Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
Dalam kitab Adab al-Suluk wa at-Tawashshul Ila Manazil al-Muluk, Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah mewasiatkan: “Ada empat cara untuk menghidupkan hati dengan kebaikan, yakni: (1) menjaga kualitas kehalalan makanan, (2) Khusyuk beribadah serta patuh kepada perintah Allah Swt, (3) Menjaga diri dengan tidak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan perintah agama, dan (4) Membuang jauh segala hal yang dapat mengganggu kita dalam mengingat Allah Swt.”
Menarik di titik ini untuk menukil terlebih dahulu tafsiran Prof. Dr. Quraish Shihab dalam kitab Al-Mishbah tentang makna “maut” (mati) dan “hayat” (hidup) yang selalu berjejer seiring dalam 145 ayat dalam al-Qur’an. Prof. Quraish mengatakan bahwa makna maut bukanlah sekadar kematian lahiriah ragawi di dunia ini, melainkan juga matinya hati dari “kesuburan” hidup karena tidka berpegang teguh kepada tali Allah Swt.
Dalam al-Qur’an banyak ilustrasi tentang “bumi ini mati” hingga Alah Swt menurunkan hujan dan (dengan hujan) menjadikannya hidup, subur, lalu menghasilkan buah-buahan yang lezat. Hujan adalah simbol dari ajaran Allah Swt. Ketika hujan menyirami bumi yang mati, jadilah ia hidup, sibur, dan bermanfaat. Itulah suasana hidup yang dimaksudkan oleh Prof. Quraish: suburnya hati karena berpegang pada tali Allah Swt.
Begitupun perihal hati manusia.
Orangnya masih hidup di dunia ini, sibuk bekerja dan bergaul dengan orang banyak, tetapi karena tidak berjalan sesuai ajaran Allah Swt dan RasulNya, hatinya telah mati. Ia lekat dengan keburukan, kerusakan, kemungkaran, dan kemaksiatan.
Untuk menghidupkannya kembali (ditumbuhi kebaikan-kebaikan), hatinya harus dihidupkan lagi melalui hujan dzikir kepada Allah Swt.
Secara lahiriah, sebagaimana tuturan beliau qaddasahuLlah, penghidupan diri harus dimulai dengan menjaga kehalalan makanan dan minuman serta segala hal yang dikonsumsi dan dipakai. Ini bisa dipahami dengan gampang sebagai indikasi bagi ketatnya rohani kita kepada kesesuaian dengan hukum halal-haram yang meliputi diri ini. Orang yang disiplin dengan kehalalan segala pendapatan dan penggunaannya, tentulah memiliki ketundukan iman dan rasa takut kepada azab Allah Swt.
Berikutnya, dari ranah lahiriah tersebut, ia akan meruahkan denyar kehidupan ke dalam semesta hati, yakni berupa kepatuhan dan kekhusyukan kepadaNya sekaligus. Derajat khusyuk ini adalah derajat hati. Hadirnya sublimasi dari nilai-nilai pemahaman ilmu dan amal ke dalam hati menjadi jalan bagi khusyuknya hati. Khusyuknya hati niscaya lalu menisbatkan kerendahan diri di hadapanNya dan juga kerendahan hati di hadapan sesama makhlukNya.
Yang ketiga ialah terpeliharanya diri dari goda-goda keinginan dan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran Allah Swt.
Bisa saja, dalam perjalanan ini, kita digoda oleh maksiat-maksiat yang dulu pernah kita lakukan. Kita terbayang pesona kenikmatan-kenikmatannya. Tapi, hati yang telah disublimasi nilai-nilai khusyuk iman dan peribadatan itu takkan gampang ditipunya lagi. Ia akan memiliki benteng rohani yang melindunginya. Semakin tebal khusyuknya, niscaya semakin terlindungilah ia.
Maka, godaan-godaan maksiat kepada orang yang hatinya telah berkhusyuk begitu takkan lagi menjadi hal yang berat untuk dilintasi. Hatinya akan selalu diingatkan kepada, misal: “Inni akhafu in ‘ashaitu rabbi adaban yaumin ‘adhim, sungguh aku takut jika aku bermaksiat kepada Tuhanku kelak aku akan ditimpa azab yang pedih.”
Barulah yang terakhir hati disempurnakan oleh semakin julang dan kokohnya hunjaman iman, tauhid, Asma-asma Allah Swt, hingga mencapai derajat yangla haula wala quwwata illa biLlah; hasbunaLlah wa ni’mal wakil ni’mal maula wa ni’man nashir; La ilaha illaLlahu wahdahu la syarika lahu lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi wa yumit wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir, dll.
Bila spirit eksisnya Allah Swt semata terus intens, intim, dan kokoh di hati, maka segala yang selainnya (ghairuLlah) otomatis ternegasikan, terbuang, tertiadakan. Musykil mematikan hatinya lagi.
Sudah pasti orang yang begitu akan semata lekat dengan melakoni perintah-perintahNya, menebar kebaikan-kebaikan, dan meruahkan akhlak karimah layaknya daun-daunan yang rindang dan buah-buahan yang lezat untuk dinikmati manusia lain.
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah mengingatkan bahwa tahap-tahap menghidupkan hati ini –sebagaimana hujan yang turun dari langit dan menjadikan bumi yang gersang kembali subur—memanglah mesti dilalui dari hal yang paling luar, lahiriah, dzahir begitu rupa. Menjaga kehalalan makanan dan minuman, misal, dapat diandaikan layaknya seoran petani yang hendak menanami ladangnya dan ia memulai dengan membersihkan ilalang-ilalang dan belukar-belukar yang mengganggu. Ketika ladangnya telah dibersihkan dari hama-hama itu, mulailah ia menebar benih-benih, dan terus menyianginya, menjaga kesuburannya, hingga tiba masa panen.
Jadi, secara rohani, hal-hal lahiriah macam memastikan kehalalan makanan dan minuman, kemudian gemar melakukan amal-amal wajib dan sunnah, serta segala bentuk laku kebaikan, etika, dan akhlak karimah, memang mesti disemai, dirawat, dijaga, dengan terus-menerus. Tanpa henti. Siang malam. Sirran wa ‘alaniyan.
Ihwal apakah kemudian semua amal saleh itu menghantar kita kepada makrifatuLlahsebagai puncak perjalanan rohani, beliau qaddasahuLlah mengatakan hal itu sebagai keputusan mutlak Allah Swt, rahasia karuniaNya. Biarkan rahasia di atas rahasiaHadarat al-Quds itu tetap menjadi wewenangNya dan mari kita terus berikhtiar saja dalam meningkatkan kualitas iman, amal, dan terus memohon pertolonganNya demi terawatnya hati yang telah menghadap semata kepadaNya.
Semoga Allah Swt lalu menolong kita semua. Amin.
Wallahu a’lam bish shawab.
Jogja, 28 Agustus 2019