Deg. Saya selalu merasakan begitu ketika malam-malam ada telpon masuk tanpa ada urusan sebelumnya. Seperti malam tadi sekitar pukul 01.15 WIB. Pakdenya anak-anak rupanya. Isi telpon pendek dan langsung membuatku tak bisa tidur lagi. Mbah Yai sedo.
Innalillah….
Mbah Yai Thobib. Bagi kami sekeluarga beliau adalah jimat. Seringkali kami diijazahi wirid atau doa tertentu atas hajat kami. Kami bersyukur ditakdirkan Allah mengenal beliau dan beliaupun men-tresna-ni kami, sebagaimana dengan orang lain. Sosoknya penuh kharisma, welas asih, menerima tamu darimanapun dan siapapun. Setiap kali kami sowan, pasti diberikan nasehat menyejukkan. Membuat ingin sowan lagi dan lagi.
Adalah Ibuku, berawal dari cerita teman Ibuku (Blora) ketika masih Sekolah Aliyah (1980), bahwa ada Seorang Kyai yang jadug (khosh, ampuh). Delapan tahun kemudian, Ibuku ingat cerita temannya. Dicarilah ndalem Mbah Thobib. Sejak saat itu Ibu sering sowan ke Gebang Keputih Surabaya, ndalem Mbah Thobib.
Mulai tahun dua ribuan Ibu mulai jarang sowan. Sampai pada suatu ketika dipertemukannya aku dengan bapaknya anak-anak, tahun 2009. Qodarullah, ternyata mantu Ibuku ini santri Mbah Thobib, yang ketika Ibu masih sering sowan, sudah nyantri. Alhamdulillah, Allah rekatkan 3 keluarga dengan jalan yang indah.
Walaupun mengenalnya, tidak semua keistimewaan Mbah Yai Thobib bisa kami ketahui. Tentu, Allah lah yang Maha Mengetahui keistimewaan-keistimewaan beliau. Beliau Pecinta Al-Qur’an, setiap tahunnya mengundang sima’an ribuan hafidz-hafidzoh dari berbagai daerah di Jawa. Pecinta Syekh Abdul Qadir al-Jilani, istiqomah membaca manaqibnya. Mendidik putra putrinya sebagai ahlul ‘ilmi, menyatukan keluarga putra putri nya dalam satu lingkungan pesantren.
Mbah Thobib…. Semoga kelak di kehidupan abadi, kami diperkenankan berkumpul kembali dengan panjenengan. Amin….
مَوْتُ الْعَالِمِ مُصِيبَةٌ لا تُجْبَرُ ، وَثُلْمَةٌ لا تُسَدُّ , وَنَجْمٌ طُمِسَ ، مَوْتُ قَبِيلَةٍ أَيْسَرُ مِنْ مَوْتِ عَالِمٍ
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih mudah bagi saya (Rasulullah) daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR. ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman dari Abu Darda).
Magelang, 29 September 2018.
(Penulis: Ning Ulya Izzati, Magelang)