Dulu ketika Gus Dur hendak dilengserkan dari kedudukannya sebagai presiden, banyak kalangan yang membujuk dan mendesak Gus Dur agar melakukan perlawanan hukum. Mereka mencoba meyakinkan Gus Dur bahwa sebenarnya dirinya sedang didzolimi oleh musuh-musuh politiknya. Banyak kalangan yang tak rela jika Gus Dur harus dilengserkan dengan cara yang sungguh tidak elok dan jauh dari kata elegan, yaitu dengan serangan hoax dan fitnah keji.
Bagaimana respon Gur Dur ? Beliau meminta mereka bersabar sambil menjelaskan bahwa dirinya mencium aroma bahaya jika setiap konflik harus menuruti hawa nafsu, walaupun hawa nafsu itu berlandaskan kebenaran.
Beliau mengatakan,
“Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian ”
Sikapnya pun jelas dan tegas :
“Tak ada kekuasaan yang boleh dipertahankan dengan mengorbankan rakyat ”
Dengan elegan Gus Dur pun turun tahta tanpa pertumpahan darah. Dan nyatanya hingga sekarang, hukum tak pernah bisa membuktikan bahwa Presiden Abdurahman Wahid bersalah seperti yang dituduhkan oleh lawan-lawan politiknya. Dan banyak orang yang kini melek bahwa kasus Gus Dur saat itu adalah murni politisasi.
Baik secara hukum pidana maupun tata negara, Gus Dur tidak pernah terbukti bersalah pada kasus Bulog Gate dan Brunei Gate seperti yang dituduhkan parlemen. Penjatuhan Gus Dur adalah murni soal pertarungan politik dimana yang satu menang dan yang lain kalah. Bukan persoalan hukum dimana yang satu benar, dan yang satu lagi salah. Dan Gus Dur kalah dalam pertarungan politik itu, karena dikeroyok ramai-ramai dari kanan kiri, depan dan belakang.
Yang menarik dalam persitiwa itu adalah cara Gus Dur yang menolak untuk menjadikan pelengseran itu sebagai tragedi personal. Ia tak merengek atau curhat di depan publik terkait serangan politik terhadapnya. Sikapnya pun masih sama dengan logika komunikasi publik yang ‘Gitu Aja Kok Repot‘.
Dalam sebuah acara, Gus Dur pernah bercerita tentang perbincangannya dengan Luhut Binsar Pandjaitan. Saat itu Gus Dur bercerita pada Pak Luhut tentang hukum Islam yang mengatur bahwa kalau orang diusir dari rumahnya yang sah maka dia harus melawan, bila perlu dengan menggunakan kekerasan.
Nah muncullah dilema … Karena pelengserannya dianggap tidak sah,, maka Gus Dur ingin konsisten menjalankan syariat islam yaitu mempertahankan tempat tinggalnya sebagai presiden yaitu Istana Negara, namun di sisi yang lain Gus Dur juga mencium aroma bahaya yaitu konflik horisontal jika dia masih bertahan di tempat tarsebut. Dan karena Gus Dur tak ingin mengambil jalan kekerasan, beliau lalu mencari alasan yang kuat agar bisa keluar dari Istana Negara, tanpa melanggar syariat islam.
Gus Dur lalu meminta bantuan Pak Luhut Binsar untuk menguruskan surat perintah pengosongan Istana Negara dari kantor Kelurahan Gambir karena Istana Negara berdomisili di Kelurahan Gambir, Jakarta Pusat. Pak Luhut langsung meluncur ke kantor lurah Gambir dan tak menunggu lama surat perintah itupun keluar.
Karena pengosongan Istana Negara adalah kehendak pemerintah setempat yang sah (bukan pemerintah pusat yang dipimpin presiden), maka Gus Dur tak perlu melawan sama sekali. Kewajiban mempertahankan “rumah” pun gugur. Urusan selesai, dan Gus Dur keluar dari Istana tanpa gejolak. Gus Dur tak menjadikan pelengseran dirinya sebagai beban personal.
Dalam perbincangan lain dengan KH. Maman Imanulhaq, Gus Dur ditanya kenapa harus membuat surat perintah dari Lurah Gambir ?
“Supaya nanti ketika ditanya di hadapan Allah, kenapa kamu meninggalkan Istana Negara ? Tinggal saya jawab: monggo (silahkan) ditanya saja ke Lurah Gambir … ” jawab Gus Dur.
Itulah Gus Dur, sang Guru Bangsa. Bukannya susah payah mengumpulkan energi politik untuk melawan kekuatan para pengeroyok, Gus Dur justru menegaskan pada orang di sekitarnya bahwa ‘Tak ada kekuasaan yang begitu berharga hingga harus dipertahankan dengan darah.’
Bangsa Indonesia patut mencatat bahwa berbeda dengan kejatuhan Bung Karno dan Soeharto yang diawali dan disusul dengan konflik sosial yang berdarah-darah, pelengseran Gus Dur di tahun 2001 justru berjalan aman karena langkah brilian kemanusiaan (humanisme) yang ada pada diri Gus Dur.
Inilah refleksi paling konkret dari visi kemanusiaan yang secara konsisten ditunjukkan oleh Gus Dur. Bagi beliau kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah mahluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Dalam hal ini, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat dan sama sekali tak berkehendak mengorbankan kemanusiaan itu demi kepentingan kekuasaan.
Bila kita melihat dan memperhatikan tingkah polah seseorang dan kelompoknya, dengan nafsu membabi buta ingin tampil menjadi pemimpin di negeri ini, lalu mereka terkesan menghalalkan segala cara, bayangkan jika dia terpilih lalu di tengah perjalanan dia harus dilengserkan,, apakah dia akan turun tahta secara elegan seperti Gus Dur,, atau dia akan dengan membabi-buta pula mempertahankan jabatannya seperti halnya ketika dia meraih jabatannya itu … ??
Tak sadar saya jadi ingat Gus Dur, betapa mahal nilai kemanusiaan yang telah Njenengan teladankan, Gus …
Salam Santun
Penulis: Rudi Bintang, Cirebon 13 Maret 2019