Saat Menjelang Ajal, Hartanya Nabi Muhammad Hanya Tujuh Dirham

Detik Detik Wafatnya Rasulullah SAW dan Tangisan Fatimah Az Zahrah

Oleh KH Helmi Hidayat, dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kalangan Yahudi di sekitar Madinah lebih sering menyebut Muhammad sebagai ‘’Raja Yatsrib’’ ketimbang Rasulullah shallallahu alaihi wasallama. Raja-raja di luar jazirah Arab, termasuk kekaisaran Romawi berikut tentaranya yang saat itu ditakuti dunia, segan kepada ‘’raja’’ yang kemunculannya dirasa tiba-tiba ini. Tapi, tahukah mereka berapa kekayaan yang ditinggalkan sang ‘’Raja Yatsrib’’ saat ajal menjemputnya?

Baca pelan-pelan: t-u-j-u-h d-i-r-h-a-m – itu pun disedekahkan kepada fakir miskin sebelum ajal benar-benar menjemputnya!

Padahal, sebagai Nabi sekaligus panglima tertinggi angkatan perang Yatsrib ketika itu, Rasulullah selalu mendapatkan harta rampasan perang yang melimpah dari setiap benteng musuh atau daerah yang ditaklukkannya. Dalam perang Hunain, misalnya, ribuan unta dan kambing disita. Para petinggi Makkah yang waktu itu baru masuk Islam, mulai dari Abu Sufyan, Muawiyyah anak Abu Sufyan, Harits bin al-Harits al-Kalada, Harits bin Hasyim, Suhail bin ‘Amr, sampai Huwaitib bin Abdul ‘Uzza masing-masing mendapatkan 100 ekor unta. Sementara jenderal-jenderal Quraisy dengan pangkat lebih rendah mendapatkan 50 ekor unta.

Dalam perang Khaibar, Rasulullah juga mendapatkan fa’i, rampasan perang yang diperoleh tanpa melalui kontak senjata dan pertumpahan darah, berupa hektaran tanah dan kebun-kebun anggur yang luas.

Tapi, kenapa di akhir hayatnya Nabi hanya memiliki harta tujuh dirham? Fakta di balik inilah yang tidak diketahui banyak orang. Rasulullah ternyata tidak mencicipi semua rampasan perang itu seenak seleranya. Hampir semuanya dibagikan kepada golongan Muhajirin yang memang tak punya harta saat mereka berhijrah dari Makkah. Hanya dengan cara ini, ketimpangan sosial tidak terjadi antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Rasulullah tidak mau saudara-saudaranya yang berhijrah dari Makkah selamanya menjadi beban saudara-saudara mereka masyarakat Madinah!

Kisah tujuh dirham ini terungkap sehari sebelum Izrail mencabut nyawa Nabi yang berjiwa agung ini. Dua atau tiga hari sebelumnya, Rasulullah teringat bahwa dia masih memiliki harta tujuh dirham. Khawatir harta itu masih berada di tangannya ketika ajal tiba nanti, Nabi memberi pesan berkali-kali kepada semua isteri dan kerabatnya agar menyedekahkan semua harta itu kepada fakir miskin. Tapi, karena sibuk mengurusi Rasulullah, semua isteri dan kerabatnya termasuk Fatimah lupa melaksanakan amanat Nabi. Ketika di hari Minggu, atau sehari sebelum meninggal dunia, Rasulullah tersadar dari pingsannya, hal pertama yang ia tanyakan adalah tujuh dirham itu.

‘’Apa yang sudah kalian lakukan dengan tujuh dirham milikku,’’ tanya Nabi.

‘’Masih aku pegang ya Rasulullah,’’ jawab Aisyah. ‘’Kami lupa melaksanakan pesan engkau.’’

‘’Coba bawa ke sini uang itu,’’ pinta Nabi.

Aisyah mengambil tujuh dirham itu lalu diserahkan kepada Rasulullah. Setelah tujuh dirham itu diterimanya, ia memperlihatkan pundi-pundi uang itu kepada khalayak lalu katanya: ‘’Bagaimana kira-kira jawaban Muhammad kepada Tuhannya jika ia menghadap Allah tapi ini masih di tangannya?’’

Hari itu juga, tujuh dirham itu kemudian disedekahkan, semua budak miliknya dimerdekakan, seluruh peralatan perangnya dihibahkan kepada kaum Muslimin. Tentang hal ini Rasulullah pernah bersabda: ‘’Kami, para nabi, tidak mewariskan apa-apa. Apa yang kami tinggalkan semuanya buat sadakah.’’

Demikianlah, lelaki dengan jiwa lembut dan agung ini sudah memberikan banyak sekali teladan kepada umat manusia tentang akhlak mulia dan bagaimana seharusnya mereka menyikapi glamornya kehidupan duniawi. Ketika rampasan perang terhampar di lembah Hunain dan Khaibar berupa ribuan unta dan hektaran kebun anggur dan kurma, tidak sedikit pun Muhammad sang utusan Tuhan tergiur dengan semua harta itu. Padahal, Allah menghalalkan Nabi untuk menikmati harta itu sebutuh yang ia suka. Menjelang ajal menjemputnya, semua hartanya cuma tersisa tujuh dirham, itu pun segera disedekahkan, budak-budaknya dibebaskan.

Ketika maut telah menjemput Rasulullah, seorang Yahudi tatangganya melaporkan bahwa baju perang Nabi tengah digadaikan kepadanya karena Rasulullah saat itu sedang tak punya uang. Subhaanallah. Padahal, dulu Jibril pernah menawarinya untuk mengubah Gunung Uhud menjadi emas, tapi Rasulullah kontan menolak!

Sebagai seorang Nabi, Muhammad patuh pada aturan Allah bahwa seorang nabi, sejak Adam AS hingga dirinya diangkat menjadi penutup para nabi, tidak boleh punya warisan. Di kemudian hari, ketika Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pertama dalam Imperium Islam, Fatimah meminta agar sang khalifah memberikan warisan ayahnya, antara lain tanah di Khaibar, tapi Abu Bakar menolak. Ia menolak karena berpegang pada hadits Rasulullah sendiri bahwa para nabi tidak boleh punya harta warisan dan harta yang ditinggalkannya harus menjadi sadakah buat mereka yang masih hidup.

Di sisi lain, Fatimah tidak pernah mendengar ayahnya pernah menyampaiikan hadits ini. Karena itu, hingga akhir hayatnya ia berkonflik dengan Abu Bakar. Sementara Ali bin Abi Thalib, sebagai suami, tentu bertoleransi sikap kepada isterinya. Inilah yang membuat Ali baru ikut membai’at Abu Bakar sebagai khalifah enam bulan setelah ia dilantik, tepatnya setelah Fatimah dipanggil ke hadirat Allah SWT.

Sejarah peradaban Islam sejak saat itu sampai kini antara lain diharu-biru oleh perbedaan pendapat ini. Sebagian menyikapinya dengan arif bijaksana seraya menolak perbedaan pendapat kedua orang dekat Rasulullah ini membesar lalu menggelinding bak bola salju hingga menimbulkan faksi-faksi yang bertentangan dalam tubuh umat umat Islam. Sebagian lagi menyikapinya dengan emosional hingga melahirkan fanatisme baru dalam Islam.

Padahal, ada satu pesan fundamental yang hendaknya ditangkap dengan baik oleh banyak umat Islam. Ketika banyak orang gila harta dan jabatan, bahkan menggunakan berbagai cara untuk menguasai harta benda dan jabatan duniawi itu, Rasulullah Muhammad shallallahu alaihi wa sallama justru menunjukkan sikap sangat tidak suka pada kehidupan duniawi dengan segala godaannya itu. Ia gemetar menggenggam tujuh dirham di tangannya ketika ajal hendak menjemput. Ia malu jika karena tujuh dirham itu, jarak dekatnya dengan Allah menjadi terhalang, lalu terhalang juga kesempatannya menikmati indahnya Wajah Allah yang tak terlukiskan kata-kata.

Ya Rasulallah, sebagai musafir yang melintasi sementara permukaan Bumi ini, kami sungguh merindukan keteladanan engkau .…

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *