Mimpi Bertemu Nabi, Syekh Umar Hasyim Sukses Tulis Syarah Sahih Bukhari 16 Jilid

Dalam menulis sebuah kitab, seringkali ulama mendapat isyarah mistis terlebih dahulu.

Misalnya, Syekh Ahmad Marzuqi menulis Nadzam Aqīdatul Awām setelah bermimpi bertemu Rasul, atau pengaduan Hujjatul Islām al-Ghazālī kepada Kanjeng Nabi atas upaya pembakaran masal kitab Ihyā’ Ulūm al-Dīn oleh Ibn Hirzihim. Isyarah mistis tersebut menjadi semacam “restu” dari Kanjeng Nabi, sehingga karya mereka tak hanya sekedar hasil pemikiran atau ijtihad saja.

Hal yang sama juga dialami oleh Syekh Dr. Ahmad Umar Hāsyim. Beliau telah mendapatkan isyarah agar menulis Syarah hadis yang menjadi karya pamungkasnya saat ini. Begini kisahnya..

Selain sudah hafal al-Qur’an sejak kecil, Syekh Dr. Ahmad Umar Hāsyim, saat studi di Fakultas Ushuluddin, telah bermimpi melihat Rasulullah. Dalam mimpinya, Rasulullah sedang thawaf mengelilingi Ka’bah, dan beliau mengikuti di belakangnya.

Beliau yang merasa penasaran lalu tergerak menanyakan mimpi tersebut pada orang tuanya.

“Engkau akan meneladani Rasulullah. Bila telah usai studimu, engkau harus mengambil takhassus (spesialisasi) dalam bidang hadis,” kata orang tuanya.

Selain itu, orang tua beliau juga mengatakan bahwa mimpi bertemu Rasulullah merupakan isyarat suatu saat engkau akan berangkat menunaikan ibadah haji ke Baitullah.

Dan betul, tidak sampai seminggu dari mimpi itu, Syekh Dr. Umar Hāsyim mendapat panggilan dari pimpinan Universitas Al-Azhar, Syekh Dr M. Ahmad Sulaiman. Beliau memberitahukan bahwa Dr. Umar Hāsyim terpilih untuk menunaikan haji. Kejadian itu terjadi pada tahun 1967, dan itu merupakan haji pertama beliau.

Rupanya mimpi thawaf di belakang Rasulullah merupakan isyarat agar beliau “iqtida/meneladani” Kanjeng Nabi dengan cara menulis syarah atas kitab hadis yang dinilai paling otoritatif, yakni Śahīh Bukhārī.

Faydul Bari Syarah Sahih Bukhari 16 jilid

Kitab ini konon ditulis dalam kurun waktu 15 tahun. Dr. Umar Hasyim merupakan ulama yang berkompeten di bidang hadis, jenjang studi mulai strata satu sampai Doktoral beliau mengambil jurusan hadis, hingga kemudian diangkat menjadi Dosen dengan spesialisasi hadis wa ulumuhu pada tahun 1983 di Universitas Al-Azhar, Kairo.

Di antara pemikiran beliau:

“Persoalan Islam ada yang bersifat wajib dan sunnah. Di dalam sunnah ada yang sifatnya ibadah dan ada juga yang bersifat adat (tradisi). Di antara sunnah dalam kategori ibadah seperti solat qabliyah subuh dan puasa senin-kamis. Sunnah yang tergolong dalam kategiri adat seperti membiarkan lihyah dan memendekkan pakaian. Sunnah yang demikian ini hanya tradisi saja bukan ibadah. Tidak mengamalkannya tidak dosa atau meremehkan agama”.

Beliau melanjutkan: “Tetapi, apa yg dilakukan Rasul dan para sahabatnya, sekalipun sunnah yg masuk dalam kategori tradisi, lebih utama diikuti selagi mungkin. Andaikan tidak memungkinkan, tentu Allah tidak membebani diri kecuali hanya sebatas kemampuan, dan meninggalkannnya tak ada masalah. Sebab, kokohnya perkara itu bergantung pada sesuatu yang harus dan tidak bisa ditinggalkan (wajib-fardhu)”.

Ahad, 8 September 2019.

Penulis: Al-Baihaqi, dosen STIS Al-Maliki Jember.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *