Sarung Santri

sarung santri

Cerpen Muyassaroh Hafidzoh

Aku menghentikan pencarianku sejenak, menerawang bayangannya. Ya! Seseorang.

Dia adalah seorang pemuda yang menyukai kesendirian. Tadarusnya, puasanya, makan, ngaji, nyuci dan nderesnya, ya kecuali shalatnya. Selain itu banyak pula yang mengenalnya karena sarung itu selalu mengikat di lehernya. Sarung coklat, namun sudah lusuh, warna coklatnya pun sudah menjadi hampir tak nampak kalau itu coklat. Walaupun motif kotak-kotaknya masih menempel memisahkan antara coklat dan entah itu putih atau abu-abu.

Beberapa hari ini aku melihatnya merenung di teras masjid, sambil memegang kitabnya namun bibirnya tak seperti biasanya yang selalu komat kamit entah membaca apa, tapi aku yakin itu hafalannya. Banyak teman yang mengenalnya, namun lebih banyak yang tidak memahaminya. Kami semua menganggapnya santri aneh.

Pertama dari namanya, dia bernama Nuzulul Qur’an, aneh kan? Aku pernah bertanya padanya suatu sore, dia menjawab “Kata kakekku, karena aku lahir di malam itu.”

Dan malam ini adalah tanggal 17 Ramadhan di mana biasanya setelah selesai mengaji aku menemui Nuzul duduk di atas sumur pondok yang berada di belakang komplek sakan.

“Zul, kamu akhir-akhir ini terlihat murung, kenapa?”

“Sarungku hilang Rul,” jawabnya parau.

Aku terbelalak mendengarnya, kenapa bisa hilang, bukankah sarungnya itu selalu diikat ke lehernya. Siapa pula yang berani mengambil sarung Nuzul.

“Zul, selamat ulang tahun ya! Malam tahun ini apa do’amu?” Tanyaku.

Seingatku dua tahun lalu ketika aku baru mengenal Nuzul, dia menjawab pertanyaanku dengan “Aku ingin hafal kitab Alfiyah.” Tahun sebelumnya juga dia menjawab “Aku ingin hafal seratus hadis Rasul.” Karena memang santri aneh, oh bukan aneh, lebih tepatnya santri ajaib, semua keinginannya sudah terpenuhi. Beberapa bulan lalu Pak Yai memberi syahadah padanya karena telah selesai menghafal seratus hadits.

“Aku ingin sarungku ketemu, Rul,” katanya membuatku mengerutkan dahi.

“Tunggu Zul, dua tahun lalu ingin hafal Alfiyah, tahun lalu seratus hadits, kenapa sekarang jadi ingin sarungmu ketemu, bukannya ingin hafal Qur’an atau dapet jodoh yang pinter, cantik atau apalah?” Kataku memprotes do’anya.

“lha memang kenapa Rul?”

Aku pun bingung menjawab pertanyaan balik darinya, ya gak apa-apa juga sih, maklum sarung itu selalu setia menemaninya.

“Kalau sudah lulus dan boyong dari sini kamu ingin menjadi apa Rul?” Tanyanya tiba-tiba.

“Aku ingin menjadi wakil rakyat.” Dia menolehku dan menatap. Tatapannya seperti peluru yang berhasil meluncur dan mengenai jantungku.

“Besok kalo kamu jadi wakil rakyat jangan lupa ke mana-mana bawa sarung ya!” Katanya.

Setelah percakapan itu dia langsung pergi meninggalkanku sendirian di atas sumur, aku menatap purnama yang dari tadi milik Nuzul, lama-lama aku merasakan keindahan. Purnama yang melambai-lambaikan parasnya bagaikan perempuan cantik yang sedang menggoda. Sepertinya bintang pun tidak kalah mempesona, mereka berebutan mencuri perhatianku, ah… dalam gelap yang pekat akan merasakah terang yang tsaqibmencorong, silau.

Dua bulan kemudian tepatnya setelah libur Lebaran aku jarang melihat Nuzul, di masjid, di langgar, di kamar, di atas sumur maupun di warung Mbok Barkah.

Pengajian Hikam adalah yang menjadi favoritnya pun sudah 10 kali tanpa kehadirannya. Pak Yai memulai bacaannya dengan kalimat “la yusykikannaka fi al-wa’di adamu wuqu’i al-mau’udi, wa in ta’ayyana zamanuhu lialla yakuna dzalika qadhan fi bashiratika wa ikhmadan linuri sariratika

“Janganlah tidak adanya sesuatu yang dijanjikan, membuat ragu keimananmu, walaupun waktu perjanjian itu jelas. Supaya tidak mencela mata batinmu dan cahaya keluhuranmu.”

Sulit rasanya memahami apa yang di kaji Yai malam ini, biasanya aku bertanya pada Nuzul apa maksud dari ungkapan Ibnu ‘Athoillah tersebut. Namun sayang santri berkalung sarung itu lama tidak menampakkan mata sayunya.

Selesai ngaji aku berlari mendekati Yai.

Nyuwun sewu Yai, kenapa Nuzul belum balik ke pesantren?” Tanyaku.

“Dia sakit, dongakke ben ndang sehat yo le!” Kata Yai.

Sedih mendengar jawaban Yai, Nuzul sekarang sakit, aku berpikir apa karena sarungnya yang belum ketemu. Ah..! Aku jadi ingat ketika tiba-tiba dia mendekatiku saat aku sedang asyik dengan rebanaku.

“Rul… Irul… semalam aku bermimpi kamu menjadi wakil rakyat. Nanti kalo sarungku ketemu, aku akan memberikannya padamu.” Katanya, kemudian berlalu meninggalkanku yang masing merasa aneh dengan sikapnya.

Pagi yang mendung ahad ini kembali mengingatkanku padanya. Ada keinginan untuk mencari sarungnya yang hilang. Aku menyusuri pesantren berharap menemukan sarung coklatnya. Tapi nihil, tak ku temukan, bahkan sarung yang mirip saja tidak ku jumpai. Aku hampir putus asa.

Tiba-tiba aku melihat warna yang sangat ku kenali, tapi aneh, warna itu berada di deretan sarungku yang ku susun rapi di lemari. Aku mengambilnya dan aku menemukan kertas kecil dalam lipatannya.

“Rul, ini pesan dari Ibnu ‘Athoillah (keimanan itu tidak terpaut pada janji namun pada kemantapan hati. Karena jika terpaut pada janji maka akan menciderai mata batinmu.) Jadilah wakil rakyat yang memiliki iman bukan hanya janji. Nuzul.”

Aku menangis mengingat semua itu, waktu yang ku lalui dua puluh lima tahun silam. Di pesantren, di kamar komplek, di atas sumur, di belakang Pak Yai, di samping Nuzul.

Nuzul yang aneh tapi aku mengaguminya, Nuzul yang mati melawan penyakitnya, Nuzul yang memberi sarungnya entah kapan dia menaruh di dalam lemariku.

Benar kata Nuzul tentang sarung itu, ia bisa mengingatkanku atas kewajiban sebagai hamba. Apakah Nuzul mengetahui bahwa saat ini aku dikejar-kejar penegak hukum karena menyelewengkan janji. Dan sekarang aku baru mengingatnya. Aku baru mencari kembali sarungnya. Tuhan, di mana sarung itu?

16 Juli 2013

Krapyak, 00.32 wib

*Muyassaroh Hafidzoh, Guru TPA Masjid Azzahrotun Wonocatur Banguntapan Bantul.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *