Pertemuan Dua Kiai Muda NU: Gus Ishom dan Gus Awis.
Ada yang menggembirakan hati saya saat mengikuti kegiatan Rapat Pleno PBNU 2019 di Pondok Pesantren Al-Muhajirin 2 Purwakarta, Jawa Barat, 20-22 September 2019, yakni perjumpaan untuk pertama kalinya dengan seorang anak muda yang semula sudah saya dengar namanya sebelum saya bertemu pemilik namanya.
Saat malam itu saya mendapat tugas menjadi Ketua Sidang Pleno PBNU di depan para peserta yang memadati ruangan, mata saya tertuju kepadanya yang dengan tekun sedang mendengarkan, sehingga saya memperkenalkan dirinya, mengucapkan selamat kepadanya yang mendapat amanah relatif berat, sebagai salah satu dari banyak Katib Syuriah PBNU yang baru. Dan bahkan saya pun memintanya untuk berdiri, agar semua mengenali saudara baru mereka di lingkungan yang baru dan mungkin serasa masih asing baginya, sambil berdoa dan berharap agar ia membawa manfaat dan menebar maslahat secara lebih luas bagi umat melalui khidmahnya di PBNU.
Pemuda itu sesungguhnya adalah seorang kyai yang masih sangat muda, bernama Dr. KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, kelahiran Jombang, Jawa Timur, tahun1979, menamatkan S-1 di Fakultas Ushuluddin, Univertas Al-Azhar, Mesir, dan menyelesaikan S-2 dan S-3 nya di dua Universitas berbeda di Sudan.
Malam itu, saya belum sempat berjabat tangan dengannya, tetapi ia sudah keburu keluar dari ruang sidang, mungkin karena sudah larut malam. Tetapi saat Rapat Pleno dilanjutkan pada esok paginya, sebenarnya saya ingin duduk di dekatnya di baris ke tiga, tetapi beberapa anak muda yang nampaknya panitia menggandeng tangan saya untuk duduk di barisan paling depan.
Tak berselang lama, tiba-tiba datang seorang kyai sepuh yang tentu tidak patut duduk di belakang saya, sehingga saya menyilakannya untuk menduduki tempat duduk saya, dan saya pun mengalah dengan berpindah duduk di baris kedua bersama sahabat-sahabat saya. Tetapi, saya melihat Kyai muda yang saya panggil Gus Awis itu telah berpindah duduk justru di barisan terdepan karena diminta oleh panitia
. Sebenarnya saya ingin duduk di sebelahnya untuk menemaninya, namun didahului oleh seorang sahabat saya dari PBNU. Tak saya duga, saat kursi sebelah saya kosong, Gus Awis menuju kursi tersebut dan dengan santun meminta izin untuk duduk di sebelah saya, dan tentu dengan senyum gembira saya mempersilakannya.
Dia (Gus Awis) sempat berbisik kepada saya, memintakan maaf untuk sahabat dekatnya (UAS) yang ia merasa malu kepada saya karenanya, tetapi saya jawab, bahwa saya sudah memaafkannya sebelum ia minta maaf dan apalagi saya hingga kini sering berdoa dengan doa yang terdapat dalam al-Quran: “wala taj’al fi qulubina ghillan lilladzina amanu (Wahai Tuhan, janganlah Engkau jadikan di hati kami, sedikit pun rasa benci kepada orang-orang yang beriman)”.
Setelah itu, dia mengatakan ingin memberikan hadiah yang sudah disiapkan di mobilnya untuk saya. Tentu saja saya sangat senang karena yang akan dihadiahkannya adalah beberapa kitab (buku) hasil karyanya sendiri. Mungkin ia tahu bahwa hadiah terbaik adalah hadiah yang disukai oleh calon penerimanya.
Ya, membaca buku adalah hobi saya sejak saya masih kecil. Saya bercerita kepadanya, bahwa saya dulu pulang setelah beribadah haji hanya membawa setengah kilogram kurma dan tas-tas saya yang besar saya penuhi kitab-kitab agama berbahasa Arab hingga sisanya saya titipkan kepada beberapa kawan dan yang lainnya saya kirim dengan paket dari Makkah ke Indonesia. Buku itu wadah ilmu, rajin membaca adalah kunci pembukanya.
Saya tentu bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Gus Awis telah menghadiahi saya kitab-kitab karya tulisnya sendiri, yaitu al-Syamil fi Balaghat al-Quran (3 jilid), Irsyad al-Darisin ila Ijma’ al-Mufassirin, ‘Ilm al-Tafsir: Ushuluh wa Manahijuhu, dan Jam’u al-‘Abir fi Kutub al-Tafsir (2 jilid).
Sayangnya, saya merasa kecewa kepada diri saya sendiri yang belum bisa membalasnya dengan hadiah, karena saya tak punya apa yang pantas untuk dihadiahkan untuknya. Orang tak punya memang tak bisa memberi. Saya sedih karena belum mampu melaksanakan sabda nabi, “saling lah memberikan hadiah sehingga kalian akan saling mencintai”.
Demikian kisah Pertemuan Dua Kiai Muda NU: Gus Ishom dan Gus Awis, semoga manfaat.
(Tulisan KH. Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU)