Kiai Bisri Syansurin Jombang adalah salah satu ulama’ penting bagi lahirnya NU. Sejak dari Nahdlatul Wathon, Tashwirul Afkar, dan Nahdlatut Tujjar, Kiai Bisri sudah aktif menemani perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Chasbullah. Setelah wafatnya Kiai Wahab tahun 1971, Kiai Bisri langsung didapuk para ulama’ sebagai Rais Aam NU.
Saat itu, posisi Kiai Bisri adalah Wakil Rais Aam, bahkan dalam Muktamar tahun 1964 dan Muktamar tahun 1971, Kiai Bisri sebenarnya dikehendaki sebagai Rais Aam, tetapi beliau selalu tidak bersedia selagi Kiai Wahab masih hidup. Itulah akhlaq Kiai Bisri yang luar biasa, hampir sama dengan Kiai Wahab yang tidak mau menyandang gelar Rais Akbar seperti gurunya Kiai Hasyim Asy’ari. Kiai Bisri menjadi Rais Aam selama 9 tahun, mulai 1971 sampai 1980. Tahun 1980, Kiai Bisri wafat.
Menjadi Rais Aam NU bukanlah sembarangan. Para kiai menyebutnya shohibul maqom, sosok yang memang paling tepat mendudukinya. Tidak mudah memimpin para kiai, mulai tingkat pusat sampai tingkat ranting. Rais Aam selalu diduduki oleh mereka yang sudah dipilih Allah sebagai kekasih-Nya.
Tidak banyak kisah terkait karomah Kiai Bisri, karena beliau memang dikenal sosok pecinta fiqh sepanjang hayat. Kiai Bisri tidak begitu suka dengan hal-hal terkait keramat. Beliau sosok yang teguh pendirian, tegas bersikap, dan selalu teguh menjaga NKRI. Tetapi di balik sosok beliau yang tegas, terpancar jiwa kewaliyan yang jarang diketahui orang. Sosok kewaliyan itu sebenarnya mengalir dari leluhurnya, yakni Syeikh Mutamakkin Kajen, sosok wali masyhur dari Pati Jawa Tengah, leluhur para kyai pesantren di desa Kajen.
Terkait sosok Kiai Bisri, Miftakhul Arif (2018) Pengajar di MA Unggulan Wahab Hasbullah Tambakberas, kandidat Doktor UIN Sunan Ampel Surabaya, menjelaskan kisah dari gurunya yang terpercaya, juga alumni Pesantren Denanyar Jombang tentang kisah yang dialami seorang sahabat karibnya.
Seperti biasa, makam Kiai Bisri yang juga di area Masjid Pesantren Denanyar selalu dijadikan tempat mengaji para santri. Pada waktu itu, jam menunjukkan pukul 00.30 dini hari. Seperti biasa, banyak santri membaca al-Qur’an di seputar makam pada bulan Ramadan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka melihat ada sesosok orang yang memancarkan cahaya berdiri di atas makam. Tidak diketahui secara pasti dari mana ia datang.
Teman saya yang melihat sosok tersebut menoleh ke kanan dan ke kiri, tapi tidak seorangpun di sekitarnya yang mengarahkan pandangan matanya pada sosok tersebut. Kepala mereka tetap menunduk membaca ayat-ayat suci al-Qur’an yang ada di tangan mereka. Rupanya hanya dia yang melihat sosok bercahaya itu. Spontan ia bangkit dari tempat duduknya. Lalu meraih tangan kanan sosok tersebut dan menciumnya. Belum sempat melihat wajahnya, sejurus kemudian, sosok itu hilang entah kemana.
Beberapa tahun berikutnya, teman saya ini berkesempatan menimba ilmu di Beirut, Lebanon. Ia mendapatkan kesempatan emas belajar ilmu agama pada seorang ulama besar abad ini, seorang pakar hadits dan berbagai disiplin ilmu yang lain, seorang wali yang sangat masyhur karamah-karamahnya, yakni Syeikh Abdullah al-Harari (wafat 2 Ramadhan 1429 H).
Ketika teringat kejadian aneh di Makam Mbah Bisri, ia langsung tanya kepada Syekh Abdullah. Beliau menjawab: “Sosok yang bercahaya itu adalah wali (Mbah Bisri) yang sedang keluar dari dalam makamnya.”
Karena mendengar cerita tersebut, beberapa murid Syekh Abdullah al-Harari ketika berada di Jawa Timur menyempatkan diri untuk berziarah ke makam beliau dan berdoa di sana.
Kesaksian ini ditulis oleh gurunya Miftakhul Arif. Gurunya yang memang sudah terpercaya.
Itulah karomah seorang Kiai Bisri Syansuri. Sepanjang memimpin NU, 1971-1980, Kiai Bisri betul-betul menjadikan fiqh sebagai pedoman dalam berbangsa dan bernegara. Kewaliyan Kiai Bisri memang tidak masyhur, tetapi jejak perjuangannya sungguh luar biasa, apalagi melihat pesantren yang didirikannya, Pesantren Denanyar, terpancar cahaya peradaban yang menerangi masa depan bangsa ini. (red)