Cara Khusus Kiai Noer Iskandar Mendidik Santri Nakal.
Jika saya tak ikut tahlil malam ini via dalam jaringan (online), mungkin saya akan terlambat mengetahui kasih sayang KH Noer Iskandar kepada para santri, terutama para santri yang suka bikin kepala para ustad dan pengurus santri pusing tujuh keliling.
Jika Kiai Noer biasa memutihkan santri yang tak bayaran atau tak mampu bayaran, itu bukan informasi baru. Saya beberapa kali beliau omong itu. “Saya sudah ikhlaskan kalian-kalian yang tak bayaran,” katanya.
Suatu hari KH Noer pernah meminta Kepala Sekolah Madarasah Aliyah Ashidiqiyyah memberi daftar nama-nama santri nakal. Daftar itu dibagi dalam tiga golongan: sangat nakal, sedang, dan ringan.
Mendengar permintaan itu, Kepala Sekolah girang dan berpikir masalah mungkin akan selesai. Mereka yang ada dalam daftar akan dipanggil dan diberi sanksi sesuai perbuatan mereka. Bisa-bisa dikeluarkan dari pesantren.
Seminggu berlalu nama-nama santri dalam “daftar hitam” itu belum pula dipanggil. “Mungkin dua minggu lagi,” pikir sang Kepala Sekolah. Dua minggu berlalu, pemanggilan tak terjadi hingga waktu genap sebulan. Akhirnya sang Kepala Sekolah berinisiatif menanyakan bagaimana tindak lanjut dan keputusan Kiai Noer untuk santri-santri itu.
Jawaban Kiai membuatnya kaget. Memang tak ada pemanggilan dan sanksi. Nama-nama dalam daftar digunakan Kiai itu rupanya hanya untuk disebut satu persatu dalam doa khusus Kiai. “Kalau kita merasa tak sanggup, kita memang harus mengadu pada Allah. Saya shalat hajat dan berdoa agar Allah membukakan hati mereka untuk bisa menjadi manusia yang lebih baik,” kata Kiai Noer seperti disampaikan sang Kepala Sekolah.
Sang Kepala Sekolah tak lain KH Mujib Qulyubi, Katib Syuriah Pegurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Wakil Rektor Universitas Nahdlatul Ulama yang malam itu memberi kesaksian tentang Kiai Noer. Kesaksian itu disampaikan di depan makam Kiai Noer yang masih basah dan kembang-kembang yang mulai layu, di depan ratusan santri Ashidiqiyyah di Kedoya dan lebih dari 500 orang yang hadir via daring.
Pada era 90-an, Kiai Mujib dipercaya sebagai Kepala Madrasah Aliyah. Lalu saya ingat kembali cerita berpuluh-puluh tahun silam ini. Suatu kali, KH Mujib meminta saya dan seorang teman pondok datang ke ruangannya di lantai dua.
Ini jelas bukan perkara remeh-temeh. Selama nyantri, baru kali itu KH Mujib memanggil saya. Anak tangga di lantai dua yang menghubungkan ruang kelas saya dengan ruang kepala sekolah rasanya seperti titian rambut dibelah tujuh. Di bawahnya lautan air yang bergolak-golak diisi ratusan orang yang menanggung amal perbuatan buruk mereka. Kami berjalan pelan-pelan dan rasanya berharap tak pernah sampai.
Betul saja. Perkaranya memang genting. Ibu teman saya melapor kepada pesantren bahwa kami keluar pondok tanpa izin, perbuatan ilegal dalam kacamata pesantren.
Masalah bertambah rumit, karena laporan itu menyebut kami melakukannya beberapa kali. Bagaimana cara keluar pondok, cukup kami-kami saja dan petugas pintu pagar pondok yang mengerti. Bukankah rahasia selalu menarik untuk ditutup rapat-rapat mirip kacang goreng di hari lebaran?
Jika terdakwa tampak baik dan menunjukkan perasaan bersalah, biasanya hakim akan mempertimbangkan berat-ringannya hukuman. Begitulah yang kami lakukan. Entah mengapa, tapi begitulah yang kami amat syukuri, Kiai Mujib tak menghukum kami berdiri di tengah lapangan disaksikan hampir lebih dari 700 santri laki-laki perempuan.
Kiai Mujib mengambil gunting di mejanya, lalu memegang beberapa helat rambut kami lalu mengguntingnya. “Ini supaya kalian tak nakal,” katanya.
Hingga hari ini saya tak tahu pasti apakah dalam deretan nama-nama yang diberikan Kiai Mujib pada Kiai Noer, ada nama kami di situ. Biarlah itu tetap menjadi misteri. Jika benar ada, setidaknya di antara ribuan santri, saya beruntung sudah mendapatkan doa khusus KH Noer.
Kalimulya, 15 Desember 2020
Penulis: Alamsyah M Dja’far, santri Kiai Noer Muhammad Iskandar SQ.
*Demikian kisah Cara Khusus Kiai Noer Iskandar Mendidik Santri Nakal, semoga manfaat.