Episode 2
Hasanah terlihat kebingungan dia membuka lembaran kertas yang ada di tangannya. “Ehmm.. mohon maaf, kebetulan saya belum mencari tahu terkait kedudukan hadist tersebut.” Tangannya masih sibuk membuka catatannya.
“Tetapi untuk ayat 19 dalam Surah An-Nur tersebut jelas bahwa mengumbar aurat adalah perbuatan yang tidak baik dan mendatangkan perbuatan keji, maka adzab akan menghampiri perempuan yang mengumbar aurat.” Jelasnya sedikit gugup dan berkeringat.
Hilda mengangkat tangan, Andin sebagai moderator mempersilahkan.
“Jadi menurut anda perempuan yang tidak menutup auratnya dan menjadi korban perkosaan adalah adzab bagi dia?” Hasana terlihat menggelengkan kepalanya tetapi juga bingung dengan dirinya sendiri.
“Baiklah saya ingin menyampaikan pendapat saya terkait pembahasan ini. Akan tetapi sebelum itu saya ingin meluruskan apa yang disampaikan Mbak Hasanah dan rekannya.” Hilda mulai menata nafasnya untuk lebih tanang.
“Pertama, saya juga belum tahu terkait hadis yang disampaikan mbak kedudukannya kuat atau lemah. Saya juga belum mengetahui asbabulwurudnya, karena dalam usaha saya untuk menjawab pertanyaan kedua ini, hadist tersebut kurang tepat untuk menjawab permasalahan ini.” Hilda kembali menarik nafas dalam, seolah dia sedang menghirup kekuatan yang sempat hilang.
“Akan tetapi mengatakan bahwa kejahatan perkosaan disebabkan oleh perempuan yang tidak menutup auratnya adalah pendapat yang salah dan fatal.” Hilda sedikit menekan kalimat terakhirnya yang membuat peserta lain memperhatikannya.
“Kemudian tentang tafsir yang anda sampaikan juga kurang tepat, apalagi anda tidak menyampaikan tafsir dari ulama siapa yang anda gunakan? Saya pernah membaca tafsir Ibnu Katsir tentang surah an-Nur ayat 19 dan penjelasannya bahwa, ayat tersebut ditujukan kepada orang yang mendengar suatu perkataan yang buruk, lalu hatinya menanggapinya dan ingin membicarakannya. Maka janganlah ia banyak membicarakannya dan janganlah ia menyiarkan dan menyebarkan perkataan itu. Karena Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. Dengan kata lain, kembalikanlah segala sesuatunya kepada Allah, niscaya kalian mengambil sikap yang benar.” Penjelasan Hilda membuat beberapa peserta menganggukkan kepala.
“Imam Ahmad mengatakan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Maimun ibnu Musa Al-Mar’i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abbad Al-Makhzumi, dari Sauban, dari Nabi Muhammad SAW yang telah bersabda: Janganlah kalian menyakiti hamba-hamba Allah dan jangan pula mencela mereka, serta janganlah mencari-cari keaiban mereka. Karena sesungguhnya barang siapa yang mencari-cari keaiban saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka¬kan aibnya hingga mempermalukannya di dalam rumahnya.”
Hilda mencoba menjelaskan secara detail apa yang dia ketahui, inilah kelebihan Hilda,mampu mengingat hafalan bahkan bacaan yang pernah dia baca dengan sangat baik. Kelebihan yang tidak banyak dimiliki orang lain.
“Sudah sangat jelas bahwa ayat tersebut subjeknya bukan tentang aurat perempuan tetapi tentang mengumbar berita keji.” Hilda kembali menata nafasnya sebelum melanjutkan kalimat-kalimatnya.
“Kemudian perlu diingat baik-baik, bahkan perempuan telanjangpun tidak boleh diperkosa!” Sontak seluruh isi ruangan terdiam hening, sehening malam tanpa angin, sehening pagi tanpa kicauan burung hingga kokokan ayam jantan.
“Perkosaan adalah sebuah kejahatan. Kejahatan yang mampu membunuh mimpi manusia, mampu menghancurkan masa depan manusia, mampu membuat luka yang tak kunjung reda. Kejahatan demikian masuk dalam unsur Hiraabah, sebuah kejahatan yang hukumannya jauh lebih berat daripada hukuman zina.” Sangat jelas telihat di ujung matanya menetes air hingga meleleh membasahi jilbab Hilda.
“Apakah kalian semua tahu dalam Al-Quran, Allah melarang umat manusia untuk menggauli atau melacurkan budak jika mereka menginginkan kesucian. Ayat tersebut berada pada surah yang sama yakni surah An-Nur ayat 33, Allah SWT berfirman ‘wala tukrihu fatayatikum ‘ala al-bighai in aradna tahashanan litabtaghu ‘aradha al-ĥayati al-dunya wa man yukrihhunna fainna allaha min ba’di ikrahihinna ghofururoĥim.’ Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah maha pengampun dan penyayang.” Tangan Hilda menarik ujung jilbabnya untuk menyeka air yang lagi-lagi keluar dari matanya.
“Mari perhatikan status perempuan dalam ayat tersebut, dia adalah budak, yang di mana oleh masyarakat Arab saat itu menganggap budak perempuan wajar diperkosa juga dilacurkan. Tapi Allah secara jelas melindungi perempuan dari tindakan keji tersebut. Bagaimana mungkin kita dengan mudah mengatakan bahwa tidakan perkosaan penyebabnya adalah perempuan?”
Ruangan yang hening mulai terdengar bisikan-bisikan juga suara hembusan nafas tegang dari peserta dialog kegamaan. Sebagian mereka ikut menangis, sebagian mereka menyesal dengan apa yang sudah diyakininya, sebagian yang lain merasa kagum dengan pemahaman yang disampaikan Hilda.
“Anda pasti sudah hafal dengan hadist berikut ‘ya ma’syara al-syababi man istatho’a minkum al-ba’ata fal yatazawwaj, fa innahu aghoddhu lilbashori, wa aĥshonu lilfarji, waman lam yastathi’ fa’alaihi bi al-shoumi fa innahu lahu wijaun.’ Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang mampu menanggung sebuah pernikahan, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya menikah itu lebih menundukkan pandangan mata dan lebih memelihara kemaluan. Dan barang siapa yang tidak mampu, hendaknyalah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu dapat dijadikan peredam (berahi) baginya.” Hilda mulai memelankan nada suaranya.
“Jadi, jika laki-laki tidak bisa menahan hasrat ketika memandang perempuan, maka tundukkanlah pandangan dan berpuasalah. Bukan kemudian perkosalah perempuan itu karena dia tidak menutup auratnya!” Suasana kembali hening, seolah kata-kata Hilda kembali menyihir mereka untuk tetap diam mendengarkan.
“Memang perkosaan dan perzinahan sama-sama terkait dengan perilaku hubungan seksual, dan sama-sama dilarang oleh agama, akan tetapi perkosaan dan perzinahan adalah hal yang berbeda. Unsur pezinahan adalah melakukan hubungan seksual di luar ikatan pernikahan, yang dilakukan sukarela antara kedua pihak. Sedangkan perkosaan adalah adanya unsur paksaan, sehingga ada pihak pemaksa yakni pemerkosa, dan ada pihak yang dipaksa yakni korban. Posisi laki-laki sebagai pelaku tentunya berbeda dengan perempuan sebagai korban. Pelaku dalam konteks perkosaan melakukan dua tindakan kejahatan sekaligus, yakni perzinahan dan pemaksaan atas perempuan untuk melakukannya. Sementara perempuan sebagai korban maka tidak boleh disamakan dengan mereka yang melakukan zina secara suka rela. Perempuan ini dipaksa, dia disakiti, dia dinodai. Perempuan demikian tidak boleh dikenai hukuman, mereka tidak melakukan pelanggaran, namun mereka adalah korban dari tindak pelanggaran yang dilakukan pelaku perkosaan.” Nada suaranya mulai tersendat pilu, sepilu hatinya.
“Tolong sampaikan kepada para laki-laki, tundukkan pandanganmu! Tundukkan cara pandangmu! Jika ingin melihat perempuan, janganlah kalian jadikan objek seksual! Tapi lihatnya mereka sebagai manusia yang berintelektual, manusia yang patut dimulyakan, bukan dilecehkan, manusia yang patut dicintai dan dikasihi bukan dinodai dan disakiti.” Ia tak kuasa menahan perasaan luka laranya.
Beberapa saat Hilda terdiam mencoba menahan semua perasaannya. Peserta mulai resah, seluruh santri Darussalam begitu memahami apa yang dirasakan Hilda, Santri lainnya mulai menerka-nerka tentang sosok siapakah Hilda.
Hilda kemudian meminta izin untuk keluar ruangan. Andin pun mempersilahkan Hilda. Suara sesaknya mulai terdengar, Hilda berjalan dengan cepat menuju pintu sambil menunduk dan sibuk menghapus kepiluannya.
“Aduh…!!!” Hilda menabrak seseorang yang sedari tadi berdiri di pintu aula.
“Kamu tidak apa-apa?” tanya laki-laki tersebut.
“Astagfirullah, maaf.. saya tidak melihat anda. Nyuwun ngapunten saestu.” Kata Hilda yang baru menyadari telah menabrak seorang.
“Iya, tidak apa-apa”
“Permisi.” Laki-laki tersebut mengangguk dan memberi jalan Hilda.
*
Argumen santri tadi luar biasa, jelas sekali dia menguasai materi ini. Tatapan dan kata-katanya seolah peluru yang sudah disiapkan sebelumnya untuk membidik sasarannya.
Wafa tiba-tiba penasaran dengan sosok perempuan yang kata-katanya mampu menyihir seluruh orang yang mengikuti dialog agama. Dia memang tidak sengaja melihat proses dialog agama ini. Dia datang ke pesantren ini tujuannya untuk meminta doa restu dari Bu Dhe dan Pak Dhe, kemudian dia ingin ngobrol dengan Gus Imam yang ternyata jadi perumus acara dialog keagamaan tersebut. Tak disangka malah terdiam mematung di bibir pintu dan tercengang dengan santri putri yang bersuara lantang.
“Fa,” sapa Gus Imam, mungkin sapaan ke sepuluh kalinya, karena yang disapa tak kunjung tersadar.
“Eh, Mas Imam assalamualaikum,” Wafa mencium tangan kakak sepupuhnya, Gus Imam tersenyum melihat tingkah adik sepupuhnya.
“Piye rencana S2 sido?” Wafa mengangguk dan mereka mulai larut dalam obrolan.
“Kamu gak capek dari tadi berdiri di pintu aula?” kata Gus Imam yang ternyata sudah tahu kalau Wafa menguping kegiatan dialog keagamaan. Wafa hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Gus Imam.
“Sudah selesai acaranya mas?” Tanya Wafa.
“Belum, udah dzuhur jadi istirahat dulu, nanti dimulai lagi, biasanya selesai sampai sore.” Jelas Gus Imam, Wafa mengangguk paham.
“Eh Mas, santri yang argumennya tajam tadi siapa namanya?”
“Waaaah… Ada yang penasaran nih.”
“Cuma tanya mas.” Kata Wafa yang menutupi perasaan penasarannya.
“Namanya Hilda, santri yang memiliki kemampuan unik. Jika dia ingin mempelajari sesuatu pasti dia kejar sampai dapat. Hilda pembaca yang kuat, pembelajar juga penghafal yang baik.” Wafa mengangguk, seolah setuju dengan Gus Imam.
“Dia kuliah atau tidak mas?” Gus Imam mengangguk.
“Kuliah di mana? Semester berapa?” tanya Wafa semakin penasaran. Gus Imam memandang mata Wafa dengan penuh curiga. Wafa segera bereaksi menghindar tatapan Gus Imam.
“Hahahaha…. Wafa, Wafa… baru kali ini aku melihat kamu tertarik dengan perempuan.”
“Mas, saya cuma nanya doang,” Wafa mencoba mengelak, Gus Imam semakin terkekeh.
“Iya, iya.. Hilda semester 4 dan kalau tidak salah jurusannya Manajemen.”
Wafa terkejut mendengar penjelasan Gus Imam, dia baru semester 4 sudah menguasai teks-teks tersebut. Dan bukannya dia jurusan tafsir hadist atau ilmu keagamaan tapi jurusan Manajemen. Wafa mulai berdialog dengan hatinya sendiri.
Tanpa dia sadari tanganya memegang dadanya. Jauh di dalam sana irama detakan seolah dekat dengan telinganya. Tunggu suara apa ini? (Bersambung)