Pesan Mbah Sahal Mahfudz yang Sangat mengesankan Hidupku, Ojo Kagetan!.
“Ojo kagetan!” Begitu pesan singkat Mbah Sahal kepada para santrinya. Pesan singkat ini mudah sekali dimengerti, tapi kenyataannya sulit dalam implementasi. Dua kata tersebut memiliki makna tersirat yang mendalam. Secara bentuk, kalimat ini adalah sebuah bentuk kalimat larangan (an-nahyu), yang bersumber dari Kiai dan ditujukan kepada santri. Larangan kagetan ini datang bukan tanpa sebab. Asbabul wurud larangan ini ‘mungkin’ berangkat dari kekhawatiran Mbah Sahal terhadap santri yang ‘kurang’ terbiasa melihat kondisi sosio-kultural di luar pesantren.
Sebagaimana diketahui, santri yang masa mudanya dihabiskan di dalam pesantren, tidak menutup kemungkinan akan menjumpai persoalan-persoalan baru -yang sama sekali belum dikenalnya- setelah dia keluar dari pesantren. Santri dituntut untuk lebih bisa memahami dan menjiwai, bahwa perbedaan adalah sebuah rahmat. Santri yang kagetan tidak akan pernah sanggup menerima keadaan, apalagi perbedaan, dan belum lagi sebuah perubahan.
Santri yang memutuskan untuk meneruskan jenjang akademiknya dalam sebuah perguruan tinggi sudah semestinya mengimplementasikan dawuh ini. Pada jenjang perkuliahan, terdapat perbedaan dan perubahan yang signifikan dari sebuah sistem pengajaran di pesantren yang notabenenya menekankan sistem sorogan, bandongan, dan hafalan. Sekalipun dalam beberapa tradisi pesantren terdapat pula kegiatan musyawarah dan bahtsu al-masail untuk mengasah daya kritis santri, namun tidak dapat dipungkiri bahwa semuanya masih dalam batas koridor otoritas sumber agama (baca: Al-Qur’an dan Hadits) dan kitab-kitab klasik lainnya. Rujukan yang digunakan dalam forum seperti ini tidak boleh tidak merujuk pada literatur khazanah keilmuan Islam, dengan artian tidak boleh keluar dari kutub at-turats yang telah ditulis oleh para ulama salaf.
Berbeda dengan jenjang perkuliahan, di mana keilmuan yang dikaji merambah pada literatur yang lebih luas. Sebut saja contohnya dalam kajian ulum Al-Qur’an, literatur yang digunakan tidak terbatas pada pemikiran para ulama (sarjana Muslim) saja, akan tetapi menelisik pula pandangan orientalis.
Sistem perkuliahan lebih menekankan aspek dialogis yang terbuka antara dosen dan mahasiswa, serta antara mahasiswa satu dengan mahasiswa lainnya. Apabila ditemukan pandangan dosen yang dirasa tidak disetujui mahasiswa, tidak ada larangan untuk menyangkalnya. Mahasantri tidak akan dikatakan su’ul adab apabila memiliki perbedaan pandangan dengan dosen, selagi pendapat itu disampaikan dengan cara yang semestinya. Bukankah Imam Syafi’i berbeda pendapat dengan Imam Malik selaku gurunya? Mahasantri tidak perlu khawatir akan kehilangan identitas kesantriannya sejauh yang dilakukan masih berlandaskan ‘prinsip-prinsip universal’ (bukan parsial) dalam dunia kepesantrenan.
Perlu dipahami bahwa perbedaan teori dan sudut pandang dalam sebuah disiplin keilmuan tertentu adalah hal yang sangat wajar, bahkan merupakan sebuah keharusan. Perbedaan pemikiran antara sarjana Muslim dalam fikih, teologi, tafsir, dan beberapa keilmuan lainnya justru semakin mempertebal kekayaan intelektual Islam. Sebagai generasi penerus, sudah seharusnya berkiblat dan mengaca pada realitas sejarah ini.
Perbedaan pandangan dalam proses dialog akademik harus dipahami sebagai suatu keniscayaan. Proses akademik dalam bangku perkuliahan semestinya diikuti dengan penuh gairah pemikiran intelektual. Apapun pembahasan dan pembicaraan yang muncul dan berkembang selama diskusi berjalan, tidak perlu ditanggapi dengan tegang. Segala pemikiran yang dianggap tidak sejalan, sah-sah saja untuk dipatahkan, tanpa melibatkan perasaan.
Sebagai contoh: ketika seorang mahasiswa sedang presentasi, lalu dilanjutkan dengan sesi dialog, tidak perlu memiliki rasa iba jika nantinya presentator tidak mampu menjawab pertanyaan. Berikan kepadanya pertanyaan atau sanggahan sebanyak-banyaknya agar ia mampu mengasah rasionya lebih tajam. Lontarkan kritik, sekiranya ia bisa menyanggahnya dengan bijak, dan lagi-lagi tidak membawa perasaan (baca: tidak tersinggung). Dari sinilah, karakter dan kepribadian seorang akademisi dalam mengontrol situasi akan diuji.
Sebuah wacana yang barangkali hanya berangkat dari asas praduga, justru semakin memperuncing nalar kritis kita dalam menanggapinya. Terlebih persoalan yang berangkat dari realita, tentunya analisis yang dibutuhkan akan semakin mendalam dengan mempertimbangkan aspek dan dimensi yang mengitarinya.
Perlunya menjadikan kesempatan tersebut sebagai peluang agar rasionalitas kita terus berjalan dan dipastikan tidak stagnan. Tanpa adanya hantaman, kita tidak akan menyadari sebuah kekurangan. Daya berpikir seorang akademisi akan terlihat dari bagaimana caranya menanggapi sebuah persoalan dengan tanpa baperan dan sejauh mana kekebalannya terhadap kritikan.
Jakarta, Desember 2019.
Muhim Nailul Ulya
__________________
Semoga artikel Pesan Mbah Sahal Mahfudz yang Sangat mengesankan Hidupku, Ojo Kagetan! ini memberikan manfaat dan keberkahan untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini