Wara’ Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

syekh abdul qodir jaelani

Oleh: Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY.

Pintu lanjutan dari capaian zuhud ialah wara’. Wara’, secara sederhana, jamak kita pahami sebagai “meninggalkan perkara haram dan syubhat; meninggalkan bahkan perkara mubah; meninggalkan perkara yang tiada guna; meninggalkan laghwun (silakan cek surat Al-Mukminun ayat 3); tegasnya, meninggalkan segala hal yang tiada terkait dengan ketundukan kepada Allah Swt.”

Dalam riwayat Imam Thabrani, Rasulullah Saw bersabda: “Keutamaan menuntut ilmu itu lebih utama daripada keutamaan banyak ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah wara’.”

Itu pengertian umum kita selama ini.

Saya akan nukilkan ajaran Syekh Abdul Qadir al-Jailani tetang apa yang dimaksudkannya sebagai wara’, sikap wira’i seorang hamba Allah Swt, lalu mari kita simpulkan kemudian pengertian yang utuh terhadap istilah tersebut.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani memetakan wara’ ke dalam tiga jenjang:

Pertama, orang yang bersikap wara’ dengan cara meninggalkan segala hal yang haram dan syubhat.

Kedua, orang yang bersikap wara’ dengan cara meninggalkan segala dorongan hawa nafsunya.

Ketiga, orang yang bersikap wara’ dengan cara meninggalkan segala yang menjadi keinginan dirinya.

Derajat wara’ pertama inilah yang lazim kita pahami selama ini. Tatkala kita memandang sesuatu sebagai tidak sesuai syariat Allah Swt, entah karena status hukumnya jelas haram maupun belum jelas, maka ditinggalkannya. Tepat di posisi ini jugalah, misal, Ibnu Qayyim al-Jauziyah, murid utama Ibnu Taimiyah, mendefinisikan kewara’an. Tentu, ini pemahaman yang sahih belaka.

Namun, menurut Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani, itu derajat wara’ orang umum, khalayak awam.

Derajat wara’ khusus (khawas) berada di jenjang kedua, yakni meninggalkan segala bentuk dorongan yang berakar pada hawa nafsu. Lagi-lagi, saya ingin menyegarkan ingatan Anda pada ayat 53 surat Yusuf yang bicara tentang hawa nafsu yang senantiasa mendesak kepada keburukan.

Boleh jadi, wujudnya tak berupa kemaksiatan yang sharih. Ia bukan sesuatu hal yang berstatus haram maupun syubhat.

Boleh jadi, wujudnya adalah halal, sah, dan kebaikan. Dan, di sinilah poin pentingnya, bila kebaikan dan kemuliaan amaliah tersebut bersumber dari hawa nafsu, para ahlu wara’ yang khawas akan meninggalkannya. Meninggalkan dalam kewara’an begini tidak berarti meninggalkan perintah syariat.

Kita ambil contoh terang.

Pada suatu Subuh, kita bangun dan berangkat ke masjid untuk shalat berjamaah. Ini lelaku kemuliaan, tentu saja, dan benar secara syariat.

Akan tetapi, bila di hati kita terbersit perasaan bahwa amal ibadah pagi ini adalah berkah keluhungan diri, iman di hati,dan rajinnya diri dalak beribdah kepadaNya, maka jelaslah itu semata dorongan hawa nafsu. Sumber ibadah kita tersebut adalah kekelaman hawa nafsu belaka.

Maka tinggalkanlah!

Cara meninggalkannya bukanlah dengan membatalkan shalat jamaah Subuh tersebut. Bukan. Tetapi bersegeralah mengingat Allah Swt, beristighfar padaNya atas sembulan perasaan pongah tersebut, dan kembalikanlah segera kepada semata karunia Allah Swt, serta memohonlah kepada Allah Swt semoga peribadatan tersebut dijadikanNya analiah dan washilah bagi perbaikan rohani kita.

Betul, inilah yang menjadi lelaku wara’ kaum wira’i yang telah khawash. Terlihat jelas bahwa derajat wara’ pertama diperdalam lagi secara rohani dengan menusuk kepada dimensi tawakkaltu ‘alalLah.

Derajat wara’berikutnya, atau diistilahkan wara’khawashul khawash, menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani ialah meninggalkan segala keinginan pada diri. Apa pun, baik itu berurusan dengan kehidupan duniawi (seperti bisnis) dan pula peribadatan syariat.

Mari bercermat agar kita tak terkecoh dan terjungkal ke dalam kesimpangsiuran pemahaman. Saya beri tamsil dengan ilustrasi sederhana.

Suatu hari Anda berjumpa seorang fakir yang terlihat sangat kuyu dan pilu. Hati Anda tergerak empati kepadanya. Lalu Anda rogoh kantong dan memberikan derma kepadanya.

Mari ajukan pertanyaan rohani yang mendalam di sini: apakah Anda mengakui dengan tulus bahwa Allah Swt lah yang memperjumpakan Anda dengan sosok fakir yang kuyu dan pilu itu, kemudian Allah Swt pulalah yang membersitkan rasa empati di hati Anda, dan juga Allah Swt lah yang menggerakan tangan Anda untuk merogoh kantong celana, kemudian Allah Swt jugalah yang menggerakkan tangan Anda untuk menyodorkan sejumlah derma itu hingga terwujudlah amal sedekah tersebut?

Hanya ada Allah Swt dan selalu semata Allah Swt yang menjadi penggerak lahiriah dan batiniah kita –ini ontologinya, ini hakikatnya.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani lalu membagi kewara’an khawashul khawash ini dalam dua wilayah: lahiriah dan batiniah.

Wara’ lahiriah ialah tatkala kita tidak bergerak atau menggerakkan apa pun pada diri kita kecuali bersama Allah Swt. Wara’ batiniah ialah senantiasa dan semata memasukkan Allah Swt dan segala KemahakuasaanNya ke dalam hati.

Ini berarti bahwa semata dan semata Allah Swt lah yang bertahta menterjadikan, menggerakkan, dan mengijinkan kita untuk terlibat dalam segala bentuk (bahkan) amal kebaikan dan kemuliaan, duniawi maupun ukhrawi. Tiada mungkin tanpa Allah Swt.

Memang berat sekali, sungguh berat sekali. Mar terus berdoa: semoga Allah Swt menolong kita semua untuk bisa menuju ke jenjang wara’ yang kafah tersebut. Amin.

Bandara Halim Jakarta, 23 Juli 2019

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *