Mengenang Kisah Air Mata di Sudut Ka’bah.
Di salah satu sudut Ka’bah, untuk kesekian kalinya lelaki itu mengusap air matanya yang membasahi jambangnya. Wajahnya pucat dan tampak sekali ia memendam rasa takut yang teramat sangat. Ia hendak salat. Akan tetapi, sebelum mengangkat tangan dan mengumandangkan takbir, ia sesenggukan menahan rasa takutnya yang teramat mendalam. Seseorang yang lain yang melihat lelaki itu kemudian mendekat.
“Wahai putera Husein, tenanglah, sesungguhnya Allah telah memberimu tiga karunia yang dapat membukakan pintu rahmat-Nya untukmu: engkau adalah putra dari cucu Rasulullah, kakekmu bisa memberimu syafaat dan engkau adalah ahli bait yang sangat dekat dengan rahmat Tuhan.”
Lelaki yang tak lain adalah Ali Zainal Abidin itu menoleh dengan tatapan sayu kepada
seseorang yang baru saja berbicara dengannya. “Garis leluhurku memang bersambung dengan Rasulullah, tetapi di hari kiamat nanti tak berpengaruh lagi garis keturunan. Kakekku memang pemberi syafaat, tapi pada hari itu hanya orang yang diridhai saja yang dapat memberi dan menerima syafaat. Sementara rahmat Allah selalu dekat bagi orang yang berbuat baik. Kau tahu, di hadapan siapakah aku berdiri ketika hendak salat! Itulah sebabnya aku menangis karena begitu takutnya perasaanku kepada-Nya.”
Tak mudah memang memiliki perasaan takut sebagaimana Ali Zainal Abidin. Ketakutan yang menjadikannya bersemangat untuk memperbanyak sujud sampai kemudian orang-orang menjulukinya Syaikhussájidín. Ia juga kerap menangis bila terkenang akan peristiwa Karbala yang menyebabkan ayahnya meninggal dengan cara yang sangat keji serta bila dihantui oleh pertanyaan akan nasibnya kelak di hadapan Allah. Dan orang-orang menyebutnya Syaikhulbaká-ín. Ketakutan dan tangisan telah menempanya menjadi sosok yang selalu memilih untuk setia pada ketaatan kepada Tuhan dan kebaikan pada sesama.
Ia tidak ‘terpukau’ pada garis silsilah yang mempersambungkan dirinya dengan begitu dekat kepada Rasulullah, kakek buyutnya sendiri. Sebaliknya, ia memilih menjadi seorang hamba yang rela menempuh jalan pengorbanan dan perjuangan yang begitu gigih. Ia memilih untuk hidup sesuai kebenaran tanpa pernah berharap untuk dijadikan teladan, dipuji-puji dan dielu-elukan. Justru ia berbuat untuk memberikan dedikasinya sebagai hamba Tuhan.
Dan di kemudian hari, ketika orang-orang berpikir bahwa ia akan memperoleh kemuliaan oleh sebab kemuliaan leluhurnya, kita mungkin perlu untuk mengenang Ali Zainal Abidin yang tenggelam dalam rasa cinta sekaligus rasa takut yang luar biasa kepada Tuhannya. Dan oleh sebab perasaan-perasaannya itu pula ia memilih untuk memahat sendiri sejarah hidupnya yang penuh keindahan dan kemuliaan.
Selasa, 18 Februari 2020.
Penulis: Kyai Salman Rusydie Anwar, dewan Pengasuh Pesantren Mahasiswa Hasyim Asy’ari Yogyakarta.
________________
Semoga artikel Mengenang Kisah Air Mata di Sudut Ka’bah ini memberikan manfaat untuk kita semua, amiin..
simak artikel terkait di sini
simak video terkait di sini