Menjadi santri adalah kebangaan tersendiri. Santri itu mempunyai sejarah panjang, sepanjang sejarah Islam yang ada di Indonesia. Menjadi santri jangan tanggung, setengah-setengah, harus tuntas. Kalau bisa tuntas, maka bisa sakti. Karena sejatinya santri itu memang sakti. Dibenturkan berbagai macam kondisi, santri tetap bisa tegak berdiri. Itulah yang sudah dibangun para wali yang ilmunya terus meresap dalam proses belajar di berbagai pesantren di Indonesia.
Demikian ditegaskan KH Ahmad Muwafiq, salah satu A’wan Syuriah PWNU DIY, dalam acara pengajian dan sholawatan “Temu Kangen dan Silaturrahim Ikamaru Jogja dan Pelantikan Pengurus Ikamaru Jogja Periode 2018” di Halaman Kampus Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta (01/02). Ikamaru adalah Ikatan alumni Madrasah Raudlatul Ulum, Guyangan Pati, yang ada di Jogjakarta.
Gus Muwafiq menegaskan bahwa menjadi santri melalui beragam tahapan. Pada tahap awal, santri itu adaptasi, karena datang ke pesantren itu dikirim orang tuanya. Tidak sedikit yang awal di pesantren dilalui penuh tangisan. Itu wajar, dan sangat biasa. Tahap selanjutnya itu terpaksa, karena santri dipaksa untuk ikut ngaji, jama’ah, sholat malam, puasa, dan beragam kegiatan pesantren lainnya. Banyak tahap ini yang protes, tidak kerasan, dan lainnya. Itu wajar dan biasa.
Tahap selanjutnya ketika santri sudah merasa nyaman dan ridho dengan apapun yang diperintahkan kiai. Dalam tahap ini, santri merasakan nikmat apapun yang terjadi di pesantren. Kena penyakit gudiken saja merasa tambah berkah. Itulah santri, makanya mereka begitu sakti dalam hidupnya.
“Selain itu, kunci utama santri jadi sakti ya karena dua hal. Pertama, aspek simbolisasi. Kedua, aspek ideologisasi. Pada aspek simbol, para kiai sepuh menegaskan bahwa santri itu ya jangan sampai lepas peci, baju, dan sarung. Ketiganya itu ruh keseharian santri dan menjadi baju kebesaran. Itu kesaktian, selama dipakai, akan selalu membuat santri makin sakti, lahir maupun batin,” tegas Gus Muwafiq.
“Selanjutnya, pada aspek ideologis, santri itu ya mempunyai guru. Ruh santri adalah guru. Guru-guru kita, kiai-kiai kita, itu ruhnya sambung sampai Kanjeng Nabi. Itu ilmu yang sanadnya tak pernah putus. Inilah aspek paling pokok, dan ini menjadi ruh utama santri bisa sakti sampai hari ini. Makanya, dua hal ini harus dipegang dengan sungguh-sungguh, biar santri tetap berkiprah menjadi tumpuan bangsa dan negara ini,” lanjut Gus Muwafiq yang selalu berdakwah keliling Nusantara.
Gus Muwafiq juga menegaskan bahwa akhir-akhir ini banyak model santri yang bergaya beda, alias beda gaya. Jangan sampai santri-santri yang nyambung dengan sanad ilmu dengan Kiai Hasyim Asy’ari jadi terlena, atau kaget. Karena santri-santri yang menguatkan Nahdlatul Ulama akan selalu merasuk dalam jiwanya energi perjuangan yang tak pernah putus, tersambung sampai Kanjeng Nabi.
“Karena itu, santri jangan lupa doa di malam hari. Antara jam 00-03.00 dini hari. Doakan keluargamu, gurumu, kiaimu, dan lainnya. Ada berkah luar biasa itu. Buktikan saja,” tegas Gus Muwafiq yang rambutnya gondrong penuh wibawa.
Sebelum pengajian, acara sholawatan dipimpin oleh Habib Umar Zaky Assegaf. Acara pengajian ini dihadiri beragam ikatan alumni berbagai pesantren yang membentuk ikatan alumni di Jogja. Hadir juga dalam pengajian ini Rektor UNU Jogja, Prof. Purwo Santoso dan Dekan fak. Dirosah Islamiyah UNU Jogja, KH. Jazilus Sakho’, Ph.D. (md)