Apa Hakikat Cinta yang Sebenarnya, Perlu di Pahami!!

Apa Hakikat Cinta yang Sebenarnya

Apa Hakikat Cinta yang Sebenarnya.

Oleh: Wasna Arif Mahmudi Penikmat Kajian Keagamaan Tinggal di Bantul

Bacaan Lainnya

Cinta. Sebuah kata yang sering diucapkan oleh insan yang dimabuk asmara kepada pasangannya.  Seakan kata cinta hanya relevan dengan remaja yang sedang mabuk asmara atau menjadi lirik penuh sukacita, duka dan lara dalam lagu-lagu. Padahal, kata cinta sering diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam tema persaudaraan dan persahabatan bahkan tema cinta itu sendiri.

Para salafuna shalih, berkata “janganlah engkau mengatakan cinta kepada seseorang, kecuali setelah engkau merelakan dirimu berbagi harta dengan baik, adil, dan ketika orang yang engkau cintai tertimpa musibah (penderitaan) maka engkau merasakan hal yang sama, barulah ketika sudah demikian engkau layak mengatakan cinta kepada orang yang engkau cintai”.

Inilah standar cinta menurut salafuna Shalih, yang ternyata tidak sederhana dan tidak mudah. Banyak manusia bisa bersama ketika dalam kesenangan dan kebahagiaan namun sangat sedikit orang yang bisa setia dalam kepedihan, bahkan lebih sangat sedikit orang yang bisa merasakan kepedihan, penderitaan orang yang dicintai.

Itulah hubungan cinta, kerelaan berbagi harta dan satu rasa, terutama dalam kepedihan. Hal ini tentunya tidak terbatas antara laki-laki dan perempuan, suami istri, orang tua dan anak, kakak dan adik, namun mencakup seluruh hubungan secara menyeluruh.

Kepada siapa kita menyatakan cinta? Apakah standar dari salafuna Shalih sudah sesuai yang kita rasakan ? Atau cinta kita hanya sebatas kata-kata semata ?

Baca tulisan menarik lainnya dari Wasna Arif Mahmudi di sini

____________

Semoga artikel Apa Hakikat Cinta yang Sebenarnya ini memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait Apa Hakikat Cinta yang Sebenarnya di sini

simak video terkait di sini

BONUS ARTIKEL TAMBAHAN

Kewalian Mbah Maimoen Zubair Diuji Oleh Santri Mbeling

Santri asal Madura yang mondok di Al-Anwar Sarang berkisah tentang kewalian gurunya KH Maimoen Zubair. Santri Mbah Moen yang menjuluki dirinya Santri Mbeling ini suatu hari pernah bermaksud ingin menguji perihal kewalian gurunya.

Singkat cerita santri yang katanya sempat tidak betah di Sarang ini, melakukan testimoni kewalian gurunya dengan cara pergi ke dalem (rumah) Mbah Moen. Kala itu dia memiliki keyakinan bahwa seorang wali itu mampu membaca pikiran orang. Sehingga kata dia, kalau Mbah Moen memang benar-benar waliyullah pasti ditemui di depan dalem.

“Kalau Mbah Moen memang wali, pasti Mbah Moen akan menemui saya siang bolong ini di depan rumahnya,” gumamnya dalam hati.

Pada saat dia sudah berada di depan ndalem, ternyata tidak ada orang sama sekali kecuali hanya putra Mbah Moen.

“Di depan pintu ndalem Mbah Moen, ada sosok yang memantau saya sejak saya masih di mulut gang, matanya cekat memandang saya, saya drastis gemetaran mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, sungguh hati saya menahan malu. Sosok itu adalah Gus Kamil Maimoen. Gus Kamil terus memandang saya, hingga saya berada 1-2 meter di hadapannya, jantung saya berdegub kencang tak alang pialang.”

Setelah testimoni tidak berhasil, keesokan harinya ayah santri asal Sumenep ini datang ke Sarang. Dan kedatangan ayahnya ini tanpa terduga. Karenanya santri mbeling ini mulai tak habis pikir, kok tahu-tahu datang ke Sarang.

“Ayo ikut aku sowan ke Mbah Maimoen sekarang!” ajak ayahnya.

Mendengar ajakan itu santri ini kaget,

“Apakah kedatangan ayahku ini ada hubungannya dengan kecongkakanku dua hari yang lalu kepada Mbah Maimoen ya?”. Dia dalam hatinya mulai curiga bercampur cemas.

Dan ternyata benar, ketika sampai di ruang tamu Mbah Moen, ayah santri ini langsung mendorong tubuh kurusnya hingga tersungkur ke dalam pelukan Kiai Maimoen Zubair.

“Inilah pelukan pertama saya, langsung dalam dekapan Kiai Tercinta, saya menangis dan tebata-bata mengucapkan permohonan maaf atas sikap mbeling saya dua hari sebelumnya.”

Ayahnya matur kepada Mbah Moen, “Anak saya ini tidak berhenti nakal, Kiai. tolong doakan anak saya ini”

“Saya masih dalam pelukan Kiai Maimoen, namun berubah posisi, kepala saya ada dalam pangkuannya.”

Mbah Moen bertanya, “Sopo jenengmu? Koe ngaji opo? Koe kelas piro saiki?”

Kemudian Mbah Moen mengangkat tangannya, seraya mendoakan santrinya ini, dan semua tamu-tamu yang ada di ruangan tersebut mengucapkan amin, amin, amin.

Sesudah berdoa, Kiai Maimoen menyuruh santri mbeling itu bangkit dari pangkuannya, kemudian menyuruhnya menghabiskan segelas kopi panas, panas sekali, “langsung habiskan!” kata Mbah Moen.

“Panas full…! Seandainya bukan Mbah Moen yang sudah sangat sepuh itu yang menyuruh, pasti saya tidak mau minum dengan cara yang seganas itu,” ucap santri mbeling.

Sesudah minum kopi, ayahnya langsung pamitan, dan langsung pulang ke Sumenep Madura. Sebelum menutup pintu mobil, ayahnya berujar,

“Lihat minggu depan! Kau akan tahu betapa beningnya hati Kiai Maimoen, dia waliyullah”. Santri Mebling akhirnya sadar, kalau kelakuannya tempo hari memang benar-benar diketahui gurunya.

Persis seperti perkataan ayahnya, seminggu kemudian ada tamu agung dari Kota Damaskus Syekh Rajab Dib namanya, kabarnya seorang mursyid thariqah. Kedatangannya disambut oleh marching band Al-Anwar dan forum halaqah di mushala Al-Anwar.

Pada kesempatan itu Syekh Rajab Dib pidato dalam bahasa Arab di hadapan para santri, dan diterjemahkan oleh pengurus PCINU Damaskus kala itu, tidak diketahui namanya. Kurang lebih begini isi pidatonya:

“Wahai santri sekalian, tahukah kalian? Aku melihat cahaya-cahaya bersinar-sinar dari wajah Kiai Maimoen Zubair. Lihatlah dan perhatikanlah wajah Kiai kalian ini, dari setiap lubang-lubang kulit tubuhnya, lubang-pori wajahnya, memancarkan cahaya, maka sungguh tak salah bila pesantren ini dinamakan Al-Anwar (Cahaya-cahaya). Aku bersaksi bahwa Kiai Maimoen Zubair ini waliyullah, dia alim dalam keilmuan dhahir dan alim dalam keilmuan bathin. Jika di Indonesia jumlah Walisongo ada sembilan, maka aku berpendapat bahwa Kiai Maimoen Zubair yang ke-10”

“Syekh Rojab menyampaikan pidato sambil berderai air mata. Semua santri dan hadirin menangis, Kiai Maimoen juga menangis, dan saya juga menangis,” cerita santri mbeling.

Demikian Kewalian Mbah Maimoen Zubair Diuji Oleh Santri Mbeling. Semoga bermanfaat.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *