Sore itu aku malu mengetuk pintu rumahmu. Maka aku
menunggu waktu di bawah pohon jambu. Kulihat burung
di ujung rimbun, bernyanyi-nyanyi membangun sarang.
Daun kuning gugur menepi, angin yang sebentar lindap
lalu menjauh pergi.
Cuaca kering di luar pagar. Angin panas mungkin bertiup
dari pantai. Tapi di sini udara cukup teduh
untuk menghentikan dunia. Maka kuhitung-hitung jumlah kerikil dari pandangan muskil, —sambil menduga-duga,
bahwa di antara batu pelataran yang tertata, ada tanah
yang dibawa para santri dan kiai.
Lalu aku membaca alfatihah
untuk mereka.
Tapi siapakah itu, tiba-tiba senyum padaku,
lelaki bersarung yang merapikan sandal tetamu,
ia melambai ke langit lalu berkata: “Saya badal
yang bertugas menjaga sandal. Sebab setiap tamu
membawa tanah dari asal. Maka kubacakan shalawat
untuk mereka, agar jejaknya kelak membawa selamat
bagi sesama.”
Tapi suara apakah itu, yang terdengar riuh di sana,
sekelebatan sayap berhamburan dari angkasa, membuat
pusaran cahaya. Lalu kulihat satu lelaki bersayap hinggap
di dahan jambu, membelai burung yang tengah bernyanyi.
Engkaukah malaikat
pembawa rahmat, bagi rumah yang
didatangi ummat?
Jendela rumahmu selalu terbuka, Abah Mustofa.
Kucium-cium aroma masakan berbagai rupa, denting piring,
dan senda-gurau gembira. Kuhirup-hirup aroma kopi,
serta lantunan doa, yang jelas terdengar
dari sana.
Doa selamat bagi tetamu yang pergi.
Doa bahagia bagi tetamu yang datang.
Pintu rumahmu selalu terbuka, Abah Mustofa.
Dari siang berganti malam, dari malam hingga kembali petang.
Lelaki bersarung penjaga sandal, setia menjawab
waalaikum salam bagi mereka yang pulang,
lalu mengucap waalaikum salam
bagi mereka yang datang.
Aku memilih malu, di sore itu. Kupalingkan muka
di balik pohon jambu. Kupanjat dahan,
untuk menyembunyikan wajah, dari suaramu
yang tiba-tiba memanggiku:
“Siapakah tamu di luar,
yang memanjat pohon jambu
halaman rumahku? Masuklah ke dalam.
Jangan lepaskan pahala surga
yang diperuntukkan
bagiku.”
Yogyakarta, 2018
(Joni Ariadinata, Sastrawan tinggal di Yogyakarta)