Penglihatan batin Gus Kelik sangat tajam, jauh lebih tajam dibandingkan dengan rata-rata orang kebanyakan.
Padahal siapa pun yang pernah berkumpul dengan Gus Kelik pasti menyaksikan bahwa beliau itu seringkali seperti tidak hirau dengan orang-orang di sekitarnya. Pandangannya tertuju kepada “alamat” yang tidak dipahami oleh banyak orang. Bahkan seringkali terkesan tidak nyambung dengan suasana. Sekali lagi, cuma terkesan.
Saya sendiri pernah merasakan secara langsung ketajaman penglihatan batin Gus Kelik. Tidak tanggung-tanggung, langsung menerobos ke kedalaman hati saya. Waktu itu saya sedang naik motor di siang hari, menyusuri Jln Paris dari arah utara. Sampai di Dusun Bangi, sebelah utara bangjo Tembi, saya melihat Gus Kelik sedang berdiri di timur jalan, persis di depan rumah Pak Teri yang oleh Gus Kelik dipanggil Pak Peri.
Langsung saya menepikan motor saya ke kiri jalan, berhenti tidak jauh dari Gus Kelik. Saya salaman dengan mencium tangannya, tapi Gus Kelik seperti tidak hirau dengan kehadiran saya. Saya pakai jurus pamungkas. Saya tawassul kepada Rasulullah saw dan kepada Gus Kelik dengan diam-diam baca al-Fatihah di dalam hati agar bisa terhubung secara ruhani dengan Gus Kelik.
Gus Kelik, alhamduliLah, memang pernah mengijazahi saya bacaan surat al-Fatihah. Setelah sampai tiga kali membaca al-Fatihah di kesunyian batin saya, Gus Kelik tiba-tiba memelototkan pandangannya persis di depan wajah saya. “Huwaaaaaa, huwaaaaa,” katanya sambil tertawa lebar. Terkejut saya.
Agak malu saya sebenarnya. Tapi keinginan saya untuk mendapatkan berkahnya mengalahkan rasa malu itu.
نفعنا الله بعلومه وامدنا باسراره وافاض علينا من بركاته وبكم، امي
Penulis: Kiai Kuswaidi Syafi’ie, Pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi Bantul