Ulil Abshor-Abdalla adalah salah seorang tokoh yang ikut hadir dan terlibat dalam pengorganisasian Muktamar Pemikiran Anak Muda NU di Situbondo pada tanggal 3-5 Oktober 2003. Sebuah Muktamar yang banyak digerakkan anak-anak muda NU, yang berbasis di Jakarta, seperti KH. Masdar Farid Mas’udi, Zuhairi Misrawi, Imdadun Rahmad, Khamami Zada, Agus Susilo, dan lain-lain yang tidak bisa disebut satu persatu.
Ulil, sebagaimana rekan-rekan seangkatannya, adalah anak muda yang hidup pada era Khittah NU, yang meletakkan jalan bagi usaha-usaha kepeloporan, untuk membela atau mengembangkan masyarakat NU, di tengah bangsa Indonesia dan kaum muslimin melalui ilmu dan kerja-kerja pengabdian. Dalam mewujudkan itu, sebagian dari para Nahdliyin ada yang fokus membela tradisi (amaliah-amaliah, rekonstruksi sejarah, dan akidah-tasawuf), ada yang bergiat di kerja-kerja advokasi masyarakat melalui Ornop, dan ada yang mengembangkan pemikiran. Ulil termasuk yang berupaya mengembangkan pemikiran, sehingga mengambil jalan yang berbeda dari rekan-rekan mereka yang membela tradisi dan merekonstruksi sejarah masyarakat NU.
Ulil mengembangkan pemikiran dan cara beragama, yang disebutnya sebagai Islam liberal, dan secara terang-terangan mendeklarasikan dan membawahi kelompok Islam liberal, melalui kampanye dan pengorganisasian. Kelompok ini berbasis di Jakarta. Menurut sebagian sahabat yang saya temui, lingkaran mereka terhubung dengan tokoh-tokoh seperti Goenawan Muhammad dan murid-muridnya. Setelah sekian lama eksis, kelompok ini bubar secara organisasi, tetapi masih hidup sebagai wacana dan dikembangkan melalui jaringan dalam website islamlib.com; dan Ulil masih giat mengembangkan itu melalui tulisan-tulisannya di web ini.
Karena kegiatan dan kerja-kerja pengembangan pemikiran Islam Liberal itu, Ulil menjadi salah seorang yang banyak dijadikan sasaran kritik oleh sebagian kalangan Nahdliyin, dan di kalangan Islam secara umum. Di antara kritik yang dilakukan sebagian masyarakat Nahdliyin, tidak kurang dari nama terkenal seperti Ahmad Baso, di dalam beberapa kesempatan diskusi, seperti yang penulis dengarkan di NCC ketika dia menjadi pembicara, di Boyolali ketika Muktamar NU berlangsung; juga muncul dari Tim Penulis Batartama Pondok Pesantren Sidogiri yang menulis Trilogi Ahlussunah (Sidogiri, 2012) yang membahas salah satu temanya adalah Islam Liberal; dan penulis melihat kurikulum pengkaderan di dalam PKPNU yang sebagian mendekonstruksi pemikiran-pemikiran liberal.
Meski begitu, Ulil diterima oleh sebagian mereka yang memiliki kecenderungan gerakan Islam Liberal; dan kurang bisa diterima di kalangan gerakan muda yang berorientasi di dalam bidang advokasi dan gerakan sayap kultural di bawah, seperti model Advokasi rakyat yang dikembangkan anak-anak muda seperti Muhammad al-Fayyad, dan lain-lain yang semisal; dan bahkan kalangan yang lebih senior dari al-Fayyadl di dalam model advokasi seperti itu, karena mereka melihat tendens ekonomi politik yang dikandung di dalam Islam Liberal. Sementara sebagian besar dari mereka tidak mengungkapkan sikapnya terhadap Islam Liberal, meskipun bukan berarti setuju dengan Islam Liberal.
Gus Dur sendiri, dalam tulisan “Ulil dan Liberalismenya” dalam buku Islamku (hlm. 142 dan seterusnya), menyebutkan karena Ulil “khawatir akan jalan keras kaum muslim umumnya,” sehingga dia mengembangkan pemikiran semacam itu.
Gerakan yang dibangun Ulil Abshar-Abdalla selama ini lebih pada pembaruan wacana, melakukan tafsir-tafsir atas teks, berdimensi pencerahan, dan terfokus di lingkaran pusat Jakarta dan bermain di media. Karena gerakannya lebih pada pembaruan wacana, Ulil tidak melakukan sebuah gerakan advokasi yang mengorganisir sebuah gerakan rakyat, baik di dalam level petani, buruh, gerakan sosial yang berdimensi kerakyatan, ataupun mengorganisir gerakan kultural di lingkungan kaum muda NU. Dan, karena inilah Ulil dikenal sebenarnya lebih karena media, tulisan-tulisannya, dan kelompok Islam Liberal-nya, bukan pada kerja-kerja advokasinya dalam persoalan-persoalan kerakyatan.
Meski begitu, harus diakui Ulil merupakan salah seorang yang menjadi topik pembicaraan “wacana Islam Liberal” di kalangan Nahdliyin melampaui teman-temannya yang bergiat di Islam Liberal, seperti Ahmad Sahal, Anick, Burhanuddin, Hamid Basyaib, Luthfi asy-Syaukani, Moqsith, Nong Darol Mahmada, Guntur, dan Novriantoni. Mereka ini dulu yang bekerja untuk mengembangkan wacana Islam Liberal. Moqsith, kemudian lebih memilih di kemudian hari tetap setia berjuang melalui Nahdlatul Ulama setelah tidak di Islib.
Ulil Abshar-Abdalla lahir pada 11 Januari 1967 di kampung Cebolek, Pati, Jawa Tengah, dari orang tua kiai pesantren berbasis Nahdliyin yang dihormati di Pati, bernama KH. Abdullah Rifai dan ibu bernama Hj. Salamah. Begitu yang dijelaskan dalam tulisan “KH. Abdullah Rifa’i: Sosok Kiai Disiplin” (dalam Islam Nusantara dalam Tindakan, 2016). Ayahnya dilahirkan di Bugel, Kedung, Jepara, dari orang tua bernama Mbah Rifai dan Hj. Mustamah (kakek dan nenek Ulil dari pihak ayah). Sementara ibunya Ulil itu, adalah anak dari KH. Muhammadun Pondowan, Tayu Pati. Saudara-saudara Ulil yang lain adalah: A’lam (wafat), terus Ulil, Khiyarotun Nisa’, Dzurwatul Ula (wafat), Umdatul Baroroh, Maljaul Abrol dan Dzakiroh (wafat).
Nenek Ulil, seperti disebutkan dalam Islam Nusantara dalam Tindakan (hlm. 154; dan 165), yaitu Hj. Mustamah disebut sebagai kakak dari Hj. Aisyah, istri dari KH. Abdullah Zein Salam (Mbah Dullah Salam). Mbah Dullah adalah kyai terkenal di Pati, adik dari KH Mahfud Salam, dan anak dari KH. Abdussalam yang nasab ke atas sampai kepada KH. Mutammakin. (bersambung)
(Nur Khalik Ridwan, Pengajar STAI Sunan Pandanaran Yogyakarta)