Meraih Rahmat dengan Menghindarkan Perselisihan.
Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Perbedaan tidaklah sama dengan perselisihan. Perbedaan tak mesti mendampratkan perselisihan. Adapun perselisihan, sudah pasti berdampak kekoyak-moyakan: perpecahan dan permusuhan.
Berbeda adalah hal yang niscaya, alamiah, dan manusiawi. Berselisih, kemudian berpecah-belah dan bermusuhan, adalah perbuatan yang dilarang tegas oleh al-Qur’an, bahkan diancamNya dengan azab yang pedih. Lihatlah surat Ali Imran ayat 105.
“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang berpecah-belah dan berselisih setelah turunnya Bayyinat (al-Qur’an) ini. Kepada mereka itulah akan ditimpakan azab yang pedih.”
Lalu mari letakkan pula di sini ayat yang bertutur tentang cluedihadirkanNya rahmat Allah Swt. Surat Hud ayat 118-119:
“Jika Tuhanmu menghendaki tentulah Dia Swt akan menjadikan manusia satu umat, akan tetapi mereka selalu berselisih, kecuali (yang tidak berselisih) orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu….”
Kita telah memahami bahwa Allah Swt sendirilah yang memang menghendaki kemajemukan kita. Kemudian, kita pun memahami betapa begitu banyak dan luas kandungan al-Qur’an, yang sebagian ayatnya bermakna terang jelas tak lagi butuh tafsir (muhkamat) dan sebagian besar lainnya (jumlahnya lebih banyak) bersifat samar, sehingga otomatis menisbatkan multitafsir (mutasyabihat) (lihatlah keterangan ini dalam surat Ali Imran ayat 7), plus kemajemukan konteks, kondisi, latar, kompetensi, dan realitas hidup setiap kita di muka bumi dalam bentang masa dan kesejarahan yang panjang, itu semua meniscayakan perbedaan dan keragaman yang seyogianya belaka.
Sesuatu yang niscaya, seyogianya, alamiah, manusiawi, apalagi telah dikukuhkan oleh ayatNya, sungguh ganjil untuk terus dijadikan sumber problem bagi hidup kita. Sungguh tak masuk akal itu bisa terus terjadi. Ini sisi rasionalnya.
Dari sisi naqli, betapa telah terangnya “peringatan” Allah Swt tersebut, surat Hud ayat 118-119, bahwa siapa yang terus membiarkan dirinya terjerengkang dalam perselisihan (mari bedakan dengan terang dan konsisten antara “perbedaan” dan “perselisihan”), itu isyarat bahwa ia tak diberiNya rahmatNya.
Anehnya, bagaimana mungkin kita yang mengaku beriman, berislam, bertakwa kepadaNya, pula fasih menukil ayat-ayatNya dan hadis-hadisnya Saw, tetapi di waktu yang sama kita abai pada perjuangan paling penting untuk meraih rahmatNya? Mengapa kita malah nampak gandrung memburu “kemenangan pendapat” di antara perbedaan dan keragaman pendapat?
Malah ada kalangan yang tanpa ragu dengan mengatasnamakan kebenaran al-Qur’an dan hadis Rasul Saw menendangkan kata-kata yang tiada pantas diderakan kepada sesaudaranya seiman, seperti “tidak sesuai al-Qur’an dan sunnah Rasul Saw, sesat, bahkan kafir”.
Sungguh mencengangkan, sungguh mengherankan….
Sekali lagi, mari renungkan, apa gerangan yang lebih utama untuk kita ikhtiarkan dan mohonkan kepadaNya selalu selain mendapatkan rahmatNya? Itu artinya pula ridhaNya?
Jika kita benar-benar semata mengharap ridhaNya, rahmatNya, dalam seluruh pemahaman dan amaliah keislaman kita, karena itu kita yakini sebagai “kunci keselamatan” hidup kita di dunia dan akhirat (ingatlah hadis Rasul Saw tentang ridha sebagai sebab kita masuk surgaNya), seyogianya telah cukup bagi kita untuk selalu menempatkan “batas atas” larangan itu sebagai genggaman kita: “jangan berpecah-belah dan berselisih” –jangan bermusuhan.
Penting untuk kira renungkan degan rendah hati karenanya: jangan-jangan seluruh desakan diri kita untuk melambungkan pendapat, mazhab, dan aliran diri sendiri, yang kerap kita atasnamakan “dakwah”, “libtighai mardhatiLlah”, hingga “amar ma’ruf nahi munkar”, dan segala yang adiluhung Islami dan Rasul Saw banget sejatinya semata golakan hawa nafsu diri?
Ingat surat al-Mu’minun ayat 71 ini: “Umpama kebenaran mengikuti hawa nafsu mereka, maka sungguh akan rusaklah langit dan bumi ini beserta seluruh yang ada di di dalamnya….”
Lihat pula surat an-Naml ayat 4: “Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt dan negeri akhirat, Kami jadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka hingga mereka bergelimang (dalam keburukan/kesesatan).”
simak artikel terkait Meraih Rahmat dengan Menghindarkan Perselisihan di sini
Jadi, mari berhati-hatilah, dengan rendah hati, apa yang kita yakini sebagai “kebenaran”, kita kukuhkan dengan banjaran ayat, hadis, qaul para ulama, berjubel argumen, jangan sampai semata bajakan hawa nafsu kita untuk, misal, menjadikan semua orang mengikuti pendapat kita. Mengertilah selalu bahwa pihak-pihak lain, yang memiliki perjalanan spiritual dan rohani yang tak sama dengan kita, juga niscaya memiliki keyakinan dan pemikiran yang sama teguhnya kepada takwil, mazhab, aliran, dan amaliahnya.
Keduanya pun sama-sama bisa menukil ayat-ayat, hadis-hadis, dan qaul-qaul para ulama salaf yang sama hebatnya. Keduanya pun sama-sama ahli ilmu, jago berargumen, tentu saja.
Lantas, di mana pantasnya kita yang awam begini, manusia akhir zaman begini, jemawa mengobrak-abrik pandangan dan amaliah orang lain yang tak sama dengan kita –yang itu pun berarti di dalamnya kita seturut menyalahkan, merendahkan, dan melecehkan pendapat dan amaliah para ulama salaf yang menisbatkan warisan mazhab tersebut?
Sama sekali tiada kepatutan.
Al-Mu’minun ayat 71 tersebut kiranya cukuplah buat kita jadikan pegangan tatkala denyar-denyar egoisme kita melesat di dalam dada terhadap perbedaan pendapat dan amaliah orang lain. Yakinilah bahwa “korpus terbuka” al-Qur’an itu adalah bagian dari mukjizatnya, rahmatNya, hingga al-Qur’an bisa terus mendampingi kehidupan umatnya di manapun hingga akhir zaman (rahmatan lil ‘alamin).
Ihwal terjadi perbedaan, keragaman, itu sudah menjadi sunnatuLlah. Terimalah perbedaan, lapanglah kepada kemajemukan, dengan menghindarkan segala bentuk ungkapan yang menjurus kepada perselisihan dan perpeceha-belahan.
Berhati-hatilah selalu dalam menjaga hati dan lisan di hadapan perbedaan tafsir, takwil, mazhab, paham, aliran, hingga amaliah apa pun.
Biarkanlah orang lain menganut, meyakini, dan mengamalkannya, sebagaimana kita pun ingin mendapatkan perlakuan yang sama: dihormati dalam menganut, meyakini, dan mengamalkannya.
Cukupkan ia sampai di sini, tak usah diperbesar diperluas menjadi perselisihan, apalagi perpecah-belahan, dan permusuhan. Yang berbeda-berbeda, mari kita kecilkan; yang sama-sama, mari kita besarkan.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah menasihatkan: “Kita adalah sesaudara dalam iman. Jikapun kita tak sesaudara dalam iman, kita sesaudara dalam kemanusiaan.”
Imam Syafii telah mengatakan, “Kebenaran dalam pandanganku boleh jadi mengandung suatu kesalahan dalam pandangan orang lain dan kebenaran dalam pandangan orang lain boleh jadi mengandung suatu kesalahan dalam pandanganku.”
Betapa tawadhu’ dan rendah hatinya mereka yang mutlak-mutlak ahli ilmu dan amal kepada orang lain, pihak lain, dalam segala perbedaannya. Masak kita yang begini-begini saja secara ilmu dan amal tega bersipongah kepada orang lain?
Jangan, ya, malu, sungguh malu hati ini kepada para leluhur kita, ulama kita, guru kita, sesepuh kita, apalagi kepada Allah Swt dan RasulNya Saw tercinta.
Insya Allah, dengan jalan logis begini, semoga kita semua lalu terpantaskan untuk menerima karunia rahmatNya. Amin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 26 September 2019
________________________
Semoga artikel Meraih Rahmat dengan Menghindarkan Perselisihan ini memberikan manfaat dan barokah untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait Meraih Rahmat dengan Menghindarkan Perselisihan di sini
simak video terkait Meraih Rahmat dengan Menghindarkan Perselisihan di sini