Desember 2016, komunitas Nahdliyyin sempat dibuat heboh oleh statemen seorang Ustadz, yang menyatakan bahwa: “Kiai Hasyim tidak mengerti agama, tidak bisa baca kitab, dia itu tokoh politik, tidak bisa baca kitab. Dia bukan ahli agama. Hanya tokoh agama yang tidak mengerti agama.”
Mantan Ketua Umum PBNU sekaligus Pendiri ICIS (International Conference of Islamic Scholars) ini, dianggap buta agama dan kitab kuning. Sontak, ribuan nahdliyyin berjibun mengomentari pernyataan ustadz tersebut.
Saya sendiri, sempat geram dengan statemen itu. “Masak sih seorang Ketum PBNU kok gak bisa baca kitab?” gumam hati bertanya-tanya. Statemen seperti ini juga pernah saya dengar langsung dari ustadz yang notabenenya alim syari’at. Katanya, “Kalau mau alim ya ngaji yang bener, imrithi dan alfiahnya ditekuni, tapi kalau mau jadi tokoh ya gak perlu alim, cukup ahli organisasi saja. Contohnya kayak Kiai Hasyim Muzadi itu”.
Dulu, saya setengah percaya. Namun, perlahan lahan, klarifikasi tuduhan tak berdasar itu deras saya terima. Puncaknya, ketika saya bertemu murid kinasihan (kesayangan) Abah Hasyim bernama A. Shofiyuddin (Isyroqun Naja) awal Ramadhan lalu. Dari Gus Shofi, saya menggaruk banyak klarifikasi tentang kisah Abah Hasyim atas tuduhan ustad itu.
Gus Shofi berkisah, kala viral statemen yang mendeligitimasi karakter Abah Hasyim itu, beliau langsung turun tangan. Beliau menorehkan komentar di kolom FB status si ustadz, yang berbau tantangan diskusi, untuk membuktikan benar tidaknya tuduhan tersebut, sebelum fitnah meluas dan menghancurkan marwah sesepuh NU. Ia mengaku tak terima Abah Hasyim difitnah sedemikian keji, hingga kala tantangan beliau telah terpampang dalam kolom FB sang ustad, statemen tersebut buru-buru dihapus.
Selang beberapa saat setelah melayangkan tantangan diskusi pada sang ustadz, sambung Gus Shofi, ternyata ia ditegur oleh dosen yang menjadi Pimpinan Ponpes Al-Hikam 1 Malang yang ternyata sohib dari ustadz kala ngangsu kaweruh di Darussalam Gontor. Ia dianggap angkuh karena petentang-petenteng menantang teman dosennya itu, hingga kemudian ia menjelaskan bahwa yang dimaksud bukan diskusi tentang keilmuan, tapi diskusi yang lebih bermuara pada klarifikasi terhadap fitnah.
Lama saya berdialog, sambil ngudud santai dan nyeruput kopi, menantu Dr. KH. Hamdan Rasyid (Ketua MUI) ini menceritakan pada saya kehebatan sosok Abah Hasyim. Di matanya, Abah Hasyim merupakan tokoh sentral NU yang pengaruhnya luar biasa besar bagi kemajuan umat Islam, khususunya NU. Tidak seperti yang dituduhkan, beliau ternyata sangat ahli dalam agama dan mahir mengkaji kitab kuning.
Gus Shofi bersama santri Al-Hikam lain, ngaji sorogan Ihya’ Ulumuddin pada Abah Hasyim, dan ketika bacaannya salah, beliau membenarkan lengkap dengan kaidah ilmu alat yang dikaji di Pesantren. Abah Hasyim, masih menurut Gus Shofi, mempunyai daya sufistik yang sangat tinggi. Hal itu terbukti ketika beliau mengurai subtil kitab Al-Hikam Ibnu Atho’illah. Kitab Al-Hikam yang konon jarang dipahami kalangan kiai biasa, menjadi ringan ditangan Abah Hasyim.
“Jago beliau”, komentar santri yang nderek menemani Abah Hasyim selama 10 tahun itu. Tak bisa dibayangkan, sosok Ketua Umum PBNU, perintis ICIS, penerjemah kompleksitas statemen Gus Dur, sekaligus Pendiri Pesantren Al-Hikam yang memiliki 3 cabang (Malang, Depok dan Papua) dituding buta kitab kuning oleh seorang ‘ustad’ yang entah dari sisi mana ia menjustifikasi.
Yang paling berperan dalam kealiman Abah Hasyim, menurut Gus Shofi, adalah kakak kandungnya, KH. A. Muchit Muzadi (santri langsung Hadlratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari) Jember. Beliau ngaji ke Kiai Muchit, tentang banyak hal, termasuk pendalaman kitab pesantren, ke-NU-an dan wawasan kebangsaan. Selain ke Kiai Muchit, Abah Hasyim juga santri dari KH. Ma’sum (Lasem), Mbah Abul Fadhol Senori (Tuban) dan merupakan santri senior Abah Guru Sekumpul (Zaini Abdul Ghani) Martapura. Bagaimana mungkin beliau dituduh buta kitab kuning?
Di kancah internasional, nama beliau sangat masyhur. Ia menjadi sekjend ICIS (Internatioanal Conference of Islamic Scholars) dan dikenal sebagai tokoh perekat lintas agama dan aliran. Saya sendiri juga pernah mendengar langsung, pujian Prof. Dr. Mariam Ait Ahmed (tokoh agama skala internasional dari Maroko) kala PTIQ menggelar seminar kabangsaan Internasional di aula Ma’had, pada Kiai Hasyim dan menyebutnya sebagai lautan ilmu.
Mustastasyar PBNU, KH. Maimoen Zubair (Mbah Mun) dalam satu kesempatan, juga pernah memberi pemandangan monumental, ketika beliau mencium tangan Abah Hasyim di depan umum dan disambut dengan saling cium oleh beliau berdua. Seakan Mbah Maimoen ingin memberi pesan, bahwa Abah Hasyim bukan orang sembarangan. Faqih Mesir, Syaikh Wahbah Zuhaili (Allah Yarham) juga mengakui peran Abah Hasyim dalam menjaga Ahlussunnah Wal Jama’ah di dunia, dan menitipkan Nahdlatul Ulama di pundak beliau.
Sekali lagi, masih tegakah ketika Kiai Hasyim disebut buta agama dan kitab kuning?
Ila ruhi KH. Hasyim Muzadi, Alfatihah….
*Jepara, 12 Juni 2019
Ket foto: Prof. Mahfud MD, bersama Dr. (HC) A. Hasyim Muzadi, Prof. Alwi Shihab, KH. Abdurfahman Wahid (Gus Dur), KH. Abdullah Faqih Langitan tahun 2002.
Penulis: Abdurrohim Badri.