Gus Dur dikenal luas sebagai tokoh penting dalam mengawal perjalanan demokrasi di Indonesia. Namanya sudah melambung sejak tahun 1970-an. Tulisan-tulisannya sudah menjadi perbincangan para intelektual Indonesia dan dunia, tapi sosoknya ternyata sangat sederhana. Kisah-kisah kesederhanaan Gus Dur disaksikan banyak tokoh, salah satunya Prof Dr KH Nasihin Hasan yang hadir dalam testimoni di Pesantren Tebuireng Jombang, 21 Desember 2019.
“Gus Dur itu penah menjadi penasehat informal LP3S (Lembaga Penelitian Pendidikan Penerangan dan Ekonomi Sosial) Jakarta. Gus Dur itu sering datang, bahkan sampai 3-4 hari itu naik bus ke kantor LP3S. Sehingga saya ditegur oleh teman-teman “masak Gus Dur dibiarkan seperti itu?”,” kisah Kiai Nasihin dalam haul Gus Dur ke-10 di Jombang.
Dalam kisah Kiai Nasihin, kadang Gus Dur bersama almarhum Johan Efendi gandulan bus (bediri dan pegangan pada pegangan gantung bus). Sementara Kiai Nasihin saat itu sebagai anggota LP3S sudah pulang pergi dijemput pakai mobil.
“Saya mengelus dada. Masyaallah. Tapi dengan segala ketenangan dan kemuliaannya, itu dijalani Gus Dur,” lanjutnya.
Pada suatu hari, Kiai Nasihin ditanya oleh Gus Dur.
“Hu, sudah makan Hu?”
Gus Dur biasa memanggil Kiai Nasihin dengan nama Hu. Nama keakraban sesama teman perjuangan.
“Belum,” jawab Kiai Nasihin.
“Ayok makan di depan sana, di warung dekat sawah. Tapi Hu, sampeyan yang bayar ya!”
“Siap.”
Akhirnya Gus Dur dan Kiai Nasihin menuju warung itu.
“Saya minta maaf, tadi uang saya kecopetan Hu,” kata Gus Dur.
“Gus Dur memang tidak punya dompet, sebab setahu saya selama ini kalau Gus Dur naruh uang ya biasanya di saku saja. Masyaallah, begitu sederhananya,” kata Kiai Nasihin.
Pada kisah lain, saat waktu itu Gus Dur rajin nulis di Tempo. Kiai Nasihin membelikan mesin tik yang bagus, tapi tidak mau.
“Tetap saya belikan, saya siapkan di meja dan saya kasih kertas, terapi saya di tegur “Ho, Mbok ya mikir dikit.”
“Kenapa?”
“Saya pakai kertas bekas saja, kertas yang sudah sampean pakai baliknya masih kosong bawa sini tak pakai, karena perilaku kantor-kantor seperti inilah hutan itu habis.”
“Saat itu saya sadar betul. Ya Allah ini bukan main. Pada tahun 1980-an orang bicara soal lingkungan, soal hutan itu belum ada. Tapi Gus Dur sudah bicara sekaligus mempraktikkannya. Seperti itulah soal kesederhanaan,” tegas Kiai Nasihin. (Amru/Bangkitmedia.com)