Teologi Jihad Berani Hidup dan Korban Teologi Ekstrim Berani Mati.
Oleh: KH Dr Abdul Ghofur Maimoen, Katib Syuriah PBNU
Alhamdulillah, bisa naik pesawat mini. Di atas udara, tak henti-hentinya hayalan menemani diri, andai saja pesawat mini ini adalah karya insan-insan sarungan sebagaimana penumpangnya ini.
Saya merasa, energi umat Islam banyak tersedot untuk jihad berani mati. Bahkan di antara kita yang mengecam aksi-aksi bunuh diri, tak jarang menyelipkan suportnya dalam bentuk ajaran dan pandangan yang apatis dan negatif atas kehidupan duniawi.
Sudah saatnya, umat Islam membalik pandangan hidupnya. Umat ini perlu membangun arus utama jihad berani hidup. Begitu lahir di dunia, tiap muslim harus siap untuk survive dalam kehidupan. Itu berarti perlu dibekali teologi jihad berani hidup.
Dita Oepriarto, ISIS, Ben Laden, para Jihadis di Iraq, Syria, Yaman, Libia, dan di sejumlah tempat lainnya, menurut dugaan saya, adalah para korban teologi ekstrim jihad berani mati. Jika mereka berhasil memenangi pertarungan pun, rasanya tak akan banyak bermanfaat karena barangkali hanya akan mengisi kemenangannya dengan “kematian.”
Jika teologi jihad berani hidup telah menjadi arus utama, saya yakin persoalan-persoalan keumatan akan banyak teratasi. Sebagai muslim saya sangat malu, bahkan untuk urusan mandi saja hampir seluruh perkakasnya tak bersarung. “Allahu akbar” umat Islam praktis tak menyentuhnya sama sekali.
Saya juga khawatir, “2019 ganti presiden” adalah bagian dari teologi jihad berani mati ini. Jika teologinya adalah jihad berani hidup, barangkali bunyinya akan begini: “2019 Si Anu adalah Presidenku.”
Selamat menjalankan ibadah puasa. Ramadhan kariim!
26 Mei 2018.