Ada dua cara untuk menjadikan ilmu melekat di hati. Pertama, dengan musyawarah seperti bahtsul masail. Kedua, dengan mengajar, sebab jika kita mengajar, pasti kita akan belajar lebih rajin lagi melebihi murid-murid kita.
Terkait hal ini, ada cerita yang menarik. Pada zaman dulu di Lodan, Rembang Jawa Tengah. Sebut saja Mbah Warijo, yakni keturunan darah biru namun kebetulan tingkahnya nakal, ndak pernah ngaji dan yang ada di pikirannya hanyalah harta, harta dan harta, padahal dia tidak kaya. Mending jika dia kaya pantas jika yang difikirkan harta terus. Semestinya yang bagus ialah orang banyak harta namun tidak “kedunyan” (gila harta) seperti Abuya Sayyid Muhammad Bin Alaway Al-Maliki. Beliau selalu berdo’a ” allahummaj’al fulus bi aidina laa fi qulubina” (ya Allah jadikanlah semua hartaku ini hanya menempel di genggaman tangan, tidak sampai melekat dalam hati).
Mbah Warijo punya anak bernama Karman. Masyaallah, Karman memiliki wajah tampan, sopan santun dan baik hati. Mungkin ini karena berkah ibuknya yaitu Mbah Sari (istri Mbah Warijo).
Pada suatu saat, Karman kecil oleh ayahnya dimarahi karena tidak becus dalam mengembala sapi, sangking marahnya sampai-sampai Karman kecil ini mau dibunuh oleh mbah Warijo. Kemudian Mbah Sari menemui Karman dan bilang:
“Sudahlah Nak, kamu pergi yang jauh dari sini, kamu cari pondok pesantren, belajar ngaji di sana jangan sampei seperti ayahmu, dan jangan pulang sebelum kamu selesai ngajinya, meskipun engkau mendengar ibu sakit. Bahkan ibu rela jika ibu meninggal kamu tidak ikut mengubur batu nisan ibu, asalkan kamu bisa ngaji”.
Akhirnya berangkatlah Karman mencari sebuah pesantren sesuai arahan ibunya. Di belakang itu semua, Mbah Sari terus riyadhoh mendoakan Karman agar sukses dalam mencari ilmu dan Mbah Sari juga tetap taat pada suaminya meskipun Mbah Warijo tingkahnya demikian.
Sampailah Karman di Tuban, Jawa Timur. Di sana dia bertemu Syekh yang terkenal alim namanya Mbah Murtadlo, orang-orang menyebutnya Mbah Tolo tepatnya di dekat Makam Agung Tuban. Sampai sekarang masih ada peninggalan pondok Mbah Tolo dan masih berjalan. Mbah Murtadlo seorang ulama yang ahli bahtsu masail, setiap permasalahan apapun selesai di tangan Mbah Murtadlo dan hebatnya lagi, jika Mbah Murtadlo berhalangan yang diutus untuk mewakili beliau dalam acara bahtsul masail adalah Karman, putra dari Mbah Warijo.
Tidak hanya sekali dua kali Karman mewakili Mbah Murtadlo dalam bahtsul masail, karena saking seringnya dia menggantikan Mbah Murtadlo, akhirnya Mbah Syu’aib, Pengasuh Pondok Sarang Rembang “Kepincut” (terpukau), dipanggillah Karman oleh beliau.
”Le, sampeyan anak mana? (Nak, kamu anak mana?),” tanya Mbah Syu’aib.
”Dari Lodan, Mbah,” jawab Karman.
Singkat cerita, akhirnya Karman diambil menantu oleh Mbah Su’aib kemudian diberangkatkan ke tanah suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sepulang dari Makkah namanya diganti menjadi Dahlan.
Waktu terus berjalan, kemudian Dahlan dikarunia putra dan diberi nama Anwar, tafa’ulan dengan sholawat Nuril Anwar, merupakan sholawat yang istiqomah dibaca oleh Mbah Dahlan dengan harapan dikaruniai putra yang alim. Terwujud dan nyata, Anwar menjadi orang yang sangat alim, sehingga Mbah Syu’aib “kepincut” (terlena) lagi ingin menggandengkan Anwar dengan cucunya yakni Ning Mahmudah, putri dari Mbah Ahmad bin Syu’aib.
Dari pernikahan Mbah Anwar dengan Ning Mahmudah inilah lahir putra yang diberi nama Maimoen (Mbah Maimun Sarang). Kemudian Mbah Anwar naik haji dan berganti nama Zubair. Oleh sebab silsilah keluarga, Mbah Moen (sapaan akrab Kyai Maimoen) dikenal dengan Maimoen Zubair bin Dahlan yang aslinya Maimoen bin Anwar bin Karman.
Dari cerita di atas, bisa kita petik hikmah bahwa Kyai Dahlan atau Kang Karman bukan asli keluarga Pondok Sarang. Beliau orang luar dan karena barokah bahtsul masail dia bisa masuk dalam keluarga pondok Karangmangu Sarang selain juga barokah dari do’anya sang Ibu, Mbah Sari. Sampai saat ini makam Mbah Sari, jika diberi Pathok (nisan) di atas makamnya tersebut, bisa dipastikan pathok-nya pasti hilang. Jika kita ziarah ke makam Mbah Zubair yang berdampingan dengan makam Kyai Dahlan, pasti melewati makam Mbah Sari karena makam beliau ini letaknya pas di jalan setapak tepat arah ke makam anak dan cucunya tersebut.
Karena barokah bahtsul masail dan doa ibu pula, muncullah dari Bani Anwar yang sekarang dikuatkan dengan sosok KH. Maimoen Zubair, seorang ulama kharismatik kelas nasional bahkan internasional.
*Disarikan dari ceramah KH. Ahmad Sadid Jauhari pada penutupan Bahtsul Masail Kubro PP. Assunniyyah Kencong Jember dalam Rangka Haul Bu Nyai Hj. Zuhriyyah Ke 40 pada 20 Februari 2019.
*KH. A. Sadid Jauhari adalah PP. Assunniyyah Kencong Jember. Beliau putra kedua KH. Jauhari Zawawi. Beliau menghabiskan masa belajarnya di PP. Al-Anwar sebelum muqim di Mekah. Kiai Sadid menikah dengan Hj. Sholihah Zubair adik kandung KH. Maimoen Zubair.