Setelah melaksanakan ibadah haji, putra dari KH Musthofa Aqiel, Gus Muhammad Shidqi tiba di Pesantren Kempek pada Rabu (21/8) dini hari. Kedatangan Gus Shidqi langsung disambut dengan lantunan Qasidah Sayyidah Khodijah.
Dihadapan para santri, Gus Shidqi menceritakan wafatnya pengasuh Ponpes Al-Anwar yang juga merupakan kakeknya sendiri, KH Maimoen Zubair. Sebenarnya Gus Shidqi sudah dicari oleh Mbah Moen setibanya di tanah suci. Namun entah mengapa, Gus Shidqi teramat susah untuk menemui “Mbah Kakung” (sapaan kepada Mbah Moen). Sampai akhirnya, sekitar pukul 3 dini hari Gus Shidqi diberi kabar bahwa Mbah Moen sedang kritis.
Gus Shidqi akhirnya meminta izin kepada mertuanya yang juga tengah berangkat haji bersama untuk menjenguk Mbah Moen.
Siangnya, sekitar pukul 14:00 waktu Makkah, jenazah Mbah Moen diberangkatkan untuk dimakamkan di Ma’la. Kala itu, suhu kota Makkah sedang berkisar 40 derajat celcius dan kang Shidqi pada saat itu tidak mengenakan alas kaki, bukan karena tidak membawa, tetapi “saking embuhe” (karena keadaan tengah rumit, sampai tidak kepikiran apapun). Jalanan pun teramat panas kala itu dikarenakan dipanggang oleh matahari.
Dalam kondisi seperti itu, Gus Shidqi bergumam (dalam terjemahan bahasa Indonesia) “Ya Allah, jikalau Mbah Moen itu wali, saya minta supaya kaki saya tidak kepanasan. Tiba tiba, ada orang yang sedang bagi-bagi sandal,” ujarnya.
Beliau bercerita, selama berhari-hari beliau menangis setelah kejadian wafatnya Mbah Moen, ini dikarenakan beliau adalah satu-satunya keluarga yang masih muda yang menyaksikan wafatnya Mbah Moen.
“Andaikan saya tidak memiliki pengalaman ditinggal oleh Nyai Afifah, Buya Ja’far dan Ami Ahsin, mungkin saya pingsan waktu itu,” tuturnya.
Gus Shidqi juga menegaskan bahwa jelas sekali Mbah Moen itu bukan hanya milik keluarga, Indonesia, ataupun milik pesantren Al-Anwar, Sarang, namun Mbah Moen adalah milik dunia.
“Mbah Moen itu seperti juga bapak, waktu untuk keluarga pun sangat jarang, Mbah Moen itu milik ummat,” pungka Gus Shidqi. (red)