Oleh Edi AH Iyubenu, walil ketua LTN PWNU DIY.
Pada titik tertentu, semua pendosa amat terbuka peluangnya untuk mendapatkan hidayah Allah Swt. Kita karenanya diajarkan untuk tidak pernah berputus asa dari rahmat dan pertolonganNya sebesar apa pun dosa-dosa yang telah kita lakukan.
“Berdamailah dengan Tuhan kalian,” ujar Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitabnya, Jala’ al-Khatir fi al-Bathin wa al-Dzahir.
Apa yang dimaksud “berdamai dengan Tuhan” adalah “pulang ke jalanNya, ajaranNya, syariatNya, dan kemudian hikmahNya”, yang memiliki pintu gerbang bernama taubat. Jalan pulang ini menjadi titik balik bagi proses penyucian jiwa/hati (tazkiyatun nafs) yang selama ini di dalamnya terdapat sebiji dunia dan tamak kepada makhluk –hati yang tak layak diberikan kepada Al-Haq ‘Azza wa Jalla.
Jadi, bertaubat atas kemungkaran-kemungkaran dan dosa-dosa yang telah kadung kita lakukan merupakan “tanda perdamaian” antara diri kita yang (kadung) ahlul maksiat dengan Tuhan Yang Maha Suci.
Pertaubatan, sebagaimana kita tahu, bisa dilakukan dengan pertama-tama membetikkan istighfar sebanyak-banyaknya secara lisan dan hati. Dan tepat pada ranah hati ini, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menasihatkan agar kita melengkapinya dengan dua hal:
Pertama, memperbaiki amal perbuatan.
Pada aspek ini, pertaubatan dengan sendirinya “menyapih” amal perbuatan kita dulu (maksiat) dengan kita kini (saleh). Jika dulu kita gemar bermaksiat kepadaNya, melanggar larangan-laranganNya, maka kita kini telah mengalami reborn yang terukur secara lahiriah melalui dekatnya kita kepada amal-amal kebaikan dan jauhnya kita dari amal-amal keburukan. Ini berarti taubat mestilah beriring dengan kepatuhan syariat.
Kedua, memperbaiki prasangka kepadaNya.
Boleh jadi, kadung terbenamnya kita dalam kekelaman amal maksiat dan mungkar selama bertahun-tahun menjadikan pikiran dan hati kita begitu tertekan oleh bayangan gulita dosa-dosa. Kita lalu melantur dengan mengandaikan: “Betapa berat dan besarnya dosaku selama ini, bagaimana Allah Swt berkenan mengampuninya? Dengan cara apa Allah Swt ridha kepada semua dosa silamku? Bagaimana memahami taubatkutelah diterimaNya?”
Lanturan andaian-andaian tersebut mestilah kita singkirkan. Cukuplah semua pikiran dan perasaan traumatik itu berdenyar di awal titik-balik kepulangan kita kepadaNya, jangan terus-menerus, lalu leburkan bayang-bayang kelam itu ke dalam samudra kepasrahankepadaNya yang membuncah di hati kita.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani mengatakan bahwa berbaik sangka kepadaNya yang disertai dengan ketaatan kepadaNya akan memberikan banyak kebaikan.
Mari kita catat tebal kata “kebaikan” tersebut. Kita sekarang bisa menakwilsecara logisbahwa indikasi lahiriah bagi mendalamnya kualitas taubat kita kepadaNya ialah terproduksinya kebaikan-kebaikan dari diri kita sebagai isyarah spiritual bagi karunia-karuniaNya kepada kita kini.
Semakin tebal dan gencar produksi kebaikan-kebaikan kita (ibadah dan mu’amalah) mengisyaratkan semakin terangkatnya “sebiji dunia dan tamak kepada makhluk” –yang dulunya menjadi penyakit-penyakit kelam pendorong segala kemungkaran dan kemaksiatan kita—dari hati kita sehingga hati semakin kosong dari goncangan keduniawiaan dan karenanya menjadi jernih. Kejernihan hati inilah yang berikutnya akan mendorong kita senantiasa senang kepadaNya dan RasulNya (silakan cek surat Maryam ayat 96). Lalu denyaran-denyaran senang ini akan memuarakan kita kepada semata keikhlasanatas segala keputusan dan kehendakNya.
Maka, jangan berputus asa dari pertolongan Allah Swt. Berserah dirilah kepadaNya dengan jalan bertaubat tanpa henti, menyertainya dengan ikhtiar memperbaiki tingkah-laku dan amal-amal kita sesuai syariatNya, dan membingkainya dengan berbaik sangka kepada segala qadar-Nya.
Ampunan Allah Swt terahadap segala gunungan dosa kita di masa lalu dinyatakanNya sendiri seluas langit dan bumi; surga Allah Swt dinyatakanNya sendiri lebih luas dari bentang langit dan bumi; dan semua itu dimiliki dengan mutlak semata oleh Allah Swt. Jika bukan semata kepadaNya kita senantiasa berserah diri, lalu hendak pindah ke manakah kita ini?
Wallahu a’lam bish shawab.