Rahasia Ilmu “Titis” Mbah Maimoen

Belajar dari Hikmah Wafatnya Mbah Maimoen

ILMU “TITIS” MBAH MOEN

Tradisi sowan dan minta doa pangestu sebelum berangkat ke tanah suci kepada saudara-saudara tua dan para kyai sepuh adalah satu adat yang mengakar di masyarakat kami, termasuk dalam tradisi keluarga kami. Tak heran jika sebelum terbang dari Solo ke Jeddah, kami sempatkan sowan-sowan ke “dulur tuo” termasuk sowan di Sarang. Tepatnya hari sabtu (19/07/2019).

Saat kami sowan ke Mbah Moen, alhamdulillah doa panjang beliau panjatkan untuk kami setelah beliau tahu kami akan berangkat ke tanah suci. Dan di belakang ruang tamu putra, terdengar kabar bahwa malam selasa (21/07/2019) akan diadakan haul Nyai Hj. Fahimah tepat sehari sebelum kami meluncur menuju asrama haji Donohudan.

Bacaan Lainnya

Di balik cerita haul Mbah Nyai Fahimah tersebut, ada penuturan Ibu Nyai Heni Maryam yang beliau sampaikan saat kami menemani hingga malam di hari Mbah Maimoen meninggal.

Awalnya, Mbah Moen diaturi bu nyai agar pelaksanaan haul diadakan malam jumat saja bersama para santri. Namun Mbah Moen menolak sembari dawuh:

“Fahimah iku ninggale seloso, haule yo seloso”.

Tak berhenti sampai di situ kemudian beliau meneruskan:

“Bapakku yo sedone seloso, mbah-mbahku biyen yo akeh sing sedo dino seloso, aku yo bakale mati dino seloso”.

Mendengar dawuh Mbah Moen seperti itu, Budhe Heni (demikian biasa kami memanggil) sempat terperanjat kaget dan cepat-cepat matur agar tidak membahas masalah kematian. Namun Mbah Moen hanya diam, seolah beliau sudah menyadari betul hari wafatnya kelak di hari selasa.

Dan benar.. Tepat di hari selasa, dua minggu setelah acara haul Mbah Nyai Fahimah berlangsung beliau dipanggil oleh Allah Ta’ala dalam usia 90 tahun. Di samping itu, meninggal di hari selasa adalah keinginan beliau sejak lama. “Wong ngalim biasane sedo seloso”, demikian dawuh beliau dalam beberapa kesempatan.

Begitupun saat di Mekkah beberapa waktu sebelum beliau wafat, menurut kisah Gus Kha’iz Makruf Zubair (yang selama di Mekkah selalu mendampingi), Mbah Moen sempat berpesan:

“Nek aku mati bayarno damku telu (Jika saya meninggal bayarkan dam saya tiga)”. Seakan beliau sudah tahu waktu yang tersisa tidak akan lama.

Saya jadi teringat saat kakek kami wafat di tahun 1970. Seperti cerita masyhur yang pernah kami dengar, saat itu Mbah Ma’shoem Ahmad sempat ngendikan (berkata) di depan jenazah kakek kami:

“2 tahun lagi bakal aku susul”.

Dan terbukti di tahun 1972 beliau wafat.

Masyaallah, dari titik ini saya kok semakin meyakini bahwa bahwa para waliyullah sejatinya sudah mendapat isyarah dari Allah dan begitu sangat titis (peka) tentang kematian mereka. Dan itu tertangkap jelas dalam diri para sesepuh dan kyai-kyai terdahulu kita, termasuk Mbah Maimoen Zubair.

رب فانفعنا ببركتهم واهدنا الحسنى بحرمتهم وامتنا فى طريقتهم

*) Diposting dengan penuh keharuan di atas kendaraan menuju Arafah dengan iringan talbiyah.

Penulis: Zaki Abegeva.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *