Ulil Abshar-Abdalla, Selalu Menjadi Topik Pembicaraan (02-habis)

Kisah Hidup Sayyidina Umar yang Gagah Berani

Kakeknya, KH. Muhammadun Pondowan, adalah kyai terkenal, zuhud, alim dan fleksibel, tetapi dalam beberapa hal kaku dan “keras” dalam pengertian yang positif. Kakeknya ini misalnya, tidak memperbolehkan anak perempuan untuk sekolah di luar. Oleh karena itu, anak-anak perempuan kakek Ulil ini tidak masuk sekolah di luar.

Sementara ayah Ulil, KH. Abdullah Rifai memilih menyekolahkan anak-anak perempuannya (saudara perempuan Ulil), setelah mendapat dukungan sang istri. Ayah Ulil ini mengelola PP. Mansajul ‘Ulum (Tempat Menganyam Ilmu) dengan santri antara 30-70 orang, atau sekitar 40-an. Akan tetapi Zainul Milal Bizawie menyebutkan, dalam buku Perlawanan Kultural Agama Rakyat (2002: 269), dalam daftar pondok-pondok di Kajen, menyebutkan nama Mansajul Huda (pondok No. 34), dengan kyainya KH. Abdullah Rifai, berlokasi di Cebolek.

Menurut buku Islam Nusantara dalam Tindakan (2016: 156), ayah Ulil ini disebut “sosok yang keras, disiplin dan selalu komitmen dengan keputusannya.” Tentu saja makna “keras” ini dalam artian posotof. Maksudnya adalah tegas, yaitu dalam mendidik santri. Ayahnya Ulil dulunya mondok di Bendo, Pare, dan kemudian nyantri kepada KH. Muhammadun, yang kemudian menjadi mertuanya. Pondok Mansajul Ulum itu sendiri, berdiri di atas tanah waqaf dari ibu-ayah Mbah Muhammadun ini, yaitu Mbah Halimah yang menikah dengan Mbah Murtadho. Salah satu anak Mbah Murtadho ini bernama Mbah Muhammadun Pondowan itu.

Ulil pertama-tama dididik sang ayah, dan kemudian dipondokkan di Matholiul Falah. Dari pendidikannya itu Ulil belajar nahwu, dari mulai Jurûmiyah, ‘Imrithî, sampai Alfiyyah Ibnu Mâlik dan beberapa kitab yang lain. Oleh karena itulah Ulil akrab dengan tradisi membaca bahasa Arab. Ulil berkenalan dengan khazanah bahasa Indonesia setelah membaca sejarah sastra Indonesia, dan di antara yang dibaca adalah Horison pada tahun 1984 ketika masih duduk di kelas 2 Aliyah (setingkat SMU), di PP. Mathali’ul Falah, pesantren asuhan KH. MA. Sahal Mahfudh.

Di samping itu, Ulil juga membaca Panjebar Semangat, Jaya Baya, Parikesit, Joko Lodhang, dan lain-lain. Setelah dari PP. Mathali’ul Falah Ulil nyantri di PP. al-Anwar Sarang Rembang. Ulil kemudian meneruskan pendidikan di LIPIA Jakarta dengan mengambil bidang spesialisasi syari’ah; dan pernah juga menempuh pendidikan di STF Driyarkara.

Pengabdiannya di lingkungan NU, di antaranya pernah menjadi pengurus Lakpesdam NU, dan pernah menjadi Pimred Jurnal Tashwirul Afkar. Di samping itu, Ulil juga menjadi peneliti di ISAI Jakarta, dan dari lingkaran ISAI ini dia banyak berkenalan dengan rekan-rekan di Jakarta sampai terbentuklah Islam Liberal. Ulil juga pernah menempuh pendidikan Universitas Boston Amerika Serikat.

Tulisan-tulisan pendeknya telah terbit dalam Membakar Rumah Tuhan, dan tulisan artikelnya berjudul “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” dimuat Kompas (2002), pernah ditanggapi secara serius oleh FUUI Bandung denga tokohnya, KH Athi’an Ali M. Da’i. Ulil saat itu diberi fatwa mati, meski fatwa sifatnya tidak mengikat karena hanya pendapat, dan bahkan fatwa itu juga banyak dikritik orang, termasuk penulis sendiri saat itu menulis di Jurnal Percik soal fatwa ini dalam tulisan panjang dengan mengkritik fatwa itu. Tulisan-tulisan Ulil sekarang tersebar banyak di web islamlib.com.

Setelah melalui proses bergiat di kelompok Islam Liberal, yang juga mengalami beberapa retakan, dari segi kerja-kerja pemikiran, Ulil melakukan Ngaji Hikam yang dimuat di web islamlib.com; dan kemudian Ngaji Ihya’, dengan berbagai Kopdar yang diadakan. Pada saat yang sama, Ulil tetap menulis untuk menghidupkan web islamlib.com untuk kampanye Islam Liberal, dengan tulisan-tulisannya yang dimuat di sana.

Dia kemudian masuk pengurus Partai Demokrat pada tahun 2010. Pada Muktamar NU ke-32 di Makassar, Ulil mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat untuk jabatan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, dan memperoleh 22 suara, sehingga tidak bisa melanjutkan ke pertarungan di babak kedua pemilihan.

Di antara dalam fase-fase hidupnya itu, yang kemudian sampai Ngaji Hikam dan Ngaji Ihya’ itu, Ulil tidak mau dikatakan bertaubat, tetapi menurutnya dalam salah satu komentarnya “semua orang mengalami perkembangan”. Dan mengalami fase-fase hidupnya itu, Ulil masih teguh dengan Islam Liberalnya, dengan mengatakannya di tulisan “Aku Bersyukur”, begini:

“Engkau (maksudnya Tuhan) memberikan kepadaku satu varietas Islam yang sangat istimewa dan unggul… Aku mencari terus. Membaca terus. Berpikir terus. Merenung terus. Hingga (dan, sungguh, aku nyaris meneteskan air mata, Tuhan) engkau menuntunku ke sebuah samudera pengertian yang luas. Samudera itu aku beri nama Islam liberal. Yaitu pengertian Islam yang membebaskan aku dari segala kesempitan pengertian yang pernah aku alami sebelumnya. Samudera ini luas sekali. Aku sendiri belum tahu batas-batasnya. Tetapi aku merasa tenang, gembira, dan suka cita berenang-renang di sana.”

Tulisan-tulisannya yang tersebar itu, salah satunya sempat juga ditanggapi, KH. Yahya Cholil Staquf, dalam tulisan “Semua Agama Punya Kelemahan?: Tanggapan terhadap Ulil Abshar Abdalla ( dalam laman teronggosong, 15 Mei 2009). Meskipun tulisan Ulil itu tidak ditolak semua, tetapi sang penanggap ini mengatakan di paragraf terakhirnya: “Sebenarnya, yang paling menggelitik saya dari tulisan yang diperbincangkan ini adalah pernyataan Ulil, “Kalaupun saya pindah ke agama lain, situasi serupa akan saya hadapi juga. Setiap agama mengandung kelemahan, selain, tentu, kelebihan masing-masing. Kalau saya meninggalkan Islam dan memeluk agama lain, saya akan memeluk agama yang akan memiliki kelemahan serupa.” Saya hanya berharap, mudah-mudahan dengan pernyataan itu dia tidak mengimplikasikan ridla bil kufri (rela terhadap kekufuran).”

Sementara di kalangan sebagian anak-anak muda, Kopdar Ngaji Ihya yang dilakukan Ulil itu, terus diminati. Terlepas dari fenomena Ngaji Ihya ini sebagai perkembangan baru, dari tokoh yang mengembangkan Islam Liberal dan menyebut Islam Liberal itu sebagai “varietas Islam yang sangat istimewa dan unggul”, Ngaji Ihya’ tetap memberi manfaat bagi masyarakat muda di dunia Medsos. Dalam berbagai fase hidupnya itu, Ulil didampingi seorang istri yang lembut, berbudi baik, dan berilmu, bernama Ienas Tsuraya, anak dari KH. Musthofa Bishri. Sang istri juga berperan penting dalam membantu penyiapan Ngaji Ihya dalam beberapa Kopdar.[] Wallohu a’lam.

(Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *