Pandai Memainkan “Aliran Bola”, Gus Dur Akhirnya Jadi Presiden

gus dur

“Terobosan harus dilakukan dengan mencari nilai lebih (added value) pada sisi perbaikan strategi dan pengembangan kreativitas pemain”

Pernyataan di atas diungkapkan Gus Dur pada medio Juli 1994 ketika memberikan komentar atas hasil final Piala Dunia 1994, Brasil versus Italia, yang dimenangkan Brasil. Bagi Gus Dur, tim sepak bola yang bisa tampil bermental juara selain mempunyai skill yang bagus, juga harus mampu melakukan terobosan strategi. Terobosan ini tak lain bertumpu kejelian seorang pelatih dalam meramu dan mengembangkan kreativitas pemain. Terobosan dan kreativitas inilah yang akan menghadirkan nilai lebih (added values) dalam membangun kekuatan tim yang disegani.

Analisis Gus Dur ini menjadi bukti nyata bahwa Gus Dur adalah seorang yang sangat piawai dalam “menendang” bola. “Menendang” di sini tentu saja bukanlah Gus Dur seorang pemain di lapangan, melainkan seorang analis yang sangat tajam yang selalu dinantikan oleh khalayak publik. Gus Dur melihat bola bukan sekedar kulit bundar yang dimainkan di lapangan hijau. Bola yang bundar adalah kehidupan itu sendiri. Strategi bermain bola sangat terkait dengan strategi menjalankan kehidupan, termasuk dalam politik dan kebudayaan. Makanya, bagi Gus Dur, strategi total football harus diterapkan secara kreatif dalam kehidupan kita sebagai bangsa. Dalam satu hal, kita menggunakan strategi catenaccio (bertahan), sedangkan dalam hal lain menggunakan strategi hit and run.

Menjadi Presiden RI

Gus Dur sendiri pernah memainkan strategi catenaccio ketika menjadi Presiden RI. Ketika menghadapi Pansus DPR terkait Bulogate dan Brunaigate tahun 2001, Gus Dur tampil bertahan, persis sebagaimana Italia. Strategi catenaccio memang gaya sepak bola khas Italia. Ciri utamanya adalah bertahan dan menggrendel lawan, lalu mencari sela-sela untuk secepat mungkin menggebuk gawang lawan. Arsitek catenaccio dalam sejarah sepak bola Italia adalah pelatih Enzo Bearzot.

Sejarah membuktikan, strategi catenaccio yang dimainkan Gus Dur “gagal”, karena lawan politiknya bermain sangat ofensif. Walaupun demikian, naluri seorang negarawan dalam diri Gus Dur tetap melekat. Walaupun kasus itu sama sekali tak terbukti, Gus Dur berjiwa besar dan telah meletakkan pondasi berdemokrasi bagi Indonesia di tengah transisi reformasi. Bagi Gus Dur, tak ada jabatan yang harus dipertahankan di dunia ini. Dari sini, warga nahdliyyin yang tadinya akan berjuang “sampai mati” untuk Gus Dur akhirnya kembali tenang dan tetap menjaga kedamaian dan persatuan berbangsa dan bernegara.

Strategi hit and run sebenarnya juga dilakukan Gus Dur ketika ia masih menjadi aktivis dan Ketua Umum PBNU selama tiga periode (1984-1999). Berdirinya Forum Demokrasi (Fordem) pada 1991 adalah bukti nyata Gus Dur yang “menyerang” orde baru dengan hit and run. Berkali-kali Gus Dur “dicekal” dalam berbagai diskusi, bahkan pergerakannya di tubuh NU sendiri. Muktamar NU di Cipasung tahun 1994 adalah bukti nyata Gus Dur  berada di “bangku cadangan”, walaupun akhirnya ia tetap memenangkan pertandingan.

Adapun strategi total football bisa dibaca dari gerak langkah Gus Dur ketika awal reformasi tahun 1998, dimana gerak “licinnya” mampu mengantarkannya sebagai Presiden RI ke-4. Semua tokoh reformasi bergerak sangat massif, tetapi ujungnya tetap kembali kepada Gus Dur. Ciganjur, tempat kediaman Gus Dur, menjelma “stadion” yang menggerakkan reformasi dari hulu sampai hilir. Kebuntuan yang dialami mahasiswa dan tokoh reformasi menemukan solusinya di “stadion” bernama Ciganjur. Total football dijalankan dengan jitu, gol akhirnya tercipta: Gus Dur naik menjadi Presiden RI.

“Pelatih” dalam Berdemokrasi

Dari sinilah, Gus Dur mampu “menendang” bola dengan jitu. Gus Dur bergerak di level pelatih. Baginya, penentu kehebatan sebuah tim berada dalam kualitas pelatihnya. Pelatih tidak hanya harus menetapkan pemain tim dari sekian banyak pemain yang berbakat. Ia juga tidak hanya bertugas mematangkan ketrampilan individual para pemain dan mengaur kerjasama mereka secara optimal. Ia juga tidak hanya harus mengembangkan strategi yang tepat untuk memenangkan kompetisi di atas itu semua.

Bagi Gus Dur, pelatih haruslah mampu mengembangkan inovasi strategi dan mengeluarkan kreativitas pemain seoptimal mungkin. Dengan cara ini, pelatih tidak hanya berjuang memenangkan kompetisi bagi timnya, tetapi juga mengembangkan permainan lebih jauh, dan mencegah kemacetan pertandingan yang membuat penonton bosan dan lari dari sepak bola. Pelatih adalah pengatur ritme dan seni permaian di lapangan.

Kemampuan Gus Dur meracik analisis bola dalam konteks berbangsa dan bernegara menjadikan permainan bola bukan sekedar “menonton” saja, melainkan sebuah pengamatan atas ritme dan seni kehidupan dan mencari strategi terus-menerus untuk memperbaiki bangsa. Kecintaan “menonton bola” haruslah dimanifestasikan dalam kecintaan membangun proses demokratisasi tanpa bosan dan putus asa.

Demokrasi, bagi Gus Dur, memerlukan napas panjang dan butuh waktu yang panjang pula. Kalau tidak mau napas panjang, Lenin mengatakan sebagai “penyakit kiri kekanak-kanakan” (infantile leftism), atau sama saja dengan bunuh diri. Senada dengan itu, mendiang Winston Churchill berkata, “demokrasi adalah sistem pemerintahan yang banyak kelemahannya, tetapi ia masih lebih baik dari pada semua sistem pemerintahan yang lain”.

Belajar kepada sejarah, bagi Gus Dur, adalah keniscayaan bagi sebuah bangsa untuk menentukan nasib masa depannya. Napas panjang dan waktu panjang tanpa makna jejak kesejarahan, maka akan pincang. Sebagaimana dalam sepak bola, memahami naluri sebuah tim tidak cukup apa yang “ada” saja, melainkan keseluruhan jejak perjalanan sebuah tim dalam pertandingan. Selalu ada sesuatu yang tidak terduga. Disinilah kecermatan dalam menganalisi sejarah sangat dibutuhkan. Makanya, negara yang besar adalah negara yang cermat dalam membaca sejarah bangsanya, persis dengan tim besar pasti mempunyai pembacaan yang kritis atas sejarah.

Membaca Gus Dur dalam perspektif bola yang bundar memberikan makna kritis, setia sama proses, teguh dengan prinsip, dan tidak mudah terombang-ambing baik ketika “di bawah” atau “di atas”.

(Muhammadun)

 

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *