Setiap kiai, ulama, cendekia Muslim tidak lepas dari dinamika dua pendulum “al-qadim ash-shalih” (lawas apik) dan “al-jadid al-ashlah” (anyar luwih apik). Tak terkecuali mendiang almaghfurlah Syaikh Maimoen Zubair.
Membaca karyanya, “al-Ulama’ al-Mujaddidun”, beliau bisa digolongkan dalam aliran pemikiran Neo-Tradisionalisme Islam, yang menekankan pembaruan Islam dari jantung tradisi sambil memungkinkan ajaran Islam mengalami kontekstualisasi setiap saat seiring dengan tuntutan zaman. Prinsip acuannya adalah kemaslahatan menjawab kompleksitas problem-problem kontemporer yang berkembang.
Para ulama sepuh biasanya tidak suka dengan istilah “tajdid”. Jangankan “tajdid”, istilah “ijtihad” pun jarang dipakai karena sungkan kepada generasi Salaf, merasa belum berhak mengklaim melakukannya. Tapi Syaikh Maimoen tidak. Beliau menggunakannya. Konsepsi lahirnya seorang atau beberapa “mujaddid”, pembaharu tradisi agama, di setiap satu abad, sangat mempengaruhi pemikirannya.
Ini dimungkinkan karena Syaikh Maimoen bergumul dengan historisitas pemikiran Islam. Beliau tidak alergi dengan sejarah. Beliau menekankan bahwa sejarah dan tradisi agama saling terkait. Mengamalkan agama tanpa lensa sejarah adalah rabun senja yang berbahaya.
Apa yang menjadi PR bagi generasi intelektual Islam, Nahdliyin khususnya, pasca-Syaikh Maimoen?
Syaikhona baru berangkat dan bergumul dengan sejarah internal pemikiran. Sejarah pemikiran Islam dilihat dari perkembangan internal antara teks induk dan teks-teks komentar. Beliau belum menyentuh sejarah eksternal pemikiran Islam, atau sejarah Islam dilihat dari perkembangan kekuatan sosial, ekonomi-politik, dan budaya yang mempengaruhi ajaran Islam. Misalnya, bagaimana kolonialisme, kapitalisme, atau terbentuknya Negara-Bangsa mempengaruhi hukum Islam. Hal itu bukan sama sekali tak ada. Kesadaran akan hal itu ada. Terkadang tersampaikan di berbagai kesempatan. Khususnya mengenai hubungan antara Islam dan Negara. Namun belum terumuskan secara sistematis dan kritis.
Bagian ini menjadi PR yang berat bagi generasi calon “mujaddid” pasca-para kiai sepuh ke depan. Generasi yang ber-“tafaqquh fid din”, tapi juga mengerti dan memahami geopolitik, tatanegara, ekonomi-politik. Bisa baca kitab kuning dan hapal bait Alfiyyah, tapi juga memahami kapitalisme, neoliberalisme, perburuhan, agraria, gender, dan seterusnya.
Apakah nantinya kaum penerus estafet Syaikh Maimoen Zubair akan menjadi Neo-Tradisionalis seperti beliau, atau Post-Tradisionalis seperti Ahmad Baso, atau Post-post-Tradisionalis seperti penulis status ini, itu tergantung pada militansi dan milieu belajar yang kondusif. Yang jelas, untuk soal ketekunan belajar, membaca, dan stamina mengaji, Syaikh Maimoen Zubair adalah salah satu pioner yang akan sulit ditandingi.
Tidak mungkin 100 tahun mendatang lahir generasi “mujaddid”, bila hanya bermodalkan Instagram atau Twitter.
Penulis: Muhammad Al Fayyadl, Pesantren Nuru Jadid Paiton Probolinggo Jawa Timur.