Perempuan Bercadar dan Dilema Politik Melawan Radikalisme

Yus Masfiyah Fatayat NU DIY

Oleh: Yus Mashfiyah, Koordinator Bidang Sosial Budaya PW Fatayat NU DIY

Beberapa hari ini berseliweran tautan tentang pelarangan memakai cadar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.  Ada yang setuju dan ada yang tidak setuju dengan pelarangan tersebut. Mereka yang setuju dengan aturan tersebut sebagian mengandaikan beberapa tahapan upaya pembinaan terhadap mahasiswi bercadar. Sementara yang tidak setuju menganggap larangan tersebut sebagai upaya pembatasan ruang ekspresi berpakaian atau menggunakan simbol-simbol identitas keyakinan dan otonomi tubuh perempuan. Sebagian juga beralasan bahwa larangan tersebut cenderung diskriminatif dan berpotensi membatasi hak atas pendidikan.

Bacaan Lainnya

Terlepas dari kontroversi yang berkembang, setiap orang pasti punya argumentasi terkait pelarangan mahasiswi bercadar di perguruan tinggi negeri tersebut.  Sebagai contoh, mereka yang menolak larangan ini mempunyai argumentasi bahwa peraturan ini dapat mengarah pada pelanggaran kebebasan dalam berpakaian, dan karena itu potensial menyebabkan diskriminasi. Sedangkan bagi kubu yang mendukung, kebijakan yang dikeluarkan rektor ini sangatlah progresif dan dipandang perlu sebagai upaya preventif mencegah kian tumbuh suburnya radikalisme di lingkungan perguruan tinggi Islam yang dikenal progresif ini.

Dengan kata lain, pada dasarnya kebijakan ini dibuat karena adanya kekhawatiran akan tumbuh suburnya radikalisme di lingkungan perguruan tinggi Islam seperti diekpresikan dan disimbolisasi oleh semakin banyaknya mahasiswi yang bercadar. Dalam argumen ini, perempuan bercadar merupakan ekspresi dan simbol yang paling jelas dari kehadiran dan kebangkitan kecenderungan konservatisme dalam beragama. Padahal UIN Sunan Kalijaga selama ini sangat dikenal sebagai representasi wajah Islam yang moderat dan progresif. Meskipun tentu harus dicatat bahwa tidak semua perempuan bercadar menganut paham keagamaan yang konservatif atau radikal.

Namun demikian, sebagai perempuan saya tergelitik untuk terus mempertanyakan kenapa hanya perempuan yang selalu harus diatur dan menjadi objek perdebatan, termasuk dalam cara berpakaian? Kenapa lagi-lagi tubuh perempuan yang terus dijadikan acuan dalam tarik menarik antara kebebasan individual dan ketundukkan pada hukum agama (syari’ah). Dengan serta merta perempuan pun kemudian menjadi arena utama pertarungan ideologis antara Islam progresif dan Islam konservatif. Dalam hal ini, perebutan ideologis dua kubu ini tampak sangat terpusat pada soal bagaimana perempuan memperlakukan tubuh dan cara berpakaian.

Dalam konteks ini, baik kelompok moderat-progresif maupun kelompok radikal-konservatif sama-sama menjadikan soal “perempuan” sebagai lokus utama pertarungan dan kontestasi mereka. Dalam kontestasi ini, perempuan bercadar dianggap sebagai salah satu simbol kemenangan orientasi keagamaan konservatif. UIN Sunan Kalijaga yang selama ini menjadi potret lembaga pendidikan Islam yang progresif dan moderat mau tidak mau harus melahirkan kebijakan pelarangan mahasiswi bercadar sebagai upaya menjaga wajah dan identitas Islamnya tersebut.

Kehadiran mahasiswi bercadar dianggap akan sangat kontrakdiktif dengan identifikasi diri lembaga ini sebagai simbol dan representasi Islam yang sangat progresif.

Menjadi Refleksi Bersama

Namun demikian, patut kiranya melakukan refleksi atas kontroversi ini di Hari Perempuan Sedunia (HPS), 8 Maret 2018. Ternyata masih ada banyak kasus yang berkaitan dengan tubuh perempuan yang selalu menjadi topik menarik dari waktu ke waktu. Lebih dari itu, sepertinya tubuh perempuan selalu menjadi komoditas, baik komoditas ekonomi maupun komoditas ideologi atau faham keagamaan. Kontroversi terkait larangan mahasiswi bercadar ini adalah cermin paling mutakhir dari kecenderungan ini.

