Kecerdasan Mbah Zubair Sarang dalam Kisah Gus Ghofur Maimoen–Mbah Ber dalam Cerita Babah Ghofur.
Selama bulan Ramadhan tahun ini, Babah Ghofur (panggilan Akrab KH. Dr. Abdul Ghofur Maimoen) memilih untuk mengkaji, Mem-balagh dan menelaah kitab-kitab karya ayahanda beliau sendiri, yakni Alm. KH. Maimoen Zubair.
Ada dua kitab yang menjadi pilihan beliau, Al-Ulama al-Mujaddidūn; wa Majālu Tajdīdihim dan kitab Nushūshu-l-Akhyār. Keduanya dibaca saat sore hari dan setelah Shalat Teraweh. Dengan pola dan metode kajian ala pesantren Tradisional Jawa. Bukan dengan model seminar ala dunia akademik kampus pada umumnya.
Bagi saya pribadi, melalui dua karya tersebut, Babah Ghofur seolah-olah memang sedang ingin menampilkan kepada publik akan kuat dan kokohnya bangunan ilmiah Kiai Maimoen yang tentunya menjadi pijakan dalam setiap langkah-langkah beliau.
Dan dari kitab al-Ulama al-Mujaddidūn, kita bisa menelaah dan membaca bagaimana langkah yang dipilih oleh Mbah Moen dalam mensikapi fenomena alam yang selalu berubah-ubah tanpa bisa dicegah atau pun dilawan. Perubahan adalah hal yang niscaya. Ia adalah SunnatuLlah yang akan berjalan. Siapa yang melawan atau pun menghadang, artinya ia sedang melawan ketentuan Allah swt. Sang Pencipta alam semesta ini. SunnatuLlah adalah untuk disikapi dan dicarikan Solusinya.
Nah, disela-sela kajian kitab al-Ulama al-Mujaddidūn yang saya ikuti, tak jarang terselip kisah-kisah unik nan menarik dari uraian Babah Ghofur. Diantaranya adalah kisah tentang Kakek Beliau, yakni alm. Kiai Zubair Dahlan, yang tak lain adalah ayahanda Alm. Kiai Maimoen.
Saat sampai pada kisah Sanad periwayatan kitab Ithāf as-Sādah al-Muttaqīn yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Murtadha al-Zabīdi, Mbah Moen menulis:
فروى عنه ابنه كياهي محفوظ الترمسي فروى عنه كياهي فقيه المسكومامباني وروى عنه تلميذه والدي كياهي زبير ثم رويته عنه
“Maka meriwayatkan dari (Kiai Abdullah) adalah putra beliau, Kiai Mahfudz At-Tarmasi, lalu meriwayatkan dari (Kiai Mahfudz) adalah Kiai Faqih Maskumambang. Dan meriwayatkan dari (Kiai Faqih) adalah muridnya, yakni Ayahku Kiai Zubair Dahlan. Kemudian aku meriwayatkan dari (Ayahku)”
Setelah membaca bagian paragraf di atas, Babah Ghofur mengisahkan bahwa Kiai Faqih Maskumambang itu adalah wakil Rois Akbar pertama Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU). Sedang posisi Rois Akbar saat itu ditempati oleh Hadhratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, Jombang.
Nah, Simbah Kiai Zubair itu mondok pada Kiai Faqih bukan kok saat beliau masih muda. Bahkan sudah agak dewasa. Sebab Mbah Ber mondok di Pesantren Kiai Faqih itu setelah pulang dari Makkah. Lalu diperintahkan oleh Kakeknya, Kiai Syu’aib, untuk mondok lagi ke Kiai Faqih.
Ada kisah unik yang terjadi saat Kiai Zubair ini mondok di Pesantren Kiai Faqih. Syahdan, Kiai Zubair ini dalam satu waktu, terkadang disuruh pulang oleh Kiai Faqih. Sebab setiap diskusi santri (Musyawarah) dan diikuti oleh Mbah Ber, maka keputusan hukum yang dihasilkan itu pasti agak berat-berat.
Tapi saat sudah lama di rumah, lalu beliau dipanggil lagi untuk kembali ke pondok. Sebab saat ditinggal Mbah Ber, ternyata hukum-hukum yang dihasilkan saat beliau tidak ikut Musyawarah itu terlalu mudah-mudah. Maka beliau dipanggil lagi untuk menyeimbangkan hasil kajian dan diskusi ilmiah (Musyawarah) yang ada di pondok Maskumambang ini.
