Silaturrahim Grand Syekh Al-Azhar Mesir, Prof Ahmad Muhammad Ahmad ath-Thayyeb, di PBNU disambut sangat meriah oleh warga nahdliyyin, khususnya Ketua Umum PBNU Prof KH Said Aqil Siraj (02/05). Diskusi keduanya dengan para petinggi PBNU dan alumnus Al-Azhar di Indonesia juga gayeng, berkelas tinggi dan penuh kesantunan.
Di tengah-tengah diskusi kelas tinggi itu, ciri khas NU tak pernah ketinggalan. Inilah yang dilakukan Ketua Umum PBNU, Kiai Said. Saat itu bermula dari diskusi agama tidak boleh dibuat sebagai alat dagang politik.
“Yaaa Syeikh, politik itu kata Indonesia yang jika ditulis dengan abjad Arab menjadi ف و ل ي ت ك digabung, dibaca menjadi فوليتك (saya mencelakaimu),” kata Kiai Said.
“Maksudnya bagaimana, saya tidak faham,” Grand Syekh Al-Azhar balik tanya.
“Kata politik jika ditulis dengan abjad Arab bermakna jelek,” lanjut Kiai Said.
“Wah, itu bukan dengan huruf ف tapi huruf ب, ada-ada saja,” jawab Grand Syekh Al-Azhar sembari tak bisa menahwa ketawa.
“Tapi kalau di Indonesia ditulis dengan huruf ف ya Syeikh,” Kiai Said kembali mengelak.
Grand Syekh Al-Azhar kembali tak bisa menyembunyikan tawa kecilnya. Para hadirin yang datang juga tak bisa sembunyi dari tawa. Itulah khas diskusi dan silaturahim dalam acara NU. Seserius apapun suatu acara, selalu saja ada canda yang bisa mencairkan suasana. Bahkan ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, forum-forum resmi kenegaraan tak bisa dilepaskan dari canda, tanpa sedikitpun kehilangan fokus dalam suatu acara. (kunanfadinaka/rd)