaraan Pirikan Secang, beliau merupakan adik dari KH.Sirodj Payaman yang masyhur dengan nama Simbah Romo Agung Payaman. Mbah Idris berkesempatan naik haji pada tahun 1921.
Bila kita amati dari petikan perbincangan Mbah Idris dengan Mbah Mangli muda tadi, bisa kita amati bahwa Mbah Idris lebih tua dari pada Mbah Mangli (KH.Hasan Asy’ari,Mangli Ngablak Magelang). Itu artinya beliau juga di atas lebih tua ketimbang Simbah Kyai Mandhur dan Simbah Kyai Chudlori Tegal Rejo Magelang, terbukti Mbah Idris sering menyuruh Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori untuk mempimpin do’a bila berlangsung sebuah acara. “Dongani Kiaine Mandhur ! utowo Kiaine Chudlori ! sik luwi enom”, demikian kenang Nyai Hj. Muntikanah dalam ceritannya.
Mbah Mandhur atau Mbah Chudlori sering sowan kepada Mbah Idris kala itu. Selain Mbah Mandhur dan Mbah Chudlori, Simbah Kiai Mangli juga sempat nyantri kepada Mbah Idris, meskipun sebatas ngaji tabarukan ataupun menyambung nasab kepada muallif kitab. Mbah Mangli ngaji dengan cara membuka kitab bagian awal, kemudian dilanjutkan membuka bagian akhir kitab begitu seterusnya. Demikian penuturan Simbah Nyai Hj.Muntikanah—menantu Mbah Idris. Bapak Abdurohman juga menuturkan bahwa Mbah Idris merupakan salah satu wali kutub pada zamannya.
Guru Mbah Idris
Pada usia muda, beliau hampir mengabiskan waktu mudanya untuk menuntut ilmu kepada Simbah KH.Makshum Punduh Salaman. Tak tanggung-tanggung, Mbah Idris muda menuntut ilmu kepada Simbah Makshum Punduh selama 21 tahun. Hingga akhirnya menikah dengan Ibu Nyai Siti Aminah salah satu Neng dari Kuwaraan Pirikan Secang Magelang kala itu. Pernikahan itu merupakan yang ke-9 kalinya. Dari hasil pernikahan itu dikaruniai 7 keturunan yakni Muslimah, Aminah, Abdul ghoni, Muhammad Rum, Asmuni, Komariyah dan Djufri.
Penulis: Slamet Ja’far, Sekretaris Redaksi Majalah Kontinu Temanggung
Sumber Tulisan :
- Wawancara dengan Menantu Mbah Idris Nyai Hj.Muntikanah (istri dari KH.Djufri—Putra ke-7 Mbah Idris) dan Bapak Abdurolrohman Cucu kesayangan Mbah Idris—Putra terakhir dari KH.Djufri.
- Wawancara pada Ahad, 4 September 2016 bertepatan 2 Dzulhijjah 1437 Hijriyah di rumah Nyai Hj.Muntikanah Plumbon Selopampang Temanggung.