Wahyu Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani

Wahyu Allah

Oleh Edi AH Iyubenu, Wakil Ketua LTN PWNU DIY

Memperjelas ulasan sebelumnya tentang Cahaya Allah Swt yang disinarkanNya ke dalam hati hamba pilihanNya (coba lihat lagi surat An-Nur ayat 35), Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah dalam kitab Adab al-Suluk wa at-Tawashshul Ila Manazil al-Muluk menguraikan tentang wahyu al-Qur’an yang diturunkan Alah Swt langsung ke dalam hati Rasul Saw. Ya, langsung, tidak melalui perantara, termasuk malaikat Jibril, sebagaimana kita pahami selama ini.

Uraian ini sangat menarik, sekaligus menghentak pemahaman umum kita.

Beliau qaddasahuLlah mengatakan: “Dalam bahasa rohani yang suci (yakni hati yang dimakrifati oleh Cahaya Allah Swt), Nabi Besar Muhammad Saw menerima wahyu al-Qur’an yang diturunkan kepadanya. Pada hakikatnya, malaikat Jibril membawa risalah Ketuhanan (wahyu, al-Qur’an) itu hanya ketika ia telah diterima terlebih dahulu oleh Nabi Saw.”

Jadi, bayangkan, di dalam hati Rasul Saw yang berderajat “bagai bintang” itu, Allah Swt menurunkan wahyuNya secara langsung, al-Qur’an, dan meletakkannya di dalam hati Rasul Saw. Persis tuturan ayat 35 An-Nur: “Pelita Besar yang tersimpan di dalam kaca itu”. Wahyu al-Qur’an itu telah ada di dalam hati Rasul Saw sebelum malaikat Jibril menuntunkannya kepada Rasul Saw.

Lalu, bagaimana peran Jibril sesungguhnya?

Beliau qaddasahuLlah mengatakan: “Nabi Muhammad Saw sendiri sebenarnya telah menerima wahyu secara langsung (dari Allah Swt) dalam keadaan baik dan tidak sembarangan, supaya wahyu-wahyu itu sampai kepada umatnya (kemudian) dengan sempurna (pula).”

Beliau qaddasahuLlah menukil ayat 6 surat an-Naml: “Dan sesungguhnya engkau diberi al-Qur’an dari sisi (Allah Swt) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.

Beliau qaddasahuLlah melanjutkan: “Karena Nabi Muhammad Saw menerima wahyu sebelum malaikat Jibril datang membawa wahyu itu kepadanya, maka setiap kali Jibril menyampaikan wahyu itu, sesungguhnya Nabi Saw telah mengetahui wahyu itu (karena) telah berada di dalam hatinya.”

Surat Thaha ayat 114 menerangkan: “Maka Maha Tinggi Allah Swt Sang Raja yang Sebenarnya, dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca al-Qur’an itu sebelum disempurnakan pewahyuannya kepadamu. Dan katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.’

Rasul Saw dikenal sebagai sosok yang ummi: tak bisa membaca dan menulis (surat al-A’raf ayat 157). Status keummian beliau Saw ini selaras dengan mekanisme pewahyuan tadi dengan tujuan menjamin kemurnian artikulasi, pelafalan, al-Qur’an dari kontaminasi apa pun.

Allah Swt menyematkan secara langsung wahyuNya ke hati Rasul Saw, lalu malaikat Jibril diturunkanNya kepadanya Saw untuk memberikan bimbingan artikulasinya. Wahyu al-Qur’an yang telah menyala di hati, keummiannya, dan bimbingan Jibril menjadikan kemurnian wahyu al-Qur’an itu terjamin penuh ketika diungkapkan, dikatakan, dikalimatkan. Para sahabat lalu menghafalnya, mencatatnya, mengabadikannya, hingga sampai ke kita kini.

Sungguh terjamin benar kemurnian haq al-Qur’an semenjak sebagai “pemahaman wahyu di hatinya Saw”.

Wallahu a’lam bish shawab.

Jogja, 4 September 2019

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *