Saya dijaga Kaum Ansor dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW. 1 Desember 2018 mendapatkan kabar Gus Rifqi Amany bahwa tanggal 11 harus berangkat Umroh bersama Ketum Gus Yaqut Cholil Qoumas dan rombongan dari GP Ansor, hal yang sangat saya rindukan namun juga sangat terlalu cepat hingga 90% tidak mungkin.
Kenapa? Saya tidak punya KTP dan tidak pernah urus KTP sejak satu kejadian dimana itu menghancurkan hidup saya dan juga terutama Ibuku tersayang hingga harus jual rumah dan keliling Muntilan cari utangan karena anaknya masuk bui di Semarang.
Tanggal 2 Desember saya pulang ke Muntilan, keyakinan saya cuma 1 bahwa apapun akan terjadi kalo memang terpilih menjadi tamu di Baitullah, tempat yang teramat suci. Keyakinan saya cuma 1 itu saja, yang lain “pikir keri”
Gus Rifqi membantu melalui Ketua PC Ansor Magelang supaya proses KTP, Rekomendasi dll berjalan lancar, alhamdulillah adik kelas saya Sahabat Lukman adalah Kasatkoryon Banser Muntilan yang dari awal sampai jadi rekomendasi selalu mengawal proses tersebut.
Lancar? Lebih tepatnya dilancarkan oleh sang pengundang, minta rekomendasi di Kemenag terkait ijin untuk visa dan KTP saya kolom agamanya masih Kristen karena memang tidak pernah saya urus terkait rekam data ektp beberapa tahun lalu.
Bermodal tekad dan restu Ibu, saya ke Semarang untuk urus passport pada tanggal 4 Desember 2018 dibantu langsung oleh Sahabat Bagus Susanto, ditemani di Imigrasi Semarang. Ketika proses ternyata ada masalah, harus menunjukkan passport lama karena saya tercatat pernah bikin itu di Sidoarjo, passport itu hilang!
Lancar? Sekali lagi dilancarkan oleh sang pengundang, dibantu Gus Chabib yang remote semua kegiatan saya di Semarang dan dia ikuti harus jadi passpor katanya. Jadilah sebuah passport setelah sehari di Kantor Imigrasi Semarang.
Perjalanan ke Haramain
Singkat kisah, 11 Desember 2018 Siang kami berangkat bareng dengan rombongan Umroh dari Sorban Nusantara. Sampai Jeddah malam hari sekitar jam 11 malam waktu Jeddah dan harus melalui proses Imigrasi yang saya sebenernya sedikit ragu dan grogi karena apa? Tattoo.
Sepanjang perjalanan mulai pesawat taxi sampai kami turun, pikiran saya adalah bagaimana menghadapi petugas Imigrasi Bandara Jeddah yang konon serem itu. Sampailah giliran saya diperiksa, sekali lagi sang “Pengundang” memberikan kuasanya hingga ketika diperiksa dokumen dll petugasnya malah ketawa2 dan menyapa pake Bahasa Inggris padahal sebelumnya dia cuma pake bahasa Arab bahkan kadang gak sopan cuma pake bahasa2 isyarat ke Jamaah.
Tibalah saya dan rombongan untuk ambil Miqot karena dari Jeddah harus sudah berihram dan langsung melaksanakan Umroh setiba di Mekkah, ada keajaiban lagi ketika jelang mandi miqot dan saya agak kesulitan taroh barang2 karena tempat yang hanya berisi kamar mandi dan tempat wudhu. Saya dibantu petugas disana bahkan dibantu cara mengenakan kain ihram. Sambil dia liatin tattoo saya dan berkali2 mengucap Alhamdulillah, saya juga merinding dengernya.
Mekkah Al Mukharomah
Tanah Suci yang penuh dengan jamaah dari seluruh dunia, dengan berbagai latar belakang dan budaya Segala Bangsa dan cuma saya yang tattoan dan ketika berihram memang telanjang, kita telanjang dihadapan Allah SWT untuk menyintas banyak hal terkait Tauhid, Fiqih dan Tasawuf dalam sebuah perjalanan singkat yang dirindukan semu umat, jalan damai untuk bersimpuh dibawah kebesaran Sang Penguasa Alam.
Lancar? Disinilah tantangan ketelanjangan Manusia dengan apa yang dia yakini bersinergi dengan ikatan persaudaraan yang terkuat dimuka bumi ini terjadi.
Mekkah dan kesuciannya tentu saja justru sebuah tempat dengan goda terbesar untuk hawa nafsu manusia, setelah tahalul selesai Umroh, saya bersama Sahabat-Sahabat Ansor ngopi di lorong bawah Zam Zam tower dan ada anak kecil yang nunjuk2 saya sambil teriak “Haraaaamm… Haraaaam… Haraaaam…”
Bayangkan, di tanah suci dan di haram haramkan karena tattoo dan dilihatin ribuan orang? Saya takut?
Tidak sama sekali, saya terharu dengan Sahabat Sahabat Ansor yang menjaga saya, membarikade saya dan menghardik orang yang mengharam haramkan saya, ada Bib Mohammad Nuruzzaman, Mas Wibowo Prasetyo dan Affan Rozi yang membentengi saya dengan ikatan persaudaraan.
Cukup? Tidak gaes… satu pagi setelah Jamaah Subuh saya beli Es Krim dan yang jual juga sama ngatain “Haram… Haram…” dan benteng saya langsung bereaksi dengan menegur orang tersebut dengan bahasa Inggris campur Arab dikit menjelaskan ke kang eskrim itu, saya terharu nulis ini.
Cukup? Belum, besoknya kita city tour ke Arafah dan pagi2 udah dibikin emosi oleh sopir bis yang menanyakan bagaimana saya bisa umroh padahal tatoan?? Saya tidak akan layani karena buang energi dan ternyata Sahabat Asrory dari Ansor Surabaya sedang ngomelin sopir bis kami dengan menjelaskan satu dan banyak hal tentang niat ibadah dan tattoo, walau akhirnya sopir itu mendapatkan penjelasan gamblang dari Gus Towus dan malah mendoakan saya masuk surga dan dia yakin saya akan masuk surga dan dia sebut saya Jannat Than. Aneh ya? Gak ada sejam dari haram haramin orang trus jadi orang paling yakin kalo saya pasti masuk surga.
Saya sih aminkan saja doa doa baik tersebut.
Bukan itu intinya Sahabatku semua, yang terpenting adalah saya menjadi saksi bahwa kisah Kaum Ansor dan Muhajirin ketika hijrah Kanjeng Nabi Muhammad saya rasakan juga di Tanah Suci, mulai dari Panggilan yang saya yakini sampai dengan penjagaan dari Kaum Ansor untuk saya di Mekkah Al Mukkaromah itu benar-benar ada.
Saya berada di Organisasi yang didirikan oleh orang-orang Ikhlas, dan Gerakan Pemuda Ansor adalah terikatnya persaudaraan Ikhlas yang akan terus berkhidmah bagi Ulama dan NKRI.
Saya yang berbangga hati menjadi kader Ansor dan Banser, semoga kita semua selalu diberikan kekuatan.
Penulis: Jonathan Latumahina