Tidak Semua Perintah Al-Qur’an Harus Dilaksanakan.
Mungkin beberapa muslim berpandangan bahwa semua “perintah” al Qur’an wajib dilaksanakan. Pandangan inilah yang menyebabkan pemahaman yang kaku terhadap teks teks al Qur’an.
Bagi yang mempelajari Usul Fiqih pasti akan segera memahami bahwa tidak semua “perintah-amar” bermakna wujub-wajib. Bahkan, menurut kitab Jam’ul Jawami’, Perintah atau Amar memiliki 26 makna; yaitu antara lain,
(1) al Wujub,
(2) an Nadbu-anjuran,
(3) al Ibahah,
(4) al Irsyad-memberi petunjuk,
(5) al idnu, iradatu al imtitsal, al ikram, ad du’a dan lain lain, bahkan ada perintah yang bemakna sebaliknya, yaitu ancaman (at-tahdid).
Ulama juga berbeda pendapat, apa makna asli, makna dasar perintah? Menurut mayoritas ulama, makna dasar al amru adalah li al wujub. Sehingga butuh dalil atau indikator lain untuk membawa kepada makna selain al wujub. Sebagian ulama lain berpendapat, makna dasarnya adalah al ibahah, sehingga butuh indikator untuk membawa ke makna al wujub.
Karena “perintah” atau “al Amru” memiliki banyak makna (26 makna), maka Ulama seringkali berbeda pendapat ketika perhadapan dengan teks teks al-Qur’an dan juga Hadist Nabi yang menggunakan bahasa “perintah”.
Misalnya, perintah menikah, perintah makan, perintah menghadirkan saksi ketika hutang piutang atau rujuk pada istri yang dicerai dll, apakah perintah perintah itu lil wujub dalam arti harus dilakukan ataukah selain wujub?
Contoh yang sederhana, “perintah menikah” apakah perintah menikah itu lil al waujub harus dilaksanakan, atau selain wujub, lil irsyad (hanya memberi petunjuk sebaiknya) misalnya.
Menurut jumhur ulama, perintah menikah tidak bermakna lil wujub, sebab tanpa diwajibkanpun orang sudah terdorong untuk menikah kalau ia menginginkan, sama dengan perintah makan, tidak perlu diwajibkan pasti orang makan kalau lapar. Sedangkan menurut Dawud ad-Dhahiri (salah satu tokoh tekstualis), mengatakan bahwa perintah menikah bermakna lil wujub, harus dilaksanakan.
Demikianlah dinamika pemahaman teks, yang dari “teks perintah” aja bisa melahirkan banyak makna, apalagi jika berhadapan dengan “lafad-teks al am-al khas, al mutlaq-al muqayyad, al mujmal-al mubayyan, al amr-an nahy, dan puluhan teori teks lainnya. Subhanallah.
Sayang sekali, saat ini banyak pengikut Dawud ad Dhahiry yang memahami teks secara tektual dengan melepaskan dari asbabul nuzulnya, dari konteks nya, dan bahkan dari ruh dan spirit serta maqhasidus syari’ahnya. Akhirnya, teks menjadi Kaku dan kehilangan nilai nilai sejarahnya (a-histotis).
Demikian cara memaknai Tidak Semua Perintah Al-Qur’an Harus Dilaksanakan, semoga manfaat.
Wallahu a’lam
Penulis: Kiai Imam Nakha’i, dosen Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo.