Sampai sekarang saya ingat betul totalitas beliau dalam mengajar dan mendidik para santri, beliau – yang meski selelah apapun, pulang dari perjalanan sejauh apapun dan dalam usia yang sangat sepuh seperti itu – selalu meluangkan waktunya untuk mengajar santri-santrinya.
Tidak jarang – karena saking capeknya – beliau tertidur beberapa detik di tengah-tengah membacakan kitab untuk kami. Di bulan Ramadhan beliau bahkan bisa berjam-jam duduk tanpa henti untuk membacakan kitab, semua waktu beliau seakan-akan hanya beliau dedikasikan untuk ilmu dan para penuntutnya..
Saya juga masih ingat dawuh beliau di malam itu, waktu itu beliau baru saja pulang dari kunjungannya ke Uzbekistan.
“Ora usah mikir engko dadi opo. Tapi Ngajio sing sregep, sinau sing sregep.. “(jangan pernah berpikir kelak akan menjadi apa.. Yang penting belajarlah yang rajin)
Dan tentunya aku tak akan pernah bisa melupakan keikhlasan beliau yang begitu besar dalam mengajar dan mendidik santri-santrinya tanpa mengharapkan imbalan apapun. Pagi itu, setelah sowan dan minta restu untuk pergi ke Yaman, aku menyalami beliau dengan sebuah amplop – sebenarnya sebelumnya beliau sudah pernah menolak amplop yang hendak aku hadiahkan. Tapi ini terakhiran, masak gak ngasih apa-apa ? – dan benar saja, amplop itu beliau tolak untuk kesekian kalinya, beliau senyum dan dawuh :
“Nggak usah macem-macem.. ”
Aku pamit, kembali ke kamarku NH 30, tiduran, menutupi wajahku dengan kain, dan kemudian menangis sejadi-jadinya ..
Selamat jalan Mbah Yai..Dengan Hati yang sesak aku tuliskan catatan ini.. Sambil berusaha menghibur diri bahwa kematian memanglah duka bagi kita. Tapi bagi mereka para kekasih Allah adalah sebuah anugerah dan perayaan mulia. Di sana telah menanti hal-hal indah yang selama ini mereka impikan. Seperti yang sering dijelaskan Habib Umar mengutip kalam Imam AlHaddad :
ﻓﺎﻟﻤﻮﺕ ﻟﻠﺆﻣﻦ ﺍﻷﻭﺍﺏ ﺗﺤﻔﺘﻪ *
ﻭﻓﻴﻪ ﻛﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﻐﻲ ﻭ ﻳﺮﺗﺎﺩ
ﻟﻘﺎ ﺍﻟﻜﺮﻳﻢ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻣﺠﺪﻩ ﻭ ﺳﻤﺎ *
ﻣﻊ ﺍﻟﻨﻌﻴﻢ ﺍﻟﺬﻱ ﻣﺎ ﻓﻴﻪ ﺃﻧﻜﺎﺩ
“Kematian bagi para Awliya’ adalah sebuah anugrah.. Sebuah perayaan.. Bersama para Anbiya’ dan malaikat, mereka merayakan pertemuan mereka dengan Allah yang sudah sekian lama mereka rindukan”
Selamat menikmati perjalanan indah njenengan Mbah Yai.. Kini njenengan telah menjemput cita-cita agung njenengan itu, yang selama ini seringkali njenengan utarakan kepada santri-santri dan para tamu yang mengharap barokah njenengan. Kulo masih ingat, waktu itu njenengan bahkan meminta doa kepada ponakan kulo yang umurnya jauh di bawah njenengan. Ketika itu njenengan berkata :
“Doakan saya.. Saya yang butuh didoakan.. Saya gak ingin apa-apa, saya hanya ingin husnul khotimah.. ”
Sekali lagi, Selamat jalan Mbah Yai.. Semoga kami santri-santri njenengan yang masih tertinggal disini tetap bisa menapaki jejak-jejak luhur njenengan..
الى روح شيخنا ميمون زبير الفاتحة ..
Jakarta, 6 Agustus, 2019.
Penulis: Ismael Amin Kholil, santri Simbah Kyai Maimoen Zubair dan juga cicit Syaikhona Kholil Bangkalan.
Advertorial: 1926_Store Menjual Kaos Santri