Mendirikan pondok itu butuh tirakat. Lelaku. Tidak bisa seperti mendirikan lembaga pendidikan lain. Harus ada riyadlah khusus. Tirakat. Kepribadian perintisnya juga harus kuat. Tidak rewel, tapi telaten. Sabar, tidak gampang muntab. Punya jiwa pendidik, bukan penghukum. Melihat santri dengan kasih-sayang, bukan pandangan sipir penjara.
Ada dua tokoh muda yang saya kagumi. Mereka punya himmah yang kuat. Merintis pesantren dengan tetap berpijak pada nilai salaf, tapi dikemas dengan bungkus gaul dan kekinian. Yang pertama, Ustadz Ahmad Zainuddin.
Dia adik kelas saya di UINSA. Kini sedang merintis pesantren di Prigen, Pasuruan. Tepatnya di Dusun Genteng, Sukolilo. Dia kasih nama pondoknya Al-Hilmu. Orang Jawa memaknainya “Aris”, atau sikap mampu menahan diri. Saya tanya, kenapa dikasih nama al-Hilmu? Ya, kami ingin menghadirkan Islam Ramah, bukan Islam Marah-Marah. Begitu, jawab dia. Ahhaaa, masyuuuuk.
Perawakan tubuhnya kecil, cenderung mungil. Tapi geraknya lincah. Biasanya orang berperawakan seperti ini suka nekat, tapi punya perhitungan dan visi keren. Hahaha.
Saya sekali diminta ngisi ceramah di sana. Itupun dadakan. Maklum, mubaligh utama tidak bisa datang. Jadilah saya pemain pengganti. Tapi dari itu saya jadi tahu jika pesantren ini asyik. Santrinya kebanyakan masih remaja. Mereka bersekolah di SMP Alam Welirang yang juga menjadi bagian dari pesantren ini. Konsepnya pendidikan yang menyatu dengan alam. Kebetulan suasananya mendukung. Benar-benar mewah alias mepet sawah.
Sahabat saya ini mendidik par santrinya dengan cara unik. Dalam penguatan kitab turats, misalnya, dia pakai metode utawi iki-iku, tapi dimaknai dengan menggunakan bahasa Indonesia. Jadilah para santri tampil khas. Metode dipertahankan, tapi bahasa diganti Indonesia, tidak lagi Jawa. Kemampuan nahwu para santri juga baik, karena Mas Zainuddin menggunakan Metode Amtsilati temuan KH. Taufiq Hakim, Jepara.
Tak hanya itu, untuk mengasah kemampuan berbahasa asing, dia mengupayakan agar keseharian para santri berkomunikasi menggunakan bahasa asing. Arab dan Inggris. Dampaknya keren. Para santri ini kemampuannya meningkat. Bukan hanya speaking tapi writing, juga. Usai ngisi acara di situ, saya diberi Mas Zainuddin oleh-oleh berupa parcel buku karya para santri. Ada 14 judul Semua ditulis menggunakan bahasa Inggris. Isinya, mengenai kisah para kiai, santri dan kepesantrenan. Nah, keren kan?
Ada juga sahabat lainnya. Namanya Utadz Abdul Haris. Saya belum pernah bersua secara fisik. Tapi dari aktivitas keseharian di fesbuk, kita tahu jika dia bikin gebrakan mendirikan pesantren Tahfidzul Qur’an. Namanya Nurul Istadz. Lokasinya ada di Yogyakarta. Tepatnya di Wonokromo, Plered, Bantul. Pondoknya dinisbatkan pada nama leluhurnya, Mbah istadz, yang merupakan santri dan abdi ndalemnya Pangeran Diponegoro.
Kini, sejak diresmikan oleh KH. Ulil Albab Arwani pada 2017, santrinya terus bertambah. Mayoritas anak-anak. Dia sering merekam aktivitas para santri lalaran hafalannya. Keren. Sesekali siaran langsung via fesbuk. Kadang ngaji, kadang nyanyi lagu ciptaannya. Lebih keren lagi kalau pas pakai seragam Banser. Qiqiqiqi. Jadi, jangan khawatir, Banser bukan hanya mengamankan pengajian, bikin pesantren pun sanggup. Keren, kan?
****
Banyak, sangat banyak, para penggerak pendidikan di sekitar kita. Kita butuh orang-orang seperti ini agar tetap positif melihat masa depan Indonesia dan selalu optimis memandang kehidupan. Membicarakan Indonesia bukan hanya soal Jokowi dan Prabowo dan orang-orang yang berkepentingan dengan keduanya, atau wakilnya, sebagaimana kita jumpai dalam kurun 5 tahun terakhir. Indonesia tidak bisa dilihat dari faktor politik saja, yang seringkali bikin sumpek, tapi harus dilihat dari kacamata lain. Yang terang, lebih cerah dan membuat kita optimis.
Saya menyukai kiprah keduanya dan selalu berharap pesantren yang didirikan senantiasa awet, berkembang, bertahan, dan bisa istiqamah mendidik para santri. Orang-orang kayak begini harus didukung, dipromosikan, dan dibantu, supaya kita bisa melihat wajah Indonesia yang senantiasa mempesona: ya alamnya, ya manusianya.
Penulis: Gus Rijal Mumazziq Z, Rektor INAIFAS Jember.