Pengertian Rezeki Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (01)

Makna Asli Tauhid Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (5)

Pengertian Rezeki Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (01).

Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.

Rasulullah Saw bersabda: “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” Hadis ini dinukil oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya, Sirrul Asrar Fima Yahtaj Ilaihi al-Abrar.

Kita mungkin bertanya di hadapan hadis ini: “Lantas bagaimana dengan urusan duniawi kita, kerja kita, rezeki kita, toh kita pun mendamba sekali untuk menjadi mukmin yang haq?”

Syekh Abdul Qadir al-Jailani menasihatkan bahwa jalan selamat dari penjara dunia ialah menjalaninya dengan sikap istiqamah, yakni meluruskan diri dengan bergantung kepada pohon takwa agar petunjuk Allah Swt dapat memimpinnya dalam menjalani hidup di dunia. Rezeki yang kemudian diterima (melalui perantara sebuah pekerjaan atau perdagangan) adalah rezeki yang benar-benar bersih tanpa bercampur-baur dengan noda-noda duniawi; rezeki itu bisa berupa kenikmatan yang berbaur dengan kesusahan (kesempitan) maupun nikmat yang diiringi kemewahan; yang terpenting adalah rezeki tersebut berasal dari segala yang diridhai Allah Swt. Maka ikhlaskanlah segala yang diperoleh itu sebagai kehendak Allah Swt.

Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga menukil surat at-Thalaq ayat 2-3:

…siapa yang betakwa kepada Allah Swt niscaya akan ditunjukkan kepadanya jalan keluar dan diberikanNya rezeki yang tanpa diduga-duga. Siapa yang bertawakkal kepada Allah Swt, niscaya keperluannya akan dicukupi oleh Allah Swt….

Demi tujuan penjelasan berikutnya, saya nukilkan dua ayat tambahan lainnya yang terkait dengan tema ayat di atas.

Sesungguhnya Tuhanmu akan meluaskan rezeki kepada siapa yang dikehendakiNya dan (atau) akan menyempitkannya. Sungguh Dia Swt lah Dzat yag Maha Mengetahui dan Maha Melihat kepada hamba-hambaNya.” (QS. Al-Isra’ 30).

Allah Swt akan meluaskan rezeki kepada siapa saja yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya dan (atau) akan menyempitkannya. Sesungguhlah Allah Swt Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu.” (QS. Al-Ankabut 62).

Dunia adalah onak-duri yang berbahaya, maka berhati-hatilah, ucap Umar bin Khattab suatu kali. Ini benar sekali, serupa bunyi hadis di atas. Jika kita hidup di dunia ini dengan kurang/tidak bertumpu kepada iman yang haq kepada Allah Swt, bukan dengan pancaran ketakwaan yang haq, dapat dipastikan kita akan terjerumus ke dalam kubangan hawa nafsu yang serupa “penjara yang kelam” atau “onak duri yang berbahaya” itu.

Jadi, keimanan dan ketakwaan mestilah senantiasa menjadi genggaman rohani kita dalam segala aktivitas duniawi, termasuk dalam mencari rezekiNya, bekerja, dan mengelola uang.

Kepada orang yang menggenggam ketakwaan yang haq dalam mencari rezeki, Allah Swt menjanjikan akan menolongnya dengan memberikan “jalan-jalan keluar” yang “bahkan tak terduga-duga”. Ini mudah dimengerti, sebab kita yakin dengan haq bahwa Allah Swt adalah Dzat yang Maha Menguasai, Maha Mengatur, dan Maha Menentukan.

Apa yang sulit bagi Allah Swt, sama sekali tiada. Ketiadaan-kesulitan apa pun bagi Allah Swt untuk menterjadikan apa pun kepada kita (termasuk jalan-jalan keluar yang tak terbayangkan itu) mestinya sudah cukup bagi kita untuk menghadap dan lalu berbahagia kepada Allah Swt.

Akan tetapi, mari pula segera kita pahami bahwa Kemahakuasaan Allah Swt bukan hanya terkait KemampuanNya untuk melapangkan rezeki kita –dari jalan yang tak terduga. Kemampuan Allah Swt tersebut juga otomatis meliputi Keputusan dan KehendakNya untuk menterjadikan kesempitan rezeki kepada kita. Bahkan di kala kita sedang berada di julangan bisnis yang paling cemerlang sekalipun dan amaliah salehah yang paling istiqamah sekalipun.

Kesimpulannya, mudah sekali bagi Allah Swt untuk meruahkan rezeki kita dan atau mengenyahkan seluruh harta kita segunung apa pun ia, yang boleh jadi telah kita kumpulkan bertahun-tahun dengan susah payah, berat, dan bahkan sepenuh pelit.

Tepat pada posisi inilah, mari cermati ujung ayat 3 dari surat at-Thalaq itu: “Siapa yang bertawakkal kepada Allah Swt, niscaya keperluannya akan dicukupi oleh Allah Swt….

Tawakkal, ya, tawakkal. Maka mestinya kita senantiasa menjadikan tawakkal kepada segala ketetapan dan keputusan Allah Swt dalam hal rezeki ruah atau sempit itu sebagai “jalan keselamatan” kita. Rohani kita mestinya selalu berada di maqam tersebut, dengan dua arah keyakinan sekaligus:

Pertama, ihwal bekerja dan berusaha di dunia ini untuk mendapatkan rezeki Allah Swt adalah perintah syariatNya, maka mesti kita jalankan, namun ihwal hasilnya (luas atau sempit) adalah ketetapanNya yang Maha Mutlak yang mesti kita terima dengan legawa cum tawakkal.

Kedua, ketawakkalan sebagai kaldera penerimaan rohani kita kepada apa pun keputusan Allah Swt merupakan “jaminan kecukupan” bagi kebutuhan hidup kita. Dengan sendirinya, idealnya, ketawakalan menghapuskan ekspektasi, obsesi, dan ambisi kebendawian. Tawakkal tidak memiliki alasan lain selain “menerima” saja. Titik.

Umpama kita bekerja dengan memohon pertolongan Allah Swt agar hati kita ditanjakkanNya ke derajat tawakkal itu, lalu kita merasa bahwa “jaminan kecukupan” itu tidak terjadi, maka periksalah kembali kualitas ketawakkalan itu.

Dapat dipastikan bahwa apa yang kita pahami atau katakan bahkan sebagai sikap tawakkal sama sekali bukan ketawakalan hakiki atas ketetapan Allah Swt. Boleh jadi, kita masih terinfeksi (dalam bahasa umum) “keinginan”, bukan “kebutuhan”. Dan tepat di sudut rawan inilah kita diingatkan oleh Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“… ‘jalan keluar’ (buah takwa) dan ‘rezeki’ yang dicukupi Allah Swt (buah tawakkal) adalah TERBEBASNYA keinginan mereka dari pandangan terhadap dunia dan segala keindahannya yang bersifat sementara itu.”

Mari kita periksa kembali dengan seksama bagian tersebut. Lalu, masih menurut Syekh Abdul Qadir al-Jailani:

“…Allah Swt akan menarik mereka masuk ke dalam ‘gerbang Allah Swt’ untuk mengecap segala kenikmatan rohani yang disediakan Allah Swt ketika di dunia ini dan kelak di akhirat.”

Inilah kondisi rohani yang selaras dengan dua ayat yang saya tambahkan tadi: bahwa karena Allah Swt Maha Menentukan ukuran rezeki kita dengan Mata Maha MengetahuiNya, yang boleh jadi kita belum mengetahui hikmahnya, bisa diluaskan atau disempitkan, sekalipun kita selalu berada di derajat luhur hamba Allah Swt (‘ibadihi), maka tiada jalan lain untuk menjadikannya kenikmatan selain bertawakkal.

Kemahatahuan Allah Swt terhadap kondisi terbaik kita saat ini dan nanti terkait seberapa ukuran rezeki kita ini mestinya telah selesai urusannya dalam rohani kita. Tawakal meleburkan semua kondisi itu dalam satu sikap saja: bersyukur. Bersyukur dalam keluasan rezeki dan pula bersyukur dalam kesempitannya.

Mari memohon pertolongan Allah Swt semoga kita semua bisa menggapai derajat luhur tersebut. Amin.

Kafe Basabasi UAD, Jogja, 26 Juli 2019

_______________________

Semoga artikel Pengertian Rezeki Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (01) ini memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..

simak artikel terkait Pengertian Rezeki Menurut Syekh Abdul Qadir Al-Jailani (01) di sini

simak video terkait di sini

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *