Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN WNU DIY.
Tatkala seri kajian ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailaniini telah sampai ke perkara ilmu,semenjak bagian “ilmu hakikat”, belum ke jenjang “ilmu makrifat”, terlihat jelas betapa ini adalah jagat yang sangat pelik, samar, dan rawan salah paham –termasuk saya sendiri (a’udzubilLahi minas syaithanir rajim wa astaghfirulLah wa atubu ilaih). Bisa kita bayangkan, umpama kita memasuki jagat Sirr tanpa “teman” atau “guru rohani” yang intens memberikan pemahaman, dialog, bimbingan, dan bahkan koreksi, kita sungguh bisa terperosok ke mana-mana. Maka marilah kita berhati-hati selalu….
Dengan kata lain, kita sangat membutuhkan guru pembimbing (mursyid) dalam mengarungi samudra spiritualitas tiada batas nan kebak rahasia ini. Peranan guru rohani akan terasa mendasar sekali bila kita memasukkan “dimensi esoterisnya” sebagai “orang yang telah jauh lebih berpengalaman dibanding kita, pelaku amaliah riyadhah, sang bijak bestari, ahli hikmah, bersih hatinya, hamba Allah Swt dengan keberkahan doa yang luar biasa kepada diri kita.”
Bertasawuf tanpa guru berisikomembuat kita terjebak pada keliaran pikiran, nalar ilmu yang membabi buta, dan gelora hawa nafsu. Boleh jadi, jebakan itu membuat kita merasakannya sebagai keluhungan rohani, padahal bukan.
Lalu boleh jadi lagi di fase berikutnya kita malah terjatuh pada penakwilan-penakwilan nekat tentang Dzat Allah Swt, tajalliNya, Ruh al-Quds, Hadrat al-Quds, dan segala SirrNya. Dan yang paling mengerikan adalah kita malah “dibimbing” iblis.
Ingat selalu ayat yang dinukil Syekh Abdul Qadir al-Jailani ini: “Iblis menjawab: dengan kekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka semua kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis (yaitu orang yang ikhlas) di antara mereka” (QS. Shad 82-83).
“Bimbingan” iblis ini boleh jadi masuk melalui liarnya imaji-pikiran atau lanturan hawa nafsu hingga laku-laku tertentu yang tak berdasar, dan sebagainya. Dan celakanya kita sulit betul untuk mendeteksi dan apalagi memahami bahwa itu semua hanyalah tipu daya iblis –sama sekali bukan pemahaman dari Allah Swt. Walhasil, kita sejatinya hanya sedang menyembah hawa nafsu atau pikiran sehingga semakin jauh dari WajahNya ‘Azza wa Jalla.Na’udzubilLah min dzalik.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani menukil surat al-Furqan ayat 43 ini sebagai pengingat: “Terangkanlah kepadaKu tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara baginya.”
Karenanya, mari kita sadari dan akui bahwa maqam rohani kita masih sangat kelam oleh noda-noda duniawi yang penuh tipu-daya, entah dari jalur hawa nafsu atau iblis, sehingga kita benar-benar membutuhkan bimbingan guru rohani. Dan, juga mari senantiasa kita sadari dan akui bahwa “hanya Allah Swt lah yang mengetahui kebenaran hakiki segala sesuatu, bukan ilmu kita, sehingga sejatinya derajat kita semata adalah tidak tahu (walLahu ya’lamu wa antum la ta’lamun)”. Niscaya ini akan meruahkan kerendahan hati kita.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa Guru Teragung adalah Allah Swt. Ini adalah maqamHadratul Quds (Majelis Suci) yang telah memasuki MakrifatulLah berkat pertolongan dan karuniaNya Yang Maha Kuasa dan Berkehendak.
Kita, siapalah kita ini?
Mari sekarang kita andaikan saja diri ini adalah kaum awam yang sedang berjuang dan memohon kepada Allah Swt agar bisa menggapai maqamlebih tinggi, yakni “bisa memandang sifat-sifat Allah Swt yang memantul ke cermin hati yang suci.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa untuk menggapai tingkatan ini kita perlu membersihkan dan mengilaukan hati terlebih dahulu. Dan untuk membersihkan dan mengilaukannya, kita mesti mencari dan memiliki guru yang matang di bidang ilmu kerohanian dan Ketuhanan; guru yang telah menempa pengalaman ‘berpadu dengan Allah Swt’; guru yang dihormati dan dimuliakan (karena kecemerlangan rohaninya).
Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa fungsi dari guru rohani ini adalah untuk memberi pelajaran kepada orang-orang pilihan (maksudnya: bergerak/digerakkan oleh Allah Swt untuk belajar), dengan mematuhi syariat dan ajaran Nabi Muhammad Saw dan tidak menyeleweng dari jalan yang telah ditetapkan Allah Swt. Dengan berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Allah Swt dan RasulNya itulah, guru rohani membantu dan membimbing murid-muridnya membersihkan hati mereka masing-masing –karena hanya hati yang bersihlah yang akan menjadi tempat layak untuk menerima hikmah dan ilham Keilahian.
Itulah sebabnya mengapa guru rohani yang telah kasyaf kadang memberikan pola dan pendekatan pendidikan yang tak sama kepada murid-muridnya –tergantung pada kondisi rohani masing-masing murid.
Penekanan Syekh Abdul Qadir al-Jailani kepada “guru rohani” yang melakoni langsung dan lama lelampah tasawuf ini memperlihatkan adanya “kerja resonansi” rohani yang cemerlang kepada sekitarnya, yakni rohani murid-muridnya. Ini tidak beralasan sama sekali untuk dituding sebagai “menuhankan guru”, sebab itu terlarang secara syariat.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani dengan tegas mengatakan, “Guru sufi (rohani) dilarang membuat syariat baru, dilarang berbuat seolah dirinya pandai sehingga menyimpang dari garis yang telah ditentukan dalam al-Qur’an dan Sunnah NabiNya.”
Yang saya maksud “kerja resonansi” rohani adalah kemampuan untuk “memandang sifat-sifat Allah Swt yang memantul ke cermin hati yang suci” (milik rohani guru) menjadi wahana (washilah) yang memungkinkan para murid untuk mendapatkan ta’lim pemahaman dan pelajaran rohani yang holistik (utuh-padu) dan sekaligus pendidikan rohani (tarbiyah) yang bisa saja berwujud amal-amal keseharian (termasuk laku-laku riyadhah) atau tafakkur dan mujahadah dan sekaligus menyambungkannya melalui berkah doa-doa guru kepada Allah Swt.
Finalnya, semua proses ta’lim dan tarbiyah guru rohani ini mengarah pada tazkiyatus nafs (penyucian hati/diri) sebagai tujuan pokoknya.
Secara realistis, kita sangat bisa membayangkan umpama kita sedang masygul karena kondisi keuangan yang surut belakangan ini, lalu sempat terlintas di dalam pikiran bahwa inilah ujian Allah Swt untuk mengangkat keluhungan rohani diri, guru rohani sangat bisa kita mintai wedaran wejangan dengan dasar keilmuan dan kerohaniannya yang cemerlang.
Dari bimbingan guru rohani ini, kita takkan terkecoh oleh tipu-daya iblis dengan semata menakwil sendiri sebagaimana kondisi awal tadi, lalu secara sepihak menakar diri sedang dimuliakan oleh Allah Swt melalui ujian kesulitan sebagaimana yang jamak diarungi para salik terkemuka.
Terlihat jelas dari contoh tersebut, tanpa guru rohani, kita sungguh rawan dipermainkan pikiran, hawa nafsu, dan tentulah tipu daya iblis. Kita sungguh rawan tidak sedang menuju kepada kerendahan hati sebagai cermin kejernihan rohani, tapi malah sedang menuju kepada pemberhalaan diri yang tercela.
Wallahu a’lam bishshawab.
Jogja, 30 Juli 2019