Sejarah dan Makna Ratib Al-Haddad bagi Orang Betawi

Sejarah dan Makna Ratib Al-Haddad bagi Orang Betawi

Sejarah dan Makna Ratib Al-Haddad bagi Orang Betawi

Di mesjid dekat rumah yang saya tempati dahulu, Cempaka Putih Barat, setiap malam jumat dibacakan Ratib Al Haddad. Ratiban dimulai dengan membacakan suratul fatihah yang dihadiahkan kepada Sayyid Abdullah bin Alawi al Haddad, Habib Ali Kwitang, Habib Usman bin Yahya, Wali Songo, Syekh Nawawi Al Bantani, Syaikhuna Khalil Bangkalan dan Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari.

Sebagai orang betawi Cengkareng, saat pindah ke kawasan yang kultur betawinya masih kuat, tentu saja merasa bahagia. Saya menikmatinya, meskipun saya tidak rajin-rajin amat ke masjid. Buat saya, Ratibul Haddad adalah ratibnya orang betawi. Ratib ini, biasa dibaca rutin saban malam jumat atawa menjelang orang naik haji. Sanad Rotibul Haddad di Betawi bersumber dari Guru Marzuki. Beliau mendapatkannya, saat belajar di Haramain yang bersumber dari gurunya yakni Syaikh Muhammad Umar Syatha dari gurunya yang bernama Syeikh Ahmad Zaini Dahlan.

Ratib al Haddad sendiri, sangat terkait dengan Tarekat Alawiyah yang diamalkan oleh para Sayyid atau Habaib. Di Betawi sendiri, tradisi Islam kenyataannya memanglah merujuk kepada tradisi para habaib. Hampir semua ulama betawi mendapatkan sanad keilmuannya dari kalangan habaib atau ulama haramain, seperti Syaikh Ali Al Maliki, Syaikh Umar Bajunaid, Syaikh Mukhtar Attharid, Syaikh Abdul Karim al Dagestani, Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabawi dan Syaikh Mahfudz al Tremasi. Jadi jangan heran, jika kemudian NU dan FPI tumbuh subur di Betawi.

Keberadaan Ratib Al Haddad, dengan sendirinya sejatinya menunjukkan adanya ritus Tarekat Alawiyah di Tanah Betawi. Hanya saja, pembacaan Ratibul Haddad di Betawi tidak terorganisir dan terlembaga, seperti di Suryalaya Tasikmalaya, Kanzus Sholawat Pekalongan atau Jamaah PETA di Tulungagung. Selesai pembacaan ratib di masjid, jamaah bubar. Begitulah yang terjadi secara rutin, tanpa pengorganisiran lebih lanjut. Alhasil yang terlihat, orang betawi seakan tidak mengenal tarekat.

Salah satu cerita yang menarik mengenai Ratib Al Haddad barangkali adalah cerita Buya Hamka pada tahun 1977 yang diterbitkan KODI DKI Jakarta. Saat baru pindah ke Jakarta, Buya Hamka pernah menyaksikan penduduk betawi yang membaca ratib dengan keras. Sebagai seorang yang menganut islam modernis, saat itu Buya Hamka menilai pembacaan zikir tersebut menyimpang dari ajaran islam.

Namun, semakin bertambah usia, Buya Hamka menyadari, bahwa pembacaan Ratib atau Dzikir yang keras adalah sisi lain perlawanan orang betawi atas kekuasaan Kolonial Belanda yang menguasai segala macam segi kehidupan yang membuat orang betawi tak berdaya. Jika Descartes mengatakan “saya berfikir maka saya ada”, barangkali orang betawi lewat pembacaan Ratibul Haddad dan berdzikir keras ingin mengatakan “La Ilaaha Illallah dan sebab itu mereka akan tetap ada”.

Ketika Indonesia Merdeka, Buya Hamka masih mendengar pembacaan Ratib Al Haddad dan dzikir keras tersebut, tetapi ia tidak marah lagi. Ada hal yang lebih penting dari Ratib itu seperti 350 tahun Belanda berkuasa di Batavia, tetapi jarang sekali penduduk betawi asli yang berpaling dari ajaran islam. Jika kemiskinan membawa kekafiran, maka orang betawi membuktikan bahwa mereka memang menjadi miskin, tetapi tidak menjadi “kafir”.

Malam ini, orang betawi dan penduduk jakarta kembali diajak untuk membaca Ratib Al Haddad. Bukan untuk melawan Belanda. Lebih dari itu, ini merupakan sebuah senjata spritualitas bahwa ketika wabah Corona mengancam, kita sedikitpun tidak boleh kehilangan harapan. Ikhtiar menjaga kesehatan, tetap di rumah dan tidak lupa membersihkan tangan harus tetap dilakukan. Apalagi kitab-kitab fiqih selalu dimulai dengan bab thaharah, menjaga kebersihan.

Klender, 26 Maret 2020

Demikian Sejarah dan Makna Ratib Al-Haddad bagi Orang Betawi. Semoga bermanfaat.

Penulis: Humaidi Syari’ati.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *