Selain Masjidil Haram, di Makkah bertebaran banyak masjid untuk warga sekitar.
Ulama Arab Saudi berfatwa bahwa pelipatgandaan pahala 100.000 kali itu berlaku untuk keselurahan masjid di Makkah, bahkan di seluruh tanah haram. Sehingga warga kota Makkah shalat jamaah memang tidak semuanya pergi ke Haram, bahkan cukup shalat di mushalla rumah masing-masing, toh dulu para sahabat kadang juga shalat di masjid masing-masing.
Memang tetap saja Haram punya kekhususan yaitu ibadah thowaf, dan beberapa tempat ijabah, yang tidak dimiliki oleh masjid perkampungan. Lagi pula batas Masjidil Haram tidak ada ketentuan pasti, karena selalu saja mengalami perluasan. Yang ada batasnya adalah tanah Haram, yang dihukumi sebagai Masjid.
Di Masjid perkampungan, sering kali muadzin merangkap menjadi Imam. Satu masjid ada dua sampai tiga imam ysng resmi. Jadi tidak sembarang orang bisa menjadi Imam. Ada lembaga yang mengesahkan Imam, yang juga berdasarkan aspirasi jamaah.
Antara adzan dan Iqamah ada jarak waktu antara 15-30 menit. Sebelum dan sesudah shalat, jamaah biasanya mengisi waktu dengan membaca Al-Qur’an. Oleh karenanya, semua masjid pasti tersedia rak-rak yang berisi Al-Qur’an yang ditata rapi. Bedanya dengan Haram, kalau di Masjidil Haram digunakan hanya satu jenis Al-Qur’an yang dicetak oleh percetakan kerajaan, maka di masjid perkampungan, Al-Qur’an yang tersedia sangat beragam.
Kalau di Masjidil Haram tidak ada tulisan apapun selain ornamen tembok, maka di dalam Masjid perkampungan terdapat banyak tulisan, tembok maupun MMT.
Diatas pintu biasanya ada tulisan shalawat Nabi, “Allahumma sholli wasallim ‘alaa sayyidina Muhammad”, ditambah tulisan doa, “Allohummaftahli abwaaba fadhlik” (doa keluar, karena dipampsng diatas pintu bagian dalam).
Di dalam masjid juga ada tulisan dzikir dan wirid tiap selesai shalat. Ini bedanya dengan perkampungan kita.
Di masjid perksmpungan Indonesia, tidak ada tulisan itu, tapi habis shalat Imam membaca doa dengan jahr/keras, dan makmum menirukan. Hal ini dilakukan karena masyarakat pedesaan Indonesia umumnya tidak bisa membaca tulisan Arab.
Di Arab, cukup ditempel tulisan, tidak dituntun Imam, karena semua bisa membaca tulisan Arab. Tapi esensi sama, bahwa dzikir dan wirid bakda shalat adalah Sunnah Rasul.
Di dalam Masjid juga ada tulisan dzikir dan wirid harian, pagi dan sore. Hal ini menunjukkan pentingnya dzikir tersebut.
Uniknya, di pengimaman masjid, juga disediakan gelas berisi air putih untuk Imam, juga tissue dan perlengkapan lain. Rupanya setiap habis shalat, sehabis dzikir dan wirid Imam berbalik badan, bersandar pada tembok, dan menunggu makmum. Saya perhatikan, biasanya ada makmum yang kemudian menghadap Imam, dengan aneka keperluan. Ada yang bertanya tentang hukum agama, konsultasi dan bahkan minta didoakan. Yah, samalah dengan kedudukan Imam di Nusantara.
Sehabis sholat diantara jamaah juga saling silaturrahim, bersalaman, berbincang akrab dan sebagainya. Islami sekali. Saya senang berjamaah di masjid perkampungan, sekalian untuk mencari obat hati. Karena ternyata banyak penyakit hati, yang justru muncul dari ibadah.
Kebanggan mencium Hajar Aswad, kebanggaan pahala banyak di haram, kebanggaan tidak pernah alpa di Haram dan sebagainya.
Di masjid perkampungan suasana begitu cair dan apa adanya. Pakaian ada yang mewah dan ada yang sangat sederhana, sangat bersih hingga kotor, pegawai tinggi hingga tukang sapu dan juga terdiri dari berbagai bangsa. Saya pribadi bisa belajar banyak, betapa senang, mudah dan enaknya menjadi makmum setiap shalat.
Karena kadang selalu menjadi Imam juga memunculkan penyakit hati tersendiri. Saya juga belajar enak dan menyenangkan menjadi mustami’ (pendengar), karena kelamaan didengarkan juga bisa memunculkan penyakit yang berbahaya.
Semoga saya mendapatkan obat dari semua penyakit hati yang ada. Juga saya doakan semua keluarga dan jamaah selalu terjaga kebersihan hati dan jiwanya, sehingga dapat terhantarkan ke arah surga firdaus. Aamiin
Penulis: KH Muhammad Sholihin, Boyolali.