Hilda (04): Saat Menemukan Jalan Bersuara
“ Ibuuuu….. Ibuuuuu…..maafkan Hilda, Ibu… Apa yang harus Hilda lakukan, Ibu… ibu… ibu….,” teriakan Hilda membangunkan Andin.
“Hilda, Hilda bangun… kamu tidak apa-apa? Hilda…”
Hilda terbangun dengan nafas sesak dan tangis tersedu-sedu. Tangannya bergetar memegang tangan Andin. Dia terlihat cemas dan ketakutan. Andin memeluk dan menenangkannya.
“Tenang, kamu hanya mimpi. Kamu sekarang sudah baik-baik saja. Tenang ya…,”
Andin kemudian mengambilkan minum untuk Hilda. Setelah Hilda meneguk minuman itu dia berusaha menenangkan dirinya.
“Terima kasih Ndin.” Andin mengangguk.
“Sepertinya akhir-akhir ini kamu kembali bermimpi buruk. Mungkin karena beberapa bulan terakhir kamu mendalami materi tentang masalah ini.”
“Aku tidak apa-apa Ndin. Ya, mungkin aku terbawa perasaan. Seperti membuka luka yang belum mengering.”
“Aku tahu, tidak mudah menghilangkan masa lalu.”
Hilda memandang Andin, sahabat yang selalu menemaninya sejak perjumpaan pertamanya di pesantren ini. Andin sejak kecil ditinggalkan ayahnya dan hidup sendiri dengan ibunya, sampai akhirnya dia dan ibunya memustuskan untuk nyantri di pesantren ini.
Pesantren ini adalah rumah kehidupan bagi santri-santrinya. Mungkin pesantren ini memiliki karakter yang berbeda dari pesantren lainnya. Santri di sini dari berbagai latar belakang. Selain santri dari latar belakang keluarga yang sempurna, juga banyak santri yatim piatu, santri yang sejak kecil dibuang orang tuanya, ada beberapa santri pecandu narkoba, dan ada juga santri korban kekerasan seksual. Semua mendapatkan kedamaian di sini, mendapatkan penawarnya.
Usia santri juga sangat beragam, ada yang masih pelajar, mahasiswa sampai orang tua. Bilik asrama terbagi sesuai dengan usia santri. Banyak ibu-ibu yang masih nyantri, rata-rata mereka janda. Dan anak-anak mereka juga menjadi santri di sini. Andin dan Hilda adalah salah satunya.
Dulu, Hilda dan ibunya menjadi santri, kemudian ibunya memutuskan untuk pulang ke rumah neneknya setelah nenek Hilda meninggal tiga tahun yang lalu. Sedangkan Andin, ibunya setahun lalu meninggal dunia akibat kanker rahim yang diderita.
Ayah Andin sering melakukan kekerasan kepada ibunya, suatu ketika ayah Andin meninggalkan mereka untuk menikah dengan perempuan lain. Rasa benci Andin kepada ayahnya masih membekas. Walapun dia sudah memaafkan perbuatannya.
Ibu Nyai selalu berpesan bagi semua santri untuk selalu membuka pintu maaf bagi orang yang telah menyakiti kemudian teruslah belajar dan menatap masa depan untuk kehidupan yang lebih baik.
“Andin, kita tidak boleh menyimpan dendam bagi siapapun. Aku baik-baik saja dengan mimpi ini.” Andin mengangguk, “Ayo kita tidur lagi, ini masih larut malam.”
***
Setelah jam kuliah berakhir, Hilda segera berjalan menuju Student Center. Terakhir dia ke tempat ini ketika ada sosialisasi untuk mahasiswa baru, setelah itu dia tidak tertarik dengan kegiatan kampus.
Setelah peristiwa beberapa tahun silam merubah sifatnya yang dulu periang dan penuh semangat dalam bergaul. Kini dia lebih asik dengan dirinya dan buku-bukunya. Hilda hanya nyaman berteman dengan teman santri di pesantrennya. Namun saat ini perasaan yang luar biasa dirasakannya, sambil memasuki student center dia mencari ruang Lembaga Pers Mahasiswa(LPM).
“Maaf, ruang LPM di mana ya?” tanyanya pada salah satu mahasiswa yang sedang asik membaca koran.
“Sebelah sana mbak, lurus aja mentok sebelah kanan.”
“Terima kasih.”
Segera Hilda berjalan menuju ruang LPM, kebetulan di dalam ruangan seperti ada kegiatan atau rapat. Hilda sedikit bingung dan takut untuk mengetuk pintu. Beruntung ada salah satu perempuan yang keluar menghampirinya.
“Ada apa ya?”
“Ehm… maaf apa pendaftaran pelatihan menulis masih dibuka? Masih boleh daftar nggak mbak?”
“Masih, ini hari terakhir dan beruntung kursi pendaftaran hanya tingga satu. Jadi kamu bisa daftar, tapi persayaratan membawa satu tulisan sudah kamu siapkan?” Hilda tersenyum mengangguk pasti. “Iya mbak, ini sudah saya siapkan semua persyaratannya!” katanya sambil menyodorkan kertas.