Menarik untuk mengingat kembali bagaimana perkembangan “politik jilbab” di Indonesia. Di awal tahun 90-an wajah baru perempuan muslim Indonesia ditandai dengan bangkitnya fenomena berjilbab yang menggeser  kerudung panjang yang disampirkan ke samping belakang seperti  yang biasa dikenakan oleh Ibu Shinta Nuriah. Lalu di pertengahan tahun 2000 mulai terjadi pergeseran ketika jilbab syari’i menjadi trend di kalangan para perempuan muslim, ditandai dengan pemakaian baju gamis panjang hingga menyentuh lantai menyerupai mukena. Trend ini kemudian mulai bergeser lagi ke arah pakaian bercadar sebagai bentuk “hijrah” yang “kaffah” di penghujung tahun 2011-an.

Entah apa yang secara  persis menyebabkan pergeseran dari jilbab “biasa” menuju jilbab “syar’i” dan beralih ke “cadar” ini, apakah hanya sebuah trend fashion belaka atau lebih didorong oleh masih berlangsungnya hegemoni kekuasaan patriarkhi dibalik wacana atau argumen tentang “melindungi” tubuh perempuan. Sekali lagi ini hanya sebuah pertanyaan sebagai orang awam. Dan lagi-lagi rasa kesal muncul karena yang menjadi obyek dari segala peraturan soal cara berpakaian adalah perempuan.

Namun demikian, bukan berarti saya menolak larangan ini ketika saya mempertanyakan kenapa hanya perempuan yang diatur dalam hal berpakaian (dengan alasan mencegah berkembangnya radikalisme). Poin utamanya adalah memang perlu dilakukan sebuah dialog kritis secara timbal balik dengan mereka yang bercadar, bahwa kebijakan itu harus diambil bukan untuk mendiskriminasikan atau membatasi hak mereka untuk mengepresikan simbol-simbol/pakaian sesuai pandangan keagamaan mereka. Alih-alih, ini adalah sebuah kebijakan yang diambil dengan mengedepankan kemaslahatan bersama.

Seringkali perempuan ditempatkan pada sudut yang mengharuskan mereka mengamini sebuah kebijakan tanpa dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

Mencermati Dilema

Tetapi sekali lagi kebijakan ini juga sangat dilematis dan karena itu perlu kehati-hatian dalam pelaksanaanya. Ini karena isu pelarangan mahasiswi bercadar ini dalam konteks lembaga pendidikan akan bersinggungan dengan isu-isu lain. Pertama, kebijakan ini akan bersinggungan dengan isu hak asasi manusia dan feminisme yang premis dasarnya adalah setiap orang mempunyai kebebasan (termasuk kebebasan menentukan cara berpakaian atau memilih sebuah pilihan). Kedua, kebijakan secara khusus berkaitan dengan hak asasi dalam beragama (setiap orang berhak untuk mengekspresikan simbol-simbol keagamaan yang diyakininya, meskipun tidak berarti tanpa batasan tertentu).

Sebagai lembaga otonom, cukup beralasan jika UIN membuat kebijakan yang mengatur tentang cara berpakaian mahasiswanya. Karena sekali lagi cadar bagi sebagian orang adalah simbol di mana perempuan menukarkan kebebasan dan otonomi individualnya (individual freedom and autonomy) dengan ketundukan pada syariah, dan karena itu ia kehilangan agensinya (agency) sebagai perempuan-manusia dalam konteks cara berpakaian.

Dari sisi lain, penggunaan cadar juga masih bermasalah dari segi penerimaan social (social acceptance). Secara sosiologis, bercadar bagi perempuan masih belum dianggap sebagai praktik dan norma yang lazim di kalangan masyarakat kita yang sangat majemuk dan cenderung mengembangkan ekspresi kultural-keagamaan yang berbeda dengan kecenderungan di tempat lain, terutama di Timur Tengah/Arab di mana bercadar mungkin mempunyai akar budaya yang lebih kuat.

Ada banyak alasan yang membuat social acceptance ini masih lemah di masyarakat. Di antaranya, bisa jadi masyarakat menganggap relasi sosial mereka kurang cair dengan mereka yang tak bercadar. Dalam konteks relasi sosial dan interpersonal yang lebih sempit di lembaga pendidikan, penggunaan cadar sangat mungkin juga akan meyulitkan komunikasi antara dosen dan mahasiswi.

Sekali lagi, perlu kehati-hatian dalam langkah selanjutnya yang akan dilakukan terhadap mahasiswi bercadar ketika kebijakan ini diberlakukan. Ini agar tujuan preventif demi kemaslahatan umat bisa dimengerti dan dipahami oleh semua pihak.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *