Sungguh, Kita Beriman Semata Karena Diberi Ijin Oleh Allah Swt.
Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Siapakah yang menjadikan kita bisa beriman dan beribadah hari ini?
Allah Swt.
Siapa pula yang menjadikan seseorang ingkar dan bermaksiat kepadaNya hari ini?
Allah Swt.
Jika segalanya adalah semata Allah Swt, bahkan untuk dua hal yang jelas-jelas selalu berpunggungan, yakni kebaikan dan keburukan, lalu apa gerangan yang dikehendaki Allah Swt sesungguhnya?
Pertama, dan utama sekali, mari betikkan wallahu a’lam bish shawab. Hanya Allah Swt lah yang paling mengetahui rahasia, maksud, dan tujuannya.
Kedua, tetapi Allah Swt Maha Baik dan Welas Asih kepada kita kendati terus-menerus kita ditelan rahasia halimun-halimun kesamaran ini, dengan membocorkan rahasianya kepada kita.
Bukalah, kita nukil surat Yunus ayat 99-100:
“Dan umpama Tuhanmu menghendaki, sungguh niscaya akan beriman semua orang yang ada di muka bumi ini. (Tetapi Tuhan tak menghendaki) Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak akan terjadi pada seseorang beriman kecuali diijinkan oleh Allah Swt (untuk beriman). Dan Allah Swt akan menjadikan (mendatangkan) keburukan kepada orang-orang yang tak mempergunakan akalnya.”
Mari mengerti dengan rendah hati betapa iman, takwa, ibadah, dan akhlak karimah kita hari ini (umpama demikian) merupakan semata mungkin terjadi bila diijinkan olehNya Swt. Dikarenakan hakikatnya adalah “diijinkan atau tak diijinkanNya”, tentulah tiada kewenangan sedikit pun bagi kita untuk mengaku-aku adanya otoritas diri dalam keimanan dan kesalehan tersebut.
Ini sekaligus seyogianya menisbatkan pemahaman mendalam di relung rohani kita betapa tiada kepantasan secuil pun bagi kita untuk melibatkan otoritas diri (entah ilmu, tradisi, hingga amal dan kesadaran) dalam terjadinya perijinan beriman dan beribadah tersebut.
Diri sebagai bagian dari ghairuLlahmestilah ditepikan, dilenyapkan bahkan, atau sering disebut difanakan. Diri tak boleh mengambil peran apa pun. Diri tak boleh dijadikan sandaran dan tujuan.
Hanya satu yang boleh dikecualikan untuk mengambil posisi apa saja di titik ini, yakni ijin Allah Swt –illaLlah.
Apakah kita telah memiliki kesadaran rohani sejenis ini? Pernahkah, apalagi selalukah, kita berterima kasih terlebih dulu atas ijin-ijinNya tatkala kita sedang berdiri di atas sajadah hendak bertakbiratul ihram, memegang al-Qur’an, menyodorkan sejumlah uang kepada orang lain, tersenyum kepada seseorang hingga menyenangkan hatinya, menundukkan mata dari lawan jenis yang pamer aurat, dan menyeru namaNya tatkala hati bergolak oleh suatu keadaan yang tak diinginkan?
Telahkah?
Jikapun telah benar, tetaplah genggam selalu keyakinan hakiki bahwa itu hanya mungkin terjadi karena ijin-ijinNya, karunia-karuniaNya, pertolongan-pertolonganNya kepada kita. Bukan sama sekali berkat luhurnya iman, amal, dan ilmu diri.
Sementara itu, perihal perbuatan-perbuatanmungkar, maksiat, dan angkuh yang kita lakukan, kepadaNya maupun sesama, sama sekali tak tepat untuk semena-mena dikatakan serupa dengan banjaran ijinNya atas terjadinya kebaikan-kebaikan.
Tidaklah sama.
Kita ini telah diberiNya bekal-bekal besar tiada terperikan berupa akal, hati, kemudian Rasul Saw, dan al-Qur’an, serta sunnah-sunnahnya. Bahkan “ruh suci” yang ditahtakanNya di dalam hati.
Allah Swt telah mengingatkan dalam ayat di atas, setelah kita diberiNya semua modal besar tersebut, bahwa, pertama, ada korelasi tegas antara ketidakberimanan (kemungkaran) dengan keburukan (rijsun). Mari pegang ini dengan kokoh. Kemudian, kedua, ada korelasi tegas lagi antara tidak digunakannya akal (dan sederet modal besar lainnya) dengan perbuatan buruk (rijsun) tadi.
Kedua korelasi tegas tersebut semestinya telah cukup untuk kita jadikan “batas atas” dan sekaligus “batas bawah” terkait masuk akalnya bagi kita untuk memikul tanggung jawab sendiri terhadap kemungkaran dan keburukan yang terjadi pada diri kita. Ini serta merta meniadakan kemungkinan bersengajanya Allah Swt dengan zalim untuk menjungkalkan kita kepada keburukan, kehinaan, dan kelak nerakaNya.
Mari bayangkan sebuah permainan sepak bola.
Logika “batas atasnya” adalah Anda telah diberi sebuah bola, dijelaskan pelbagai aturan mainnya, yang boleh dan tak boleh, diwasiti, silakan Anda kerahkan segala ilmu, taktik, dan atraksi semenjulang apa saja, tetapi jangan langgar tata aturannya.
“Batas atasnya” adalah jangan pernah melanggar tata aturannya. Selesai. Jika melanggar, Anda akan dikenakan hukuman.
Logika “batas bawahnya” adalah Anda telah diberi sebuah bola, dijelaskan pelbagai aturan mainnya, yang boleh dan tak boleh, diwasiti, tetapi Anda tak memainkan dengan baik permainan bola itu hingga Anda kebobolan gol, lalu kalah. Anda memang tak melanggar tata aturannya, tetapi secara permainan Anda kalah karena Anda tak melakukan apa-apa, atau tak punya cukup ilmu dan skill untuk menjalani permainan tersebut.
“Batas bawah” ini pada hakikatnya menisbatkan pemahaman bahwa Anda pun melanggar tata aturan permainan tersebut dengan tidak menggunakan segala modal yang telah diberikan. Maka logis Anda mengalami kekalahan.
Ilustrasi tersebut kiranya telah terang menderangkan bahwa pelanggaran tata aturan yang Anda lakukan menyebabkan Anda dihukum dan sebaliknya ketidakbecusan Anda menjalankan permainan menyebabkan Anda mengalami kekalahan. Dua-duanya sama-sama berada di derajat loser. Dua-duanya setara menanggung risiko dan hukuman.
Sekarang mari renungkan: ketika Allah Swt telah mengaruniakan akal, hati, Rasul Saw, al-Qur’an, dan sunnah-sunnahnya, dan prinsip tata aturanNya ialah sesederhana “menjalankan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya”, lalu Anda pun telah diberitahu clue rahasia yang sangat penting, yakni perbuatan-perbuatan buruk (rijsun) merupakan indikator, isyarat, bagi tidak digunakannya modal-modal besar tersebut oleh kita sendiri, sehingga karenanya Allah Swt tak sudi memberikan ijiNya untuk beriman, bukankah adil benar untuk dikatakanNya bahwa “segala yang baik berasal dari Allah Swt dan segala yang buruk berasal dari manusia”?
Sungguh tak berkekurangan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa korelasi tegas antara ijin Allah Swt kepada kita untuk beriman selalu berjalan seiring dengan produksi kebaikan-kebaikan yang kita lakukan, dan pula sebaliknya, maka lalu di mana letak kepantasan kita untuk merujukkan kemungkaran dan kemaksiatan kepada kehendakNya?
Sama sekali tak masuk akal.
Dapat dibayangkan kini betapa muasal dan hakikat jalan kita di hadapan ijin Allah Swt untuk beriman ini bagaikan sebuah bandul, pendulum, yang akan mengayun ke kanan atau ke kiri. Jika kita mengayun kepada kebaikan-kebaikan, Allah Swt akan mengijinkan kita beriman dan bertakwa kepadaNya. Pun sebaliknya, jika kita mengayun kepada keburukan-keburukan, Allah Swt tak peduli pada gerak ayun kita, dengan semata mengatakan: “Wa yaj’alur rijsa ‘alal ladzina la ya’qilun, Dan Allah Swt akan akan menjadikan (mendatangkan) keburukan kepada orang-orang yang tak mempergunakan akalnya.”
Seyogianya kita senantiasa cermat sekebak seksama terhadap cara kita menggunakan akal (dan modal-modal lainnya) agar hari-hari kita terus terisi dengan kebaikan-kebaikan, karena memang seperti itulah cara kerja kita untuktermasuk ke dalam golongan ya’qilun (mempergunakan akal) atau la ya’qilun (tak mempergunakan akal). Tak heran, saking lebih banyaknya manusia yang melakukan keburukan-keburukan, al-Qur’an sampai mengatakan: “Walakinna aktsarahum la ya’qilun, akan tetapi kebanyakan mereka (manusia) tidak menggunakan akalnya (dengan semestinya).”
Ketika Allah Swt telah memberikan garis batas yang terang demikian, pun seyogianya kita lalu semata sibuk dengan kualitas diri, bukan orang lain. Terlarang pada hakikatnya untuk menilai-nilai, memvonis-vonis, orang lain tak dihidayahiNya, dan sejenisnya, karena itu sama sekali bukan hak kita, tak dapat kita nalar, dan sekaligus tiada manfaat produktifnya bagi denyar kualitas diri kita.
Jika kita masih saja melakukan hal demikian, sejatinya kita tiada lebih dari golongan orang yang rijsun itu. Sungguh malang! Tatkala kita tekun beribadah kepadaNya, menyebut-nyebut namaNya, siang dan malam, tetapi secara hakikat rohani kita la ya’qilun pula. Sungguh malang! Peribadatan yang mulia justru menjadi penghalang (hijab) bagi kualitas diri akibat derasnya rijsun yang menodai diri, tanpa tersadari sama sekali.
Semoga Allah Swt senantiasa menolong dan melindungi kita semua. Amin.
Jogja, 17 September 2019
__________________
Semoga artikel Sungguh, Kita Beriman Semata Karena Diberi Ijin Oleh Allah Swt ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Sungguh, Kita Beriman Semata Karena Diberi Ijin Oleh Allah Swt di sini
simak juga video terkait Sungguh, Kita Beriman Semata Karena Diberi Ijin Oleh Allah Swt di sini