“Oke, saya ambilkan formulirnya dulu.” Hilda mengangguk.
Perempuan tersebut masuk ruang LPM dan kembali keluar sambil membawa formulir pendaftaran pelatihan menulis. Setelah selesai mengisi Hilda permisi pulang.
“Baiklah sampai ketemu hari minggu ya, semoga selama pelatihan kamu bisa hadir terus ya.
“Iya mbak, terima kasih.”
Hilda kembali menuju parkiran dengan perasaan gembira, dia berharap pelatihan ini akan membantunya dalam melatih kemampuannya dalam hal menulis.
simak artikel terkait Hilda (04): Saat Menemukan Jalan Bersuara di sini
Perjalanannya terhenti di depan papan pengumuman. Dia membaca sebuah flyer bertuliskan What is Critical Thinking?. Hilda tertarik dengan tema seminar ini. Seolah dia mendapatkan petunjuk yang benar saat dia kembali merasa tersesat. Apalagi disitu tertulis jelas GRATIS, jadi siapapun boleh ikut seminar ini.
“Sepertinya tidak terlalu terlambat, gedung serbaguna tidak jauh dari student center.” Kemudian Hilda mengambil langkah cepat menuju gedung serba guna dengan berlari.
Tepat di depan pintu masuk gedung Hilda hampir menabrak seseorang, beruntung Hilda menghentikan langkahnya tepat waktu.
“Maaf pak,maaf saya terburu-buru,maaf.. permisi.”
Tanpa menatap wajah orang yang hampir ditabraknya, Hilda berlalu sambil menundukkan kepala.
“Iya tidak apa-apa, lain kali hati-hati.”
Hilda kemudian berbalik dan kembali berjalan memasuki gedung serbaguna, tapi langkahnya terhenti seakan dia mengingat sesuatu yang sama pernah terjadi. Dia menoleh ke arah orang yang hampir ditabraknya. Hilda memperhatikannya beberapa saat.
“kenapa sosoknya sama dengan laki-laki yang pernah saya tabrak di depan pintu aula pondok?” Pikirnya dalam hati. “Ah, sudahlah aku harus segera masuk sudah terlambat.”
Ruangan sudah penuh, banyak juga yang menghadiri acara ini. Hilda menemukan beberapa kursi kosong, dia berjalan mendekati kursi kosong tersebut, tetapi langkahnya dihentikan seseorang.
“sstt..sstt… Da.. Hilda,” Hilda mencari sumber suara.
“Andin!” Andin memanggilnya dan menyuruhnya duduk di sampingnya.
“Ngapain kamu di sini?”
“Beli Sayuran. Ya ikut seminar dong….”
Andin tersenyum mendengarkan jawaban sahabatnya itu.
“Setauku kamu paling malas datang ke seminar-seminar seperti ini. Apalagi temanya bukan syariah banget.”
Hilda mulai menggoda temannya yang kemudian mengoceh kesana kemari menjelaskan alasannya kenapa seminar kali ini menarik diikuti.
“Memang, aku tuh nggak pernah tertarik sama sekali dengan tema beginian, orang disuruh mikir mulu!”
“Njuk ngopo awakmu ning kene?”
“Mau ketemu pujaan hati.” Andin mulai senyum-senyum sendiri.
“Bener-bener, kumat nih anak.”
“Hey, dengerin dengan baik-baik calon imamku kali ini yang mengisi seminar ini.”
Apa calon imam? Hilda semakin males mendengarkan Andin yang masih dalam lamunan anehnya. Tetapi Hilda jadi penasaran, dia tadi tidak sempat memperhatikan nama pembicara dalam pengumuman yang dibacanya.
Acara pembukaan sudah selesai, saatnya moderator seminar yang memimpin jalannya seminar. Moderator memanggil para pembicara dan dipersilahkan menempati tempat yang sudah disediakan.
“Kami persilahkan, Bapak Arif lukman Dosen Komunikasi dan Mas Muhammad Wafa lulusan terbaik jurusan komunikasi dari salah satu kampus ternama di Indonesia untuk duduk bersama saya dan memulai seminar menarik ini.”
Seketika Andin tepuk tangan dengan keras dan memandangi salah satu pemateri yang disebut oleh moderator.
“Ndin, apaan sih. Biasa aja dong!”
Hilda semakin merasa aneh dengan sahabatnya ini.
“Da, kamu tidak dengar tadi pangeranku dipanggil. Lihat ganteng banget….”
Hilda kemudian melihat ke arah pangeran yang disebut Andin. Hilda terdiam sesaat dan mengingat sesuatu.
simak artikel terkait Hilda (04): Saat Menemukan Jalan Bersuara di sini
Kenapa orang itu dan baju batiknya sama dengan orang yang hampir aku tabrak. Orang itu juga mirip dengan orang yang aku tabrak ketika di pesantren.
“Dia itu Mas Wafa yang kemaren kita bincangkan. Calon Imam yang sempurna. Ganteng, pinter agamanya, pinter ilmu pengetahuannya alias pinter cari duit, trus keponakan Ummi lagi, lengkap deh. Aaah…. pasti dia akan jadi suami yang baik, yang tidak akan menyakiti istrinya.”
Hilda tidak begitu menghirakan ocehan sahabatnya, dia masih terdiam dan mengingat-ingat lagi sosok yang sepertinya beberapa kali dia temui. Apa orang ini sama? Yang aku tabrak di depan pintu aula adalah mas Wafa, yang duduk bersama Gus Imam adalah mas Wafa, yang hampir aku tabrak di depan gedung tadi Mas Wafa, dan yang sekarang menjadi pembicara juga Mas Wafa.
“Hey, kenapa kamu jadi ikut-ikutan menatap mas Wafa.” Tanya Andin yang ikutan heran dengan Hilda yang mendadak tidak memalingkan tatapannya beberapa menit dari Wafa.
“Oh…. itu calon Imammu? Semoga beruntung ya.” Kata Hilda mencoba menyembunyikan peristiwa tabrakan dengan pujaan hati sahabatnya. Dia tidak ingin menghancurkan khayalan indah sahabatnya.
“Sudah diem, aku ingin mendengarkan seminar ini.”
Seminar berjalan dengan lancar, cukup seru karena masing-masing pemateri memiliki kekhasan sendiri dalam menyampaikan materi. Berbeda dengan seminar yang sering diikutinya, mungkin karena tema kali ini sedikit berbeda.
“Waaah, ada banyak yang ingin bertanya nih. Baik saya akan memilih tiga penannya dulu ya. Ehmm.. Masnya yang depan, yang satu lagi mas yang pake baju putih dan mungkin yang satu perempuan ya, nah itu mbaknya yang pake jilbab merah.”
Pandangan Wafa langsung terhenti ketika orang ketiga yang dipanggil moderator adalah Hilda.
Subhanallah….. kenapa mendadak dengar suara ini lagi. Benar-benar perempuan satu ini bikin hati ini tidak bisa tenang. Pikiran Wafa mulai terusik.
“Ngapain kamu ikutan tanya sih? Jangan sampe kamu tanya karena cari perhatian mas Wafa ya?” bisik Andin pada Hilda.
“Enggak Ndin, don’t worry!”
“Da, aku buatin pertanyaan ya… nanti disesi kedua aku mau tanya sama mas Wafa. Ya… untuk pembuka biar mas Wafa tahu aku.”
Hilda menghela nafas heran dengan cinta buta sahabatnya ini.
“Kalau kamu ingin dicintai seseorang, ya jadilah diri sendiri.”
Kata-kata Hilda seakan mantra bagi Andin yang kemudian memutuskan untuk diam dan berpikir ulang.
Moderator mempersilahkan Hilda menyampaikan pertanyaannya.
“Assalamualaikum, Saya Hilda dari Jurusan Manajeman Pendidikan. Sebelumnya terimakasih kepada kedua pemateri yang membawakan materi ini dengan sangat baik.”
Hilda mengatur nafasnya, begitupun Wafa terlihat mengatur perasaannya.
“Saya ingin bertanya pada Pak Wafa, sebenarnya materi ini baru buat saya. Terima kasih tadi pak Wafa sudah menjelaskan tips untuk membangun pola pikir yang kritis. Pertanyaan saya, bagaimana menggunakan pola pikir kritis ini pada seseorang yang belum pernah menampilkan diri di depan publik. Ehhm,, maksud saya, ada seseorang yang ingin menyampaikan pendapatnya kepada publik tentang banyak hal, khususnya tentang permasalah perempuan. Akan tetapi dia sendiri orangnya tertutup, tidak memiliki akun sosial media juga tidak aktif dalam berbagai organisasi. Dia seperti bak air yang sudah terisi penuh tetapi tidak memiliki wadah untuk menampung air-air yang tumpah berjatuhan. Bagaimana dia membuat wadah tersebut sehingga air-air ini berada pada tempat yang tepat?”
Kata demi kata didengarnya, Wafa memperhatikan Hilda yang sedari tadi berbicara sama sekali tidak memandang dirinya. Matanya menunduk menyimpan ribuan misteri yang membuat Wafa semakin penasaran dengan sosoknya. (bersambung)
*Cerita Muyassaroh H, asal Panguragan Cirebon. Saat ini menetap di Wonocatur Baguntapan Bantul. Bersama keluarga kecilnya Ia menemani anak-anak di TPA Masjid Az-Zahrotun.
______________
berikut merupakan kutipan novel Hilda (04): Saat Menemukan Jalan Bersuara, beli buruan..
simak artikel terkait Hilda (04): Saat Menemukan Jalan Bersuara di sini
kunjungi channel youtube kami di sini