Sependek yang kami dengar, Mbah Ber ini nampak sekali sangat terpengaruh oleh sang Guru, yakni Kiai Faqih Maskumambang. Sebagaimana sering dikisahkan oleh Alm. Mbah Moen, Mbah Ber itu Kiai yang tidak mau memiliki pondok. Dan itu semua karena kuatnya pengaruh gurunya, yakni Kiai Faqih yang juga tidak memiliki pondok pesantren.
Dikisahkan pula bahwa pada mulanya, Mbah Ber itu ditolak saat mau mondok pada Mbah Faqih, karena memang beliau tidak punya pondok. Tapi akhirnya mau membuka pondok, ya karena ada Mbah Ber yang pengen ngaji dan mondok kepada beliau. Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa Mbah Ber adalah salah satu santri pertama Kiai Faqih yang mondok di pesantren beliau.
Dari Mbah Ber ini, lahir banyak ulama-ulama yang luar biasa dan menjadi lentera Nusantara sepanjang masa. Andaikan kita menyebutkan dua saja santri Mbah Ber, niscaya semua orang pasti akan mengakui ke-‘Allamah-an beliau. Dua santri tersebut adalah Putra Beliau sendiri, yakni Alm. KH. Maimoen Zubair dan santri kinasih beliau, Alm. KH. Sahal Mahfudz (Rais Aam NU pada masanya, 1999-2014).
Bagi saya pribadi, tradisi mondok lagi setelah melalang buana belajar di tanah Haramain, adalah tradisi menarik yang mungkin sudah jarang ada atau jarang dilakukan oleh santri-santri sekarang ini. Seingat saya, dulu Mbah Moen pun setelah pulang dari belajar di tanah Suci Makkah-Madinah, masih belajar lagi kepada Kiai-kiai sepuh Nusantara yang lebih senior. Semisal kepada mertua beliau, Kiai Baidhawi Abdul Aziz, Simbah Kiai Ma’shum Ahmad Lasem, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Bisri Musthafa dan lain sebagainya.
Saya melihat tradisi ngaji lagi itu sangat penting. Sebab saya merasakan itu sebagai upaya untuk transfer energi dan kebijaksanaan dari para ulama senior kepada penerus estafet keilmuan dan kebijaksanaan Nusantara. Sehingga calon-calon Ulama yang baru saja datang dari timur tengah itu tidak gagap sosial dalam menghadapi realitas masyarakat Nusantara yang berbeda secara kultur dan budaya dengan masyarakat Timur Tengah sana. Yah, tentunya ini adalah pemahaman sederhana pribadi saya, yang mungkin sekali salah.
Dan akhirnya pada tanggal 15 Romadhan, bakda Maghrib, Mbah Ber wafat dengan membawa gudang ilmu dan keteladanan yang akan sulit dicari padanannya. Biasanya, setiap tanggal 14 Ramadhan bakda Asar, semua santri Sarang, alumni dan masyarakat tumplek blek berbondong-bondong Ziyaroh ke Maqbaroh beliau, namun karena adanya Pandemi Covid-19, kegiatan rutinan tersebut ditiadakan pada tahun ini. Diganti dengan membaca al-Qur’an masing-masing di rumah dan pahalanya dihadiahkan kepada beliau Mbah Ber, Mbah Moen, Mbah Ma’ruf Zubair dan Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Mari, kita luangkan waktu sejenak, kita tengadahkan tangan memohon kepada Allah dengan bertawassul kepada piyantun-piyantun mulia tersebut, semoga Allah memberkahi kita semua, dan menyelamatkan kita semua serta mampu melewati cobaan ini dengan sukses dan selamat.
إلى أرواحهم الفاتحة…
Penulis: Dhiya Muhammad.
Semoga artikel Kecerdasan Mbah Zubair Sarang dalam Kisah Gus Ghofur Maimoen ini dapat memberiakan manfaat dan brokah untuk kita semua,
amiin..
simak artikel terkait Kecerdasan Mbah Zubair Sarang dalam Kisah Gus Ghofur Maimoen di sini
simak video terkait di sini