Mlangi, 39 Tahun yang Lalu, dan Perubahaan Hari Ini

mlangi

Sukron Arif Muttaqien, tokoh muda NU asli Mlangi.

Aku dilahirkan di dusun Mlangi ini 39 tahun lalu. Sejak kecil umur 5 tahun, aku sudah diminta mengaji belajar agama di pesantren oleh kedua orang tuaku. Meski sebelumnya setiap saat dan waktu pelajaran agama, akhlak, norma dan perilaku sudah ditanamkan setiap waktunya.

Di pesantren, bersama bocah-bocah Mlangi lain dan para santri yang “nyantri” di Mlangi, kami juga ditempa ilmu tentang agama. Mulai dari pelajaran akhlak, aqidah, fiqh, tajwid, mantiq hingga balaghoh. Kami juga diajarkan tata krama, perilaku hingga bahasa (jawa kromo) untuk berkomunikasi dengan sesama.

Dusun Mlangi memang beda dengan yang lain, banyak tata laku dan perilaku yang diajarkan oleh tetua dan pemuka kampung. Kami selalu diajarkan utk menghormati kepada yang lebih tua dan menyayangi / menghargai yang lebih muda. Ini diterapkan saat berkomunikasi saat berbicara. Selalu memanggil uwo/simbah, pakde, mbokde, paklek, lek, kangmas atau mbkayu. Untuk yang lebih muda sebutan bisa adimas atau si muh (kependekan dari Muhammad).

Kami juga diajarkan disiplin belajar agama. Anak-anak dan santri belajar agama beberapa waktu. Ada yang habis subuh, habis dhuhur, bakda asyar, bakda magrib hingga habis isyak. Karena tradisi pengajaran yang displin dan ketat, waktu maghrib hingga isyak merupakan waktu yang sangat sakral. Setiap anak dan remaja harus berada di pesantren. Sedang para orang tua mengaji di rumah. Mulai membaca Al Qur’an, Al Barjanji atau melaksakan mujahadah untuk mendekatkan diri dengan yang maha kuasa. Karena diyakini waktu ini merupakan waktu ijabah untuk berdoa. Saking sakralnya periode waktu ini, hampir tidak ada aktivitas di luar rumah. Tidak boleh ada warung buka dan rumah buka. Bahkan, tidak ada televisi / radio yang dinyalakan. Jika ada yang ketahuan biasanya ada teguran.

Untuk urusan pakaian-pun tradisi di kampung kami juga sangat ketat. Dalam rangka menerapkan ajaran agama, orang tua kami mengajarkan untuk selalu menutup aurat. Yang laki-laki memakai sarung yang perempuan memakai jarit hingga kerudung. Belakangan jarit sudah mulai ditinggalkan dan beralih ke baju kurung atau baju gamis. Tradisi memakai sarung hingga baju kurung ini sampai saat ini masih terlihat di bocah-bocah Mlangi saat ini. Kami anak muda Mlangi memang sangat “takut” betul utk melanggar norma dan aturan ini. Masih ingat dulu kalau mau memakai celana untuk pergi pas masih di dalam kampung masih tetap memakai sarung. Baru setelah keluar kampung sarung baru dibuka dan disimpan.

Dalam memuliakan tamu atau orang datang ke kampung ke rumah juga sangat memakai tata krama dan norma ala Jogja. Setiap tamu yang datang selalu diberikan penghormatan luar biasa. Karena ada keyakinan tamu datang membawa berkah pulang mengurangi dosa pemilik rumah. Jadi setiap tamu yang datang selalu diberikan suguhan yang terbaik.

Begitulah cara orang tua kamu mendidik kami. Norma, nilai, tata krama dan tata perilaku ini diharapkan bisa menjadi bekal untuk menjalani kehidupan dimanapun berada.

Hari ini zaman sudah banyak berubah. Arus pembangunan sudah banyak terjadi. Dusun Mlangi dulu yang hampir tidak banyak orang datang sekarang hampir tiap hari ada yang datang. Baik untuk urusan pekerjaan, bisnis, ziarah hingga sekadar silaturahmi pertemanan. Terbukanya Mlangi ini memang ada plus minusnya. Plusnya semakin banyak akses ke Mlangi. Minusnya akan ada benturan budaya bagi masyarakat luar yang tidak tahu budaya dan norma masyarakat mlangi.

Ya, Mlangi sudah banyak berubah. Sudah banyak bangunan baru berdiri. Akses jalan yang dulu hanya satu, sekarang sudah bertambah. Ini tantangan yang harus dijawab oleh masyarakat setempat. Semoga Mlangi tetap kuat menghadapi terjangan arus modernisasi dan globalisasi tanpa harus meninggalkan norma, nilai, tradisi dan aturan masyarakat yang selama ini terus dijaga oleh para kaum santri.

Mlangi, 6 Mei 2018.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *