Strategi Membangun Keluarga untuk Mencegah Terorisme

Dalam hal radikalisme dan terorisme, (selanjutnya saya lebih suka istilah) ekstrimisme-kekerasan maupun kontra-ekstrimisme, keluarga adalah faktor penting dan menentukan.

Dari banyak kasus, para ekstrimis pertama-tama akan mempengaruhi dan mengajak keluarga mereka untuk jadi ekstrimis juga. Keluarga adalah orang-orang terdekat baik secara fisik maupun non fisik sehingga jejaring ekstrimisme lebih mudah terbentuk. Itulah mengapa ada fenomena terrorist brotherhood/sisterhood dan bahkan terrorist family.

Demikian juga dalam upaya kontra-terorisme, keluarga jagi menjadi salah satu kunci sukses atau tidak. Pertama-tama yang menjadi subyek perhatian adalah keluarga dan atau saudara dari para ekstrimis. Jadi harus dipastikan bahwa keluarga dan saudara ekstrimis bisa dirangkul secara kekeluargaan untuk awalnya disengagement; menjauh dari kelompok ekstrim untuk kemudian ada proses deradikalisasi; tobat dari ideologi dan aktivitas ekstrimisme.

Itu untuk keluarga ekstrimis. Untuk keluarga yang belum terpapar, kontra-ekstrimisme harus memastikan bahwa keluarga punya ketahanan (resiliensi) yang memadai untuk mencegah dan menghalau potensi terpapar ekstrimisme. Beberapa riset mnyebut bahwa pemuda yang punya kedekatan dengan keluarga (terutama dengan ibunya) they are less potential to-be-recruited. Demikian juga daya resiliensi keluarga juga mampu menghalau ketika potensi ekstrimisme mulai menjangkiti salah satu anggota keluarga mereka.

Secara umum, terdapat 3 indikator ketahanan keluarga;

Pertama, ketahanan fisik yakni tercukupinya kebutuhan primer seperti sandang, pangan dan papan serta beberapa kebutuhan sekunder. Kaya-miskin memang relatif tapi acuannya dengan definisi kemiskinan yang ditetapkan pemerintah. Ini juga standarnya dinamis.

Kedua, ketahanan psikologis yakni kematangan berpikir, bertindak dan mengendalikan emosi diantara anggota keluarga (ayah, ibu dan anak). Situasi dan kondisinya memang beda-beda dan fluktuatif tapi kohesivitas keluarga membuatnya bisa saling membantu. Misal ada anggota keluarga yang depresi, lalu dapat perhatian dan bantuan dari anggota keluarga lain sehingga tidak lari atau terjerumus ke hal-hal negatif dll.

Ketiga, ketahanan sosial-budaya. Yakni partisipasi sosial dalam masyarakat. Kohesivitas sosial adalah perluasan kohesitivitas keluarga. Tatanan dan fungsi sosial yang berjalan baik membuat keluarga bisa saling membantu dan ini modal sosial bagi individu dan keluarga. Masyarakat modern yang cenderung individualis dan kurangnya kepedulian-sosial memang menjadi tantangan sendiri dalam upaya mencegah dan mengkonter ekstremisme-kekerasan di masyarakat.

Kemudian, ketahanan budaya yakni kemampuan keluarga dalam memahami dan menghadapi keragaman di masyarakat. Memang beda-beda karena dipengaruhi faktor ekonomi, tingkat pendidikan, pengalaman hidup, keluasan pergaulan. Kuncinya adalah perbanyak, persering dan perintens bergaul dengan orang-orang dengan latar yang berbeda-beda, kalau bisa sedini mungkin dari kecil, sehingga tumbuh kedewasaan sosial-budaya.

Semoga manfangat dan berkah.

Danke

Penulis: Dr Suratno, dosen Universitas Paramadina Jakarta dan Pengurus Lakpesdam PBNU.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *