Rahasia Karomah Mbah Manab Lirboyo dalam Mendidik Santri

Rahasia Karomah Mbah Manab Lirboyo dalam Mendidik Santri

Rahasia Karomah Mbah Manab Lirboyo dalam Mendidik Santri.

Mbah Manab Lirboyo merupakan orang yang sangat istiqomah mengaji dan beliau jarang keluar rumah, kecuali keluar ke masjid dan kamar mandi saja. Kegiatan mengaji pada waktu itu bertempat di dalam masjid. Sehari penuh waktu beliau habiskan untuk mengaji kitab, mulai setelah subuh sampai sore hari beliau membuka pengajian dengan para santri.

Mbah Manab tidak pernah tidur, sebagian besar waktu beliau habiskan untuk muthala’ah kitab, mengaji, dan ibadah. Di sisi lain, Mbah Manab juga sesekali pergi ke sawah untuk menengok tanaman, dikarenakan beliau dilarang bekerja oleh Mbah Dlomroh. Sang Istri sangat memuliakan beliau dan selalu mendorongnya untuk tidak ikut mengurus masalah duniawi, melainkan lebih memprioritaskan mengaji dan ibadah.

​Mbah Manab merupakan orang yang berkepribadian sangat sabar dalam mendidik putra-putri, cucu, dan santri. Belum pernah beliau marah kepada anak-cucu, santri ataupun bahkan kepada orang lain. Selain penyabar, beliau merupakan sosok sangat tawadlu’ dan sangat menyayangi para santri. Salah satu bentuk ketawadluan Mbah Manab ialah saat beliau dipamiti santri yang akan kembali ke rumahnya, beliau biasanya ngendhika: “Nggih kula wonten mriki mboten gadhah napa-napa. Pondok niku kagungane Mbah Sholeh, masjid nggih kagungane Mbah Sholeh” (saya disini tidak mempunyai apa-apa, pondok pesantren itu milik Mbah Sholeh, masjid juga milik Mbah Sholeh).

Salah satu bukti tentang sifat welas asih Mbah Manab kepada para santrinya, saat ada santri yang melakukan pelanggaran berat hingga terpaksa dia dipulangkan (biasanya melanggar peraturan yang berat). Saat santri itu disowankan, Mbah Manab dawuh sembari mencucurkan air mata: “Sampeyan wonten mriki kon ngaos nggih, pun ngaos nopo dereng?” (Kamu di sini disuruh mengaji kan, sudah mengaji belum?). “Dereng” (belum), jawab santri itu. “Masya Allah, sak jane sampeyan kon rene ki kon ngaji” (Masya Allah, sebenarnya kamu disuruh ke sini oleh orang tua untuk mengaji), lanjut beliau sembari menyeka air mata yang berlinangan.

​Meski sudah sepuh, Mbah Manab tidak pernah menyuruh orang lain. Saat ada tamu laki-laki, beliau sendiri yang mengambil minuman dan melayani tamunya, tanpa menyuruh santri apalagi istrinya. Lalu dengan bahasa krama halus beliau akan menanyai tamu tersebut. Setelah itu, beliau akan diam saja, dan tetap nderes kitab yang dipegangnya. Sudah menjadi kebiasaan beliau, siapappun orang yang bertamu, Mbah Manab mempersilahkan, menyalaminya lalu beliau sendirilah yang mengambilkan suguhan untuk tamu. Setelah itu, beliau hanya diam sambil tetap memegangi dan mutala’ah kitab yang ada di tangannya. Sedang makanan favorit beliau dan lauk favorit beliau ialah tempe bakar kemudian dipenyet dengan sambal.

​Menurut cerita, kepindahan Mbah Manab bersama Mbah Nyai Dlomroh itu atas perintah dari mertua beliau, Mbah Sholeh. Awal-awal menetap di Lirboyo, untuk makanan sehari-hari biasanya dikirim dari Banjarmelati berupa nasi dan lauk secukupnya. Biasanya yang mengantarkannya ialah Mbah Marzuqi dan adiknya Mbah Nyai Dlomroh yang bernama Abdul. Saat itu, rumah beliau masih sangat sederhana, temboknya hanya terbuat dari anyaman bambu, itu saja belum sepenuhnya menutupi seluruh rumah. Menurut cerita, Mbah Manab bantalnya terbuat dari kayu.

​Suatu ketika Mbah Manab diminta untuk pulang ke kota asalnya oleh keluarga yang ada di Magelang, karena di sana sudah dibangunkan masjid dan pondok pesantren. Mengetahui rencana tersebut, Mbah Nyai Dlomroh mengatakan: “Nek sampeyan pingin kundur Magelang nggih mangga. Ning kula mboten wanton wong kula didawuhi bapak wonten mriki” (Jika anda ingin pulang ke Magelang silahkan, namun saya tidak berani ikut dikarenakan saya disuruh ayah untuk tinggal disini). Mendengan penolakan tersebut, Mbah Manab tidak berani meninggalkan Desa Lirboyo.

​Lingkungan Desa Lirboyo pada waktu itu sangat tidak aman, manyarakat sekitar terkenal sering mengganggu keluarga Mbah Manab. Waktu itu untuk memenuhi kebutuhannya, Mbah Dlomroh di rumahnya membatik kain. Saat kain yang sudah di batik tersebut di jemur di samping rumahnya dan hanya ditinggal sholat, terdengar suara bambu penyangga tali tempat menjemur kain tersebut jatuh. Saat dilihat, kain batik yang siap dijual itu raib dicuri.

​Mbah Manab biasanya mengaji di masjid dan baru akan pulang pada jam 24.00 WIB. Setelah pulang beliau tidak langsung tidur melainkan pergi ke kamar mandi terlebih dahulu dan kemudian melakukan shalat malam. Lama sekali beliau shalat malam, sampai menjelang subuh beliau masih melakukan shalat malam. Lalu beliau ketiduran di tempat itu sambil duduk. Itu sudah menjadi kebiasaan beliau setiap harinya. Oleh karena itu Mbah Abdul Aziz Manshur, yang ketika itu masih kanak-kanak sering kali bertanya pada ibunya: “Mak, mak embah niku lek bengi kok mboten nate sare. Napa mboten ngantuk?” (Bu, bu, kakek itu kalau malam kok tidak pernah tidur malam. Apa tidak mengantuk?).

​Lalu ibu beliau menjawab: “Ya iku lhe, mbah-mu rumangsa dititipi anake wong pirang-pirang. Dunga neng Gusti Allah, njaluk supaya anak seng dititipine dadi wong seng apik-apik” (Ya itulah nak, kakekmu itu merasa dititipi putra-putranya orang lain. Beliau memohon kepada Allah agar santri yang dititipkan itu menjadi manusia yang berguna).

​Dalam mendidik putra-putrinya, Mbah Manab tidak memakai cara khusus, sama seperti mengajar para santri. Biasanya kalau pagi setelah subuh beliau pulang ke rumah untuk mengajar putra-putrinya, begitu pula sehabis maghrib biasanya beliau mendahulukan putra-putrinya. Hal-hal yang dipelajari pun hanya sebatas pada fashalatan, belajar wudlu, niat wudlu, doa iftitah, bacaan tasyahud dan fardhu-fardhu lainnya. Setelah itu bersama-sama membaca Al-Qur’an dan sering pula beliau membaca menjelaskan masalah thaharah (bersuci). Kalau sudah menyentuh masalah shalat, beliau terangkan permasalahan itu dengan jelas. Beliau juga sering bercerita para nabi dan orang-orang saleh terdahulu.

​Waktu itu, di kalangan para santri sangat masyhur jika Mbah Manab adalah ulama yang selama hidupnya belum pernah melihat langit. Kesufian beliau nampak dari sifat tawadlu yang tidak pernah melihat ke atas.

​Mbah Manab merupakan seorang ulama yang memiliki filosofi hidup sederhan, ajeg, serta istiqamah. Saat Gunung Kelud meletus dan terjadi hujan abu, tepat di belakang pintu masjid sebelah utara, beliau tak henti-hentinya membaca wiridan. Kuatnya istiqamah beliau dalam membaca wiridan bukan main, sehabis jamaah shalat subuh beliau mulai wiridan, jam setengah delapan pagi baru selesai. Malah saking lamanya beliau wiridan jarang ada santri yang kuat mengikuti wiridan bersama beliau hingga selesai.

​Setiap kali Mbah Manab berdoa, entah doa yang dipanjatkan panjang atau pendek, selalu beliau selipkan doa untuk santri dan umat muslim pada umumnya. Setelah shalat Ashar, beliau istiqamah membaca kitab dala’il dan kalau wiridan beliau pasti duduk di belakang pintu masjid sebelah utara. Dan setiap kali hendak mengaji atau berjamaah ke masjid, beliau pasti melewati sebuah lawangan kecil yang sekarang terkenal dengan gerbang lama itu.

Demikian tentang Rahasia Karomah Mbah Manab Lirboyo dalam Mendidik Santri, semoga manfaat.

Teruntuk Beliau Muasis Pondok Pesantren Lirboyo Simbah KH. Abdul Karim Alfatihah.

(Mukhlisin)

*Melengkapi tulisan Rahasia Karomah Mbah Manab Lirboyo dalam Mendidik Santri, saksikan video ini.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *