Pesantren Nurul Ummah, Kota Gede dirikan oleh Kiai Asyhari Marzuqi. Sebelum mendirikan Pesantren Nurul Ummah yang kini sudah memiliki lembaga pendidikan formal dari jenjang TK sampai MA, Kiai Asyhari nyantri di Pesantren Krapyak. Berguru kepada Kiai Ali Maksum yang dikenal menghasilkan kader-kader NU baik di tingkat lokal maupun nasional. Sebut saja Kiai Said Aqil Siradj, Gus Mus, Kiai As’ad Said Ali dan sederet tokoh lainnya merupakan hasil didikan Kiai Ali Maksum.
Kiai Asyhari Marzuqi yang pernah menjabat sebagai Rais Syuriah PWNU DIY juga merupakan hasil tangan dingin Kiai Ali Maksum. Makanya, Kiai Asyhari Marzuqi begitu menaruh hormat kepada Kiai Ali dan Kiai-Kiai Krapyak lainnya. Itulah sikap khas santri yang tidak hanya tawadu’ kepada gurunya saja. Tapi juga kepada keluarga, anak dan cucu-cucunya.
Sebagaimana umumnya seorang kiai, Kiai Marzuqi menjadi kiai tempat rujukan umat menanyakan berbagai persoalan. Dari urusan sepele, sampai urusan yang berat. Pernah suatu ketika, Kiai Asyhari mendapatkan pertanyaan dari tamu yang ingin membangun sebuah pondok pesantren.
“Syaratnya mendirikan pesantren itu hanya dua, ngaji ajeg lan sholat ajeg di pondok (mengaji dan sholat jama’ah istiqomah di pondok),” jawab Kiai Asyhari Marzuqi kepada tamunya.
Kiai Asyhari bukan tipe kiai jarkoni (bisa ngajar tapi ora nglakoni). Ketika berani memberikan nasihat seperti itu, tentu Kiai Asyhari sudah melakukanya dengan istiqomah. Hal itu sesuai dengan yang dikisahkan oleh santri Kiai Asyhari Marzuqi, Drs. Kasiman, AH. Kasiman menceritakan bahwa Kiai Asyhari jarang sekali sholat di luar pondok, sesibuk apa pun Kiai Asyhari.
“Kiai Asyhari kalau sholat selalu jama’ah di pondok. Sering sekali Kiai Asyhari ada acara di luar, tapi kalau masih terjangkau jaraknya, selalu langsung pulang ketika waktunya sholat,” cerita Kasiman, Sabtu (10/03) kepada bangkitmedia.com ditemui di Madrasah Aliyah Nurul Ummah (MANU).
“Selesai acara, beliau langsung kembali ke pesantren. Soal makan dan snack yang sudah dihidangkan, ditinggal semuanya,” lanjut Kasiman yang kini menjadi salah satu Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) DIY.
Bukan hanya soal sholat saja, sama dengan Kiai Zainal Abidin Munawwir, Kiai Asyhari Marzuqi juga istiqomah dalam mengaji. Kiai Asyhari tidak peduli dengan jumlah santri yang datang mengaji. Setiap tiba waktunya mengaji, maka berapa pun jumlah santri, Kiai Asyhari tetap berkenan mengajar.
“Pernah saya ada kelas mengaji dengan Kiai Asyhari. Teman-teman saat itu banyak yang tidak datang karena ada kegiatan di luar. Kebetulan yang datang hanya saya sendiri. Tidak ada kawannya. Kiai Asyhari datang, menunggu beberapa menit. Setelah tidak ada yang datang lagi, pengajian di mulai dengan hanya saya sendiri yang diajari oleh beliau. Sampai saya berkeringat saking gugupnya,” ungkap Kasiman sambil terkekeh.
Tentu yang dilakukan oleh Kiai Asyhari Marzuqi tersebut merupakan teladan yang baik. Kiai Asyhari paham, bahwa salah satu dari lima pilar pondok pesantren yang pernah disebutkan oleh Zamakhsyari Dhofier adalah kiai. Setelah itu baru, santri, masjid, pondok dan kitab kuning. Jika kiai sebagai salah satu lima pilar pesantren tidak istiqomah mengaji dan mengajari santri-santrinya, maka kondisi internal pesantren tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. (rk)