Ini kisah sosok ulama besar asal Makkah, yakni Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, Ulama yang Kaya dan Dermawan.
Pernah terjadi obrolan oleh beberapa Kiai Madura saat mereka bertamu pada Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, obrolan itu terjadi di halaman pondok Rushaifah dan saya ikut nimbrung di situ. Mereka sedang membicarakan kekayaan Abuya, namun mereka tidak tahu persis dari mana kekayaan beliau itu, mereka hanya tahu bahwa Abuya itu kaya dan salah seorang dari mereka berkata: “Amplop dari kita tidak ada artinya buat Abuya, orang-orang Arab yang kaya-kaya itu, kalau memberi Abuya amplop, pasti isinya banyak.”
Mereka mengira Abuya itu kaya karena sering menerima hadiah besar dari tamu-tamu beliau. Abuya tidak seprti itu, walaupun beliau menerima banyak hadiah dari para tamu dan orang-orang yang mencintai beliau, tapi pemberian beliau untuk orang lain, termasuk ketika membalas hadiah, jauh lebih banyak lagi.
Pernah ada tamu seorang Kiai dari Jawa dan beliaupun dijamu makan oleh Abuya, Kiai itu makan sedikit, mungkin karena malu, Abuya menyuruh Kiai itu agar makan banyak dan kemudian berkata: “Nasiku ini lebih halal dari nasi di rumahmu. Tahu kenapa?” Tamu itu hanya tersenyum, kemudian Abuya melanjutkan: “Karena beras dan semua uangmu dari pemberian orang. Kalau uangku dari hasil usaha, aku punya usaha.” Kiai itupun tertawa mengiyakan.
Setahu saya, Abuya memiliki banyak apartemen yang disewakan, setidaknya itulah suatu jenis usaha beliau yang saya tahu. Saya hanya dua tahun bersama Abuya sehingga tidak banyak tahu tentang kekayaan beliau dan alokasinya. Dan yang saya dengar, tiap awal bulan beliau mendapat sekoper uang dari hasil penyewaan apartemen itu, namun tidak sampai seminggu uang itu habis untuk operasional santri, hadiah, sedekah dan lain-lain.
Iyal, memang beliau adalah Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, Ulama yang Kaya dan Dermawan.
Katanya, beliau memiliki daftar banyak nama janda-janda tua dan fakir miskin yang beliau santuni setiap awal bulan. Adapun yang saya saksikan sendiri adalah bahwa ada beberapa santri yang tugasnya membuat amplop khusus seukuran uang, pembuatan amplop itu sering dikerjaan dan berarti amplop yang banyak itu habis terus. Saya juga sering menulis nama orang di amplop itu setelah diisi uang.
Selain itu, kami para santri, selain makan dan pakaian ditanggung Abuya, kami juga diberi uang setiap awal bulan, demikian juga dengan semua santri khariji (tinggal di luar) yang jumlahnya ratusan orang, baik santri asal Indonesia maupun negara lain, sehingga pernah ada anekdot santri khariji nakal, dia hanya rajin ke majlis Abuya di awal bulan saja karena ada pembagian uang.
Abuya menjamin semua keperluan santri, termasuk makan, pakaian dan uang jajan. Saya pernah menyaksikan Abuya marah ketika Habib Muhammad Al-Habsyi (Probolinggo) menitipkan uang pada seseorang untuk putra beliau yang mondok di Rushaifah, yaitu Habib Ali.
Abuya berkata: “Kenapa dikirimi uang? Apa takut kurang makan di sini?”
Utusan Habib Muhammad itu keburu ketakutan karena Abuya marah, padahal sebenarnya Habib Ali yang meminta uang itu pada abah beliau untuk membeli kitab. Seandainya dari awal dijelaskan demikian maka, saya kira, Abuya tidak akan marah. Saya melihat bahwa kemarahan Abuya itu adalah cara beliau untuk meyakinkan orang tua para santri, bahwa Abuya benar-benar menganggap mereka seperti anak sendiri, Abuya akan mencukupi semua keperluan santri, agar orang tua santri tidak perlu menghawatirkan anak-anak mereka.
Abuya juga sangat dermawan pada tamu, khususnya tamu ulama’ dan santri (pelajar). Diantara yang saya tahu, Abuya memiliki stok koper yang banyak, ketika ada tamu ulama’ besar maka diambillah satu koper dan diisi dengan barang-barang seperi kain, sorban, kitab dan lain-lain, sebagai hadiah untuk tamu itu. Demikian juga kalau ada tamu pelajar, misalnya mahasiswa asal Indonesia yang sedang belajar di Al-Azhar Mesir, maka Abuya akan menghormatinya serta memberinya hadiah kitab dan uang yang banyak.
Banyak orang yang meminta bantuan pada Abuya, sampai-sampai untuk keperluan pribadi dan sepele. Suatu ketika, setelah majlis maghrib, Abuya duduk di ruang masuk Aula untuk menerima banyak tamu, diantaranya ada rombongan orang penting. Ketika Abuya sedang berbincang-bincang dengan tamu-tamu penting itu, tiba-tiba ada orang tua dengan pakaian lusuh maju menghampiri Abuya, orang itu langsung memegang kepala Abuya dan menariknya dengan sedikit kasar kemudian orang itu mencium kening beliau, Abuya tersenyum ramah menyambut orang tua itu dan menanyakan kabar, padahal Abuya tidak mengenal orang itu. Nampaknya dia orang kampung (a’rabi) yang polos dan tidak berpendidikan. Sejurus kemudian orang itu merogoh sebuah kertas dari saku bajunya dan menyerahkannya pada Abuya, ternyata kertas itu adalah tagihan listrik.
“Saya sudah beberapa bulan tidak mampu membayar listrik sehingga listrik saya mau diputus.” Kata orang tua itu dengan polosnya.
Abuya mengangguk sambil tetap tersenyum, kemudian segera memanggil Kiai Kamal Mukhlis yang ketika itu termasuk orang kepercayaan Abuya dalam hal keuangan, Abuya menyuruh Kiai Kamal untuk mengambilkan sejumlah uang yang diperluakan untuk orang tua itu. Orang tua itupun beranjak dari hadapan Abuya dan mengikuti langkah Kiai Kamal, sementara Abuya melanjutkan perbincangan dengan tamu-tamu penting itu.
Ada juga cerita lucu, salah seorang supir Abuya pernah berhutang pada Abuya dan Abuya tidak mau dibayar, saya mendengar cerita ini dari orang lain karena kejadiannya sebelum saya masuk ke Abuya, tapi supir itu masih ada ketika saya di Abuya. Ceritanya, supir itu tiba-tiba dipanggil untuk nyupirin Abuya ke Madinah dan langsung berangkat dengan buru-buru. Setibanya di Madinah, supir itu meminjam sejumlah uang pada Abuya dan Abuyapun bertanya dengan heran: “Untuk apa?”
Tentu saja ini adalah hal yang aneh dan lucu, mana ada santri berani meminjam uang pada Abuya!
Supir itupun menjawab: “Saya, kan, berangkatnya buru-buru, jadi tidak sempat membawa pakaian, makanya saya harus beli pakaian untuk beberapa hari di Madinah ini.” Abuyapun tersenyum dan memberi supir itu sejumlah uang.
Beberapa minggu kemudian, ketika Abuya membagi uang pada semua santri, seperti biasa, semua santri mengantri dan mengambil uang langsung dari tangan Abuya, termasuk supir itu. Begitu tiba giliran sang supir, Abuya menyuguhkan uang tapi sang supir menolak, Abuyapun bertanya dengan heran: “Kenapa?”
“Saya kan punya hutang waktu di Madinah.” Kata sang supir dengan polosnya. Abuyapun baru ingat dan beliau tertawa seraya berkata: “Ambillah, nak, tidak ada orang tua menghutangi anaknya, itu hadiah.”
Abuya juga suka menyumbang keperluan dan pembangunan Pesantren, baik Pesantren milik santri beliau sendiri maupun orang lain. Tapi Abuya mengajarkan mandiri pada santri-santri beliau, beliau akan membantu setelah melihat upaya santri beliau. Saya dengar, Abuya pernah memarahi salah seorang santri yang belum apa-apa sudah mengeluh dana untuk membangun Pesantren. Beliau tidak suka kalau ada santri mengeluh pada guru sebagaimana anak mengeluh pada orang tua, seorang anak tidak boleh memberi beban pikiran pada orang tua, harus menyembunyikan kesusahan apapun dihadapan orang tua, membuat orang tua tenang dan gembira dengan melihat anaknya mampu mandiri.
Demikian kisah Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, Ulama yang Kaya dan Dermawan.
Penulis: KH Ali Badri, Pasuruan, santri Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